Rabu, 31 Desember 2014

Menggugat Makna Manajemen Dalam Teropong Filsafat

Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Catatan:
Pertanyaan diajukan oleh Dosen Filsafat Manajemen Dr. H.H. Agung Winarno., M.M Universitas Negeri Malang dan jawaban oleh Kosmas Lawa Bagho, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang angkatan 2014/2015.



   1. Pada esensial dasarnya, manajemen sendiri selalu meragukan wujud sistem kerja praktik manajemen yang selama ini berlangsung (orang, barang/benda, sistem/metode dan waktu/energi) kemukakan bukti-bukti kongkritnya bahwa manajemen itu secara tidak langsung telah mempraktikkan apa yang diragukan sendiri dalam prinsipnya.


2 2. Dalam tinjauan filsafat, praktik-praktik manajemen tidaklah merupakan proses yang sempurna, ia telah terikat oleh kesiambungan pemikiran yang relatif terbatas karena dimensi prinsip, orientasi dan pemaknaan. Itulah sebabnya para filosof berkeyakinan bahwa kesinambungan praktik-praktik manajemen perlu ditelaah melalui dimensi (1) Causa Prima (yang mencakup pemikiran filsafat materialisme, idealisme, vitalisme, psikomonisme), (2) Dimensi Hakekat Sesuatu (kebenaran berasal dari fenomena-fenomena) serta (3) Dimensi Arah dan Tujuan Filsafat (dapat berupa makna humanisme, egoisme/individualisme, altruisme, pragmatisme, finalisme maupun epikurisme. Coba beri argumentasi dengan uraian yang luas tentang bagaimana pemikiran tersebut dapat diterima.





1

Jawaban

1.        Praktik manajemen yang dikenal secara luas dalam lembaga bisnis atau perusahaan adalah planning, organizing, implementing dan controlling. Artinya sudah menjadi gambaran yang sangat terang kepada kita bahwa apabila berhubungan dengan bisnis atau perusahaan atau pun lembaga apa pun senantiasa memprioritaskan 4 pakem sebagai sesuatu yang benar dan dilakukan agar perusahaan atau lembaga apa pun bisa lebih produktif, efektif, efisien dan mendatangkan keuntungan baik materil maupun non-materil. Manajemen senantiasa diawali dengan perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan evaluasi. Sebuah rotasi atau aktivitas berulang yang terus dilakukan dari zaman ke zaman dan dianggap sebagai sesuatu yang benar dan menguntungkan.

Dalam pelaksanaan 4 rumus utama itu didukung dengan pakem lain yakni manusia (man), benda/barang (money), sistem/metode (method), IT (machine) dan waktu/energi (time). Perusahaan atau institusi selalu mengutamakan bagian-bagian ini untuk mencapai visi, misi, tujuan, program yang telah ditetapkan baik secara individu maupun berkelompok atau dalam kelompok yang lebih besar seperti Negara.

Para pakar manajemen sendiri meragukan apakah itu tuntutan manajerial seperti ini memang yang menjadi hakekat dari manajemen untuk meningkatkan atau memanusiakan manusia. Untuk apa seluruh teknik dan metode manajerial diterapkan secara sungguh-sungguh sehingga memang mendatangkan produktivitas dan profitabilitas atau bisa memenuhi seluruh kebutuhan manusia baik secara jasmani maupun rohani. Entahkah menajemen merasa puas dan merasa sudah berakhir setelah menghasilkan semuanya melalui berbagai pendekatan seperti yang dikemukan di atas.

Manajemen sendiri meragukan apakah semua pakem atau apapun yang telah dilakukan mendatangkan keberhasilan yang permanen atau senantiasa mendatangkan keuntungan tanpa ada kegagalan. Manajemen pun masih tidak yakin sebab hampir semua manajerial yang telah diterapkan belum memberikan hasil yang paling optimal. Apabila mendatangkan keberhasilan pun, para pemilik perusahaan atau pun manusia masih merasa kurang nyaman dengan semua hal yang telah dicapainya. 
Ada yang dirasakan masih kurang. Itulah keterbatasan manajemen. Manajemen adalah sebuah aktivitas yang belum pernah tuntas dan belum pernah usai.

