Selasa, 27 Juli 2010

Untung Bekerja di Kopdit Bisa Naik Pesawat

Catatan Awal
Tanggal 7-26 Mei 2005, 28 orang dari koperasi kredit (kopdit) yang tergabung pada Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Bekatigade Ende-Ngada mengadakan studi banding (stuba) ke Lampung, Pontianak, Medan dan Yogyakarta. Berikut laporan Koordinator Diklat Puskopdit Bekatigade Ende-Ngada, Kosmas Lawa Bagho yang ikut dalam rombongan dan bahannya dirangkum oleh wartawan Flores Pos, Philipus Suri. Inilah tulisan pertama dari 6 tulisan berseri sejak tanggal 4-9 Juli 2005.

Kegiatan studi banding (stuba) merupakan program yang dirancang dan dilaksanakan oleh Puskopdit Bekatigade Ende-Ngada untuk menjawabi kebutuhan-kebutuhan primer. Stuba juga merupakan media pembelajaran alternatif yang cukup efektif.

Ide awal tentang stuba ini muncul pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) Tahun Buku 2004 di Ende tanggal 15 Januari 2005, memutuskan bahwa stuba atau magang menjadi salah satu program pendidikan Puskopdit Bekatigade Ende-Ngada.

Merujuk pada keputusan RAT tersebut maka manajemen Puskopdit memfasilitasi dan menggerakkan kopdit-kopdit yang asetnya di atas 1 miliar atau yang memiliki potensi lebih berkembang ke depan untuk melakukan stuba.

Berdasarkan formulir yang masuk maka 9 Kopdit primer yakni Kopdit Sangosay Bajawa mengutus 4 orang, Kopdit Boawae 2 orang, Kopdit Sinar Harapan Aimere 1 orang, Kopdit Sehati Bajawa 2 orang, Kopdit Kenisa Mauponggo 2 orang, Kopdit Jamu Maunori 3 orang, Kopdit Handayani Bajawa 2 orang, Kopdit Civita Dei Nangapenda 1 orang, Kopdit Bahtera Ende 3 orang dan Puskopdit BEN 7 orang serta 1 orang VSO sebagai management advisor. Jadi peserta semuanya berjumlah 28 orang melakukan stuba ke Puskopdit Lampung, Pontianak, Medan dan Yogyakarta dari tanggal 7 sampai dnegan 26 Mei 2005.

Fokus stuba pada proses pembelajaran tentang pengelolaan koperasi kredit yang semakin profesional pada daerah-daerah yang lebih berhasil implementasinya. Pepatah bijak mengatakan, “Jika anda ingin mengelola kopdit secara lebih berhasil maka anda harus belajar pada kopdit-kopdit yang telah mengaplikasikan pengelolaannya secara profesional dan berhasil. Teori-teori yang dipelajari hanya sebagai pendukung penerapannya di lapangan”.

Perjalanan rombongan nampaknya sangat mengesankan meski sedikit meletihkan, karena ada yang menggunakan pesawat, ada juga yang menggunakan bus, seperti Jakarta-Lampung pergi pulan (PP) dan kereta api Yogyakarta-Surabaya dengan jarak tempuh ada yang hanya 45 menit tetapi juga ada yang satu hari.

Namun ada hal-hal menarik untuk dicatat bahwa kemajuan kopdit di Indonesia bagian Timur seperti di Flores ini jauh dibandingkan dengan di Indonesia bagian Barat. Teman-teman di bagian barat bisa pilih salah satu alternatif dari berbagai sarana dengan harga bersaing serta berbagai kemajuan monumental. Sementara kita di Indonesia bagian timur, ya itu-itu saja dan terasa jauh dari sentuhan pembangunan yang cukup signifikan.

Ada di antara peserta yang berguman, “Untung saya bekerja di koperasi kredit sehingga bisa naik pesawat atau kereta api”. Tenyata bekerja di kopdit bukan hanya mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan dana pribadi seperti terjadi saat-saat awal pengembangan. Akan tetapi ada enaknya juga.