Walaupun demikian, dalam praktik-praktik keseharian nyata, manajemen justru tetap melakukan apa yang diragukannya sendiri.
Contoh kongkret:
a.       Manusia (man): perusahaan atau pun institusi apa pun sangat mengandalkan sumber daya manusia sebagai salah satu indikator utama sebuah kemajuan atau keberhasilan. Manusia-manusia yang terlibat di dalamnya ditingkatkan kompetensinya baik pengatahuan (knowledge), ketrampilan (skills) maupun kepribadian (attitude) agar memompa manusia untuk memberikan yang terbaik agar memberikan kontribusi hasil atau pencapaian target-target perusahaan yang telah ditetapkan.

Tidak heran, pengembangan manusia di dalam perusahaan kadang memakan biaya yang tidak sedikit sebab manajemen percaya, kompetensi SDM menjadi titik sukses dan keberlanjutan bisnis atau pun perusahaan atau pun lembaga apa pun. Kadang, perusahaan menerapkan atau menetapkan kualitas SDM yang tinggi sehingga kurang memberikan peluang bagi para calon yang tingkat SDM-nya rendah. Tuntutan optimalisasi SDM yang habis-habisan kadang juga membuat manusia sebagai robot yang digenjot terus untuk pencapaian hasil yang lebih optimal. Dengan demikian, yang sesungguhnya perusahaan atau manajemen mau menghargai SDM yang kualified kadang membuat manusia menjadi hanyalah robot manajerial yang kehilangan kreativitas, inovasi dan martabat manusia sebagai pribadi atau juga tidak tertampungnya para pencahari kerja yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan. Muncullah pengangguran intelektual. Upah buruh makin rendah lantaran ketersediaan SDM yang melimpah. Hukum pasar permintaan dan demand berlaku di sini. Inilah keterbatan manajemen (SDM).