Pengkotbah mengatakan, “Barangsiapa menanam yang baik, dia akan menuainya. Segala sesuatu indah pada saatnya”. Mudah-mudahan spirit ini terus menggerakkan hati para perintis, penggerak, fungsionaris maupun anggota terutama peserta stuba untuk sungguh-sungguh berkopdit secara sadar dan bukannya bekerja di kopdit/puskopdit hanya sekedar mencari uang. Ada nilai lain yang dapat dinikmati (bersambung)

Flores Pos, 4 Juli 2005
Read more...

Kopdit Serviam Ende: Pipa Kekayaan Masyarakat Flores

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Data yang ditampilkan dari Departemen Tenaga Kerja AS Tahun 2008 (Bisnis Bekerja dari Rumah: www.peaklifestyle.com tanggal 06 Juni 2009) cukup mengesankan dan mengejutkan saya. Dalam website tersebut memberikan hasil data penelitian orang-orang yang bekerja selama 40 tahun (usia 65 tahun) di kantor sebagai karyawan dengan perbandingan sebagai berikut:
a. 1 % orang-orang bersangkutan hidup makmur dan sejahtera.
b. 4 % memiliki cukup uang untuk hidup pas-pasan.
c. 5 % terpaksa untuk tetap bekerja di usia 65 tahun.
d. 54 % hidup dibawah garis kemiskinan, bergantung terhadap uang pensiun atau
bergantung pada sanak saudara, keluarga dan teman.
e. 36 % telah meninggal dunia.

Data statistik ini berkaitan langsung dengan cerita yang coba saya angkat dari Buku Cashflow Quadrant karangan Robert T. Kyosaki. Maaf cerita ini saya edit sedikit dari cerita asli. Inilah kisahnya. Zaman dulu terdapat sebuah desa kecil nan indah. Tempat itu sangat menyenangkan namun sayang tidak ada ketersediaan air jika hujan tidak turun mencium bumi. Para kepala kampung atau desa mengadakan rapat besar untuk mengatasi masalah yang cukup kronis itu. Rapat bersepakat mengontrak dua orang pemuda yang sanggup menyelesaikan persoalan yang dialami masyarakat. Mereka adalah Ed dan Bill. Ed seorang yang bergerak cepat.

Ed segera berlari ke pasar lalu membeli dua buah ember baja besar dan bolak balik ke danau untuk mengambil air. Jarak danau dari desa bersangkutan kira-kira 1,5 km. Pagi hingga petang, ia bekerja keras mengangkut air untuk memenuhi kepentingan masyarakat dan ia langsung mendapatkan uang. Setiap pagi dengan setia ia lakukan dan memperoleh banyak uang. Ia bersyukur bisa mendapatkan banyak pemasukan dari kerja kerasnya sejak pagi hari hingga petang tanpa henti.

Sementara Bill beberapa saat menghilang. Keadaan ini membuat Ed tambah bahagia lantaran tidak ada pesaing. Bill tidak membeli ember baja untuk bersaing dengan Ed tetapi dia membuat rencana usaha, mendirikan perusahaan, mendapatkan empat penanam modal, mengangkat seorang manajer untuk melakukan pekerjaannya dan kembali enam bulan kemudian dengan kru atau rombongan bangunan. Dalam waktu satu tahun, timnya telah membangun jaringan pipa baja anti karat bervolume besar yang menghubungkan desa dengan danau.

Pada pesta pembukaan, Bill mengumumkan bahwa airnya lebih bersih dan bisa memasok air ke desa selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu serta memberikan harga 75% lebih murah dari air yang dijual Ed dan sumber mata airnya lebih berkualitas dan sehat. Penduduk desa bersorak sorai dan langsung berlari ke kran air di ujung saluran pipa Bill. Ia mendapatkan pemasukan tanpa ia harus memikul air dari pagi hingga petang. Bill juga mulai melebarkan sayap usahanya ke desa-desa lain.