Selain itu, para pemilik perusahaan juga tetap merasa kosong meski sudah mengumpulkan uang atau barang yang tak pernah habis sampai tujuh turunan. Sehingga muncullah kegiatan-kegiatan sosial-karitatif sebagai alternatif pengisi kekosongan hati. Itulah keterbatasan manajemen (man) namun hingga kini SDM masih terus digenjot dalam perusahaan atau institusi apapun.
b.      Barang/benda (money). Tujuan utama atau praktik manajemen adalah mendatangkan profit atau laba yang sebanyak-banyaknya. Uang atau barang menjadi prioritas sehingga setiap perusahaan atau institusi berlomba-lomba dan berkompetisi secara ketat untuk memperoleh laba atau keuntungan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Berusaha memperoleh laba sesungguhnya bukanlah keterbatasan namun bertujuan hanya mengejar laba semata tentu akan mengorbankan yang lain terutama manusia. Sesungguhnya, tujuan perusahaan atau institusi apa pun untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia melalui penguasaan barang (uang) yang sebanyak-banyaknya, pada titik yang sama justru mengorbankan martabat manusia sebagai manusia yang pribadi dan sosial. Uang kadang menjadi tujuan utama sehingga manusia dikorbankan. Orang akan berusaha lembur untuk mendapatkan uang lebih banyak atau perusahaan menambah jam kerja sehingga manajemen atau pegawai kehilangan waktunya untuk bersama keluarga. Ada banyak contoh, orang menjadi stress, gara-gara seluruh waktunya dihabiskan untuk mencari uang. Manajemen menyadari hal ini namun tetap dilakukan.
c.       Teknologi  (machine). Perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi sangat luar biasa sehingga memberikan kemudahan bagi manusia atau manajemen. Perusahaan-perusahaan menghabiskan banyak rupiah untuk investasi pada mesin atau teknologi termasuk teknologi informasi. Perhatian manajerial diarahkan pada kemajuan teknologi (mesin) yang dianggap lebih cepat, lebih mudah dan kadang dirasakan lebih murah. Apabila manajemen mengutamkan mesin-mesin maka sebagian besar manusia kehilangan pekerjaannya. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan pendapatan. Kehilangan pendapatan maka kehilangan martabatnya sebagai manusia. Namun demikian, manajemen harus tetap menggunakan teknologi sebagai jalan pintas menghasilkan lebih banyak dan mengurangi biaya pegawai atau karyawan.
d.      Sistem (Method). Metode atau cara yang efektif mengandaikan sumber daya manusia yang mumpuni sehingga mampu mengadaptasikan dengan sistem atau budaya kerja sebuah perusahaan. Sistem yang telah dirancang dan dipercaya memberikan hasil yang optimal harus diikuti oleh seluruh komponen perusahaan. Metode mewajibkan manusia mengikutinya sehingga kehilangan daya kreasi pribadi. Kepentingan pribadi ditekan atau diminimalisir sedemikian sehingga metode atau cara tertentu bisa diaplikasikan secara tepat dan memberikan hasil.
Pada titik yang sama metode yang dirancang oleh manusia dan sesungguhnya untuk manusia justru mengdegredasikan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang bebas dan otonom. Inilah paradoksalnya.
e.       Waktu (time). Perusahaan atau lembaga apapun sungguh sangat memprioritaskan waktu. Bahkan ada pepatah yang telah dipercaya secara turun-temurun dalam manajemen yakni “waktu adalah uang” atau waktu adalah sukses atau waktu adalah laba atau pendapatan. Setiap jengkal waktu selalu diisi dengan berbagai aktivitas yang mendatangkan apa yang telah menjadi impian perusahaan atau apapun itu. Waktu tidak boleh disia-siakan. Ada perusahaan yang sangat mendewakan waktu. Apabila ada yang terlambat, gajinya dipotong sesuai jumlah waktu terlambat. Sesungguhnya, kedisiplinan waktu untuk kepentingan manusia namun kadang, manusia mengalami kemerosotan akibat terlalu ‘mendewakan’ waktu. Namun sebaliknya, ada yang telah menyia-nyiakan waktu dengan aktivitas yang kurang produktif.

Merujuk pada uraian di atas, saya secara pribadi juga mulai ragu dengan jawaban sendiri. Saya juga meragukan pertanyaan yang menggugat manajemen. Manajemen pada satu sisi untuk mengagungkan harkat dan martabat manusia melalui aktualisasi diri, potensi dan akal kemampuan dalam praktik-praktik manajerial justru pada titik yang sama semakin merendahkan manusia sebagai mahluk yang teramat mulia yang dibekali dengan akal-budi, martabat serta kepribadian yang unggul. Pertanyaan gugatan ini membuka lembaran baru agar manajemen mencari hakikat yang sesungguhnya lebih mendalam dan bukan hanya yang nampak saja.

Pertanyaan gugatan yang paradoksal manajerial kadang membawa saya kepada absurditas. Untuk apa sih, manajemen apabila pada akhirnya merendahkan harkat dan martabat manusia. Tragedi meluapnya lumpur Lapindo-Sidoarjo bisa menjadi rujukan nyata bagaimana kalahnya manajemen terhadap penghormatan manusia sebagai manusia. Masih banyak tragedi kemanusiaan lain yang terjadi baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia termasuk di Negara yang dikenal sebagai lahirnya ilmu manajemen.


Akan tetapi manajemen dibutuhkan manusia justru mau menunjukkan manusia sebagai manusia. Bayangkan apabila manusia tidak melakukan sesuatu pada zaman modern ini. Namun gugatan pertanyaan tersebut di atas, memberikan makna mendalam bagi saya calon magister manajemen untuk mencari hakikat terdalam dari manajemen. Entahkah, saya melanjutkan paradoksal atau absurditas yang ada atau harus mencari jalan keluarnya sendiri. Hingga saat ini, saya belum menemukan jawabannya yang pasti dan juga belum memberikan jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan atau gugatan di atas.