Kini Bill menjadi milioner tanpa harus bekerja keras lagi seperti Ed. Ia menghabiskan banyak waktu untuk keluarga sementara kekayaannya terus bertambah dari hari ke hari tiada henti selama air mengalir dari saluran pipa usahanya. Kini uang bekerja keras untuk Bill. Bill bisa mendapatkan uang meski sedang tidur. Dilain pihak Ed, kualitas tenaganya makin menurun karena bertambahnya usia serta mutu airnya menurun drastis maka ia tidak berdaya apa-apa.

Ia terus bekerja keras namun kekayaannya tidak bertambah malah tergerus habis untuk membiayai sekolah ana-anaknya dan biaya perawatan rumah sakit. Ed bekerja sebagai mental pembawa ember yang terus bekerja keras untuk memperoleh uang. Tidak pernah berubah nasibnya agar uanglah bekerja untuk dia. Kini kita mau seperti Bill membangun saluran pipa kehidupan atau seperti Ed sebagai pembawa ember seumur hidup?

Kopdit Serviam dan Mental Pembawa Ember
Koperasi Kredit Serviam dibentuk pada tanggal 09 Januari 1993 oleh sekelompok anak muda di Yayasan Nusa Taruni Bakhti Ende. Pembentukan awal hanya untuk menanggulangi beban kehidupan para guru, dosen, staf dan karyawan Yayasan Ursulin yang terkena dampak langsung gempa bumi 12 Desember 1992. Awalnya keanggotaan terbatas hanya intern dan tidak terbuka untuk masyarakat umum. Dalam perjalanan selanjutnya ada begitu banyak masyarakat mau bergabung dengan koperasi kredit ini dengan berbagai latar pendidikan, status sosial, profesi, suku, ras dan agama.

Tahun 2000, Kopdit Serviam terbuka untuk umum sesuai prinsip dan jati diri koperasi versi UU Koperasi No.25/1992; keanggotaan terbuka dan sukarela. Sejak saat itu, Koperasi Kredit berjuang melawan berbagai bentuk kemiskinan, kemelaratan dan sikap mental pembawa ember bagi seluruh masyarakat Flores umumnya dan Kabupaten Ende khususnya.

Data penelitian Departemen Tenaga Kerja AS hampir searah dengan hasil penelitian NGO Swisscontact di Ende yang dilaksanakan pada tahun 2006. Mereka meneliti sikap masyarakat terhadap sikap menabung serta di mana hal paling besar masyarakat menghabiskan uangnya. Mereka melakukan secara sampel di Kelurahan Tanalodu Bajawa dan Desa Mautenda, Ende. Hasil penelitian juga menunjukkan hal yang sangat mengejutkan dan mengesankan bahwa mamang sebagian besar masyarakat kita tidak segera membangun saluran pipa kehidupan menuju kesejahteraan melainkan sebagai pembawa ember yang senantiasa miskin turun temurun.

Penelitian tersebut menunjukkan angka-angka pembiayaan masyarakat Flores umumnya adalah bidang makan-minum dan konsumeris lainnya dengan prosentase tertinggi yakni 42%, diikuti pesta adat 12%, pendidikan 10%, transport, listrik, telepon dan pengembalian pinjaman sama-sama 9%, pertanian, peternakan dan perkebunan 8%, kesehatan, asuransi dan menabung masing-masing 1%.

Menarik untuk disimak bahwa prosentase pembiayaan masyarakat kita untuk asuransi dan tabungan hanyalah 1% dari seluruh pendapatan atau penerimaan. Bayangkan! Menabung masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat kita. Itu berarti pola pikir dan pola hidup kita masih sebagai pembawa ember. Kita belum mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih cerah-ceria dengan penciptaan kekayaan/asset melalui menabung. Data-data kuantitatif ini dipertegas lagi dengan data kualitatif yaitu sebagian masyarakat apabila mau masuk Koperasi Kredit SERVIAM, selalu bertanya berapa rupiah yang bisa dipinjam bukan berapa rupiah yang disimpan.