2.        Paradoksal atau absurditas manajerial semakin mendapat tantangan dan jawaban sementara ketika para filosof menyimpulkan bahwa  manajemen bukanlah proses yang sempurna atau tuntas. Praktik-praktik manajemen telah terikat oleh kesinambungan pemikiran terbatas karena dimensi prinsip, orientasi dan pemaknaan. Untuk menelusuri hal itu dimunculkan aliran-aliran filsafat sebagai berikut:
a.       Causa Prima yang mencakup pemikiran filsafat materialisme, idealisme, vitalisme dan psikomonisme. Causa prima dari bahasa latin artinya penyebab atau faktor utama tanpa diawali faktor lain. Saya sendiri meragukan bagaimana bisa menjawab pertanyaan manajerial dengan pendekatan filsafat causa prima yang dipelopori oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut keduanya, causa prima hanya bisa dikenakan pada yang namanya “Tuhan” atau “Allah”. Mungkin menjadi pertanyaan lebih lanjut, entahkah manajemen berasal dari causa prima yakni Tuhan atau Allah sendiri? Butuh kajian lebih mendalam. Pemikiran filsafat materialisme adalah pemikiran yang sangat mengagungkan materi sebagai sumber kebenaran. Manusia terdiri dari materi (zat) sehingga sumber kebahagiaan dan kehidupan manusia adalah materi.

Pemikiran ini menyebabkan manusia begitu hedonistis dengan mengumpulkan materi yang sebanyak-banyaknya. Pertanyaannya, manajemen hanya mengumpulkan materi? Kalau begitu, mengapa banyak orang kaya secara material, toh tetap merasa ada yang hampa, ada yang kosong serta merasa tidak bahagia? Filsafat idealisme adalah aliran pemikiran yang sangat mengagungkan ide atau gagasan. Orang yang memiliki ide berarti orang yang berakal budi. Orang berakal budi berarti manusia yang unggul.
Pertanyaannya, entahkan manajemen hanya mengandalkan cara berpikir atau idealisme sehingga mendatangkan keberhasilan, kebahagiaan dan keunggulan dari manusia lain atau mahluk hidup yang lain. Ide bukanlah tujuan akhir melainkan awal menuju yang akhir meski awal adalah akhir dan akhir adalah awal yang terbalik. Vitalisme atau finalisme artinya aliran pemikiran yang sangat mengagungkan perjuangan hidup atau “elan vitae”. Vitalisme percaya bahwa manusia memiliki daya hidup untuk mengusai dunia dan keselamatan hidupnya sangat bergantung pada daya hidupnya. Pertanyaannya, entahkah manajemen mengutamakan vitalisme atau daya juang dan apabila sudah mendapatkan hal itu, ia merasa sudah final dan selesai?

Walau demikian, praktik manajemen sangat membutuhkan pemikiran causa prima, materialisme, idealisme, vitalisme dan psikomonisme untuk membantu menjelaskan praktik-praktik manajemen yang memberikan penghormatan kepada manusia melalui manusia.
b.      Dimensi Hakekat Sesuatu (kebenaran berasal dari fenomena-fenomena). Fenomenologi merupakan aliran pemikiran yang fokus pada pengalaman-pengalaman manusia subjektif dari perilakunya. Mungkinkah, praktik manajemen hanya mengutamakan pengalaman-pengalaman masing-masing manusia yang begitu bervariasi? Pengalaman subjektif siapa yang akan menjadi rujukan bagi praktik manajemen agar berhasil dan manusiawi? Fenomenologi tidak juga memberikan jawaban yang tuntas.
c.       Dimensi Arah dan Tujuan Filsafat (humanisme, egoisme/individualisme, altruisme, pragmatisme, finalisme dan epikurisme). Humanisme adalah aliran mengutamakan martabat manusia dalam seluruh proses penghidupan manusia dan dunia. Aliran ini mengeritik keras pandangan yang melihat diri manusia ada ketundukan pada kekuatan para ‘dewa’. Untuk itu martabat manusia kehilangan esensinya. Manusia menjadi bermartabat kalau manusia baik sebagai individu maupun kelompok selalu berupaya meningkatkan kemampuan-kemampuan dasariahnya sebagai manusia. Pertanyaannya, apabila manajemen sudah membuat manusia semakin bermartabat berarti tugas sudah selesai? Bagaimana dengan lingkungannya?