Apabila ada motivasi menabung selalu ada seribu alasan yang membuat mereka tidak bisa menyisihkan sesen dua untuk masa depan yang lebih cerah. Oleh karena itu tidaklah heran data dari Departemen Tenaga Kerja AS di atas bahwa setelah bekerja 40 tahun (dalam usia 65 tahun) hanya ada 1% yang hidup sejahtera lalu dimanakah 99%? Sangat tragis bahwa 36% dari antaranya telah meninggal dunia dan 54%-nya hidup dalam keadaan miskin. Semua itu terjadi lantaran kita masih hidup dengan mental pembawa ember.

Kopdit Serviam dan Perubahan Mindset:Pembawa Ember menjadi Pembuat Saluran Pipa
Reinald Kasali pernah menulis dalam bukunya Re-Code: Change Your DNA bahwa usaha yang paling berat dan prosesnya sangat lama adalah bagaimana upaya kita melakukan perubahan mindset atau mengubah pola pikir. Namun tanpa perubahan pola pikir, kehidupan masyarakat tidak akan lebih berkualitas. Untuk itu suatu pekerjaan paling memakan waktu dan biaya bagaimana upaya Kopdit Serviam mau mengubah pola pikir masyarakat Flores agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.

Membangun Sikap Optimis. Semua orang memiliki peluang yang sama yakni rasa percaya diri (dalam batasan yang positip) dan yakin usaha akan mencapai tujuan adalah sikap yang perlu dipupuk di dalam diri. Pepatah menyatakan,’Kita boleh kehilangan apapun tetapi jangan sampai kehilangan harapan’. Harapan akan melahirkan semangat atau optimisme. Sikap optimis harus kuat laksana gergaji yang mampu menembus batang kayu yang sangat keras sekalipun untuk maju dan meraih sukses.

‘A. Suman Kurik dalam bukunya; Membangun Ekonomi Kerakyatan’ pernah menyentil bahwa orang yang putus asa akan dekat dengan bahaya dan kemiskinan. Sesungguhnya peluang untuk hidup sejahtera milik semua orang dan peluang itu ada di mana-mana hanya yang berbeda adalah semangat atau tekad memanfaatkan peluang untuk meraihnya. Sebab perbedaan orang kaya dan orang miskin adalah motivasi untuk mencapai sukses. Sukses itu butuh komitmen tidak sekedar ingin. Komitmen memerlukan motivasi besar yang lebih dikenal dengan antusiasme atau optimisme. Mengeluh karena satu tantangan atau rintangan menandakan bahwa kita bukan pejuang tetapi pengecut.

Setiap orang bisa merubah keadaan. Keadaan sudah tercipta secara alamiah. Namun keadaan demikian bisa diubah sesuai visi dan rencana yang akan diejahwantahkan atau dilakukan dalam tindakan nyata. Jikalau keadaan tidak dapat diubah maka tidak akan memberi dampak apapun. Untuk itu kita harus siap mengoptimalkan modal terbesar dalam diri. Modal terbesar kita untuk merubah keadaan adalah tangan, kaki, mata, pikiran, anggota tubuh lainnya. Namun terkadang berbagai modal itu tidak dimanfaatkan atau malah ragu atau takut mengoptimalkannya. Apalagi dibarengi dengan cara pikir yang keliru bahwa kita orang kebanyakan dengan pola hidup pas-pasan rasa-rasanya sulit untuk menjadi kaya. Cepat menyerah dan menerima keadaan yang sudah ada. Hidup begini sudah cukup untuk apa diubah lagi. Kita harus berani ambil tindakan dan