Egoisme/Individualisme adalah aliran yang sangat kuat pada budaya Amerika Serikat. Aliran ini juga mengeritik secara tajam, orang yang menganggap rendah individu dalam mengorbankan individu untuk mencapai tujuan bersama. Individu berperan besar dan tanpa mempedulikan yang lain. Pertanyaannya, entahkah praktik manajemen mengusung individu lalu melupakan ‘aku yang lain’ termasuk lingkungan yang mengitarinya? Sampai kapan, ia bertahan sebagai individu sebab di dalam dirinya dari sono sudah ada benih sosial.

Altruisme adalah aliran yang lebih mengutamakan kepentingan ‘aku yang lain’ dari pada dirinya sendiri. Pertanyaannya, entahkah praktik manajemen hanya memperhatikan ‘aku yang lain’ lalu dirinya boleh tidak diperhatikan, ditelantarkan atau ‘mengorbankan nyawa bagi yang lain?’ Kalau demikian, individu bersangkutan tidak lagi merasa lapar, haus dan lain sebagainya? Seandainya individu yang bersangkutan tak lagi punya perut, dimungkinkan untuk melakukan seratus persen.

Pragmatisme adalah aliran yang melihat segala sesuatu dari asas manfaatnya. Apalah arti memiliki ilmu pengatahuan yang tinggi kalau tidak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Aliran ini yang menciptakan banyak ilmu pengatahuan yang memberi daya guna bagi manusia namun paradoksnya ketika manusia membuat senjata mematikan yang membunuh sesama yang lain. Entahkah praktik manajemen menghidupkan ‘kemanfaatan’ lalu membunuh yang lain secara kejam? Finalisme sama dengan vitalisme yang sudah dibahas.

Epikurisme adalah aliran yang memberi ketenangan kepada manusia. Manusia tak perlu takut terhadap segala sesuatu yang terjadi termasuk kepada dewa. Membebaskan manusia dari rasa takut memberikan ketenangan atau kebahagiaan. Pertanyaannya, entahkah praktik manajemen akan final atau tuntas ketika manusia tidak merasa takut? Kapan, manusia tidak merasa takut secara substansial? Masih menjadi pertanyaan yang tak pernah ada jawaban yang tuntas.




Berbagai pandangan filsafat memang berusaha menjelaskan praktik manajemen yang lebih substansial namun demikian, saya sendiri belum menemukan jawaban yang memuaskan dari berbagai aliran dimaksud. Setiap aliran pemikiran ada kelebihan dan sekaligus kekurangannya. Untuk itu, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa berbagai aliran pemikiran filsafat belum juga memberikan jawaban yang tuntas terhadap praktik manajemen yang telah dijalankan secara turun-temurun hingga saat ini.

Untuk menjawab secara hitam-putih rasanya terlalu sulit namun bisa diberikan jalan keluar yang proporsional. Aliran-aliran pemikiran filsafat sudah memberikan gambaran bagi praktik manajemen agar mengimplementasikan secara proporsional dari berbagai aliran pemikiran dimaksud. Praktik manajemen mengambil hal-hal positif dari berbagai aliran pemikiran filsafat sembari berjuang meminimalisir hal-hal yang menjadi kekurangan.

Berbagai aliran pemikiran filsafat sebenarnya memberikan tambahan esensi praktik manajemen untuk senantiasa mengutamakan harkat dan martabat manusia secara seimbang tanpa mengorbankan yang lain dan lingkungan hidup. Perhatian pada manusia tidak berarti mengorbankan lingkungan dan mahluk hidup lainnya.


***
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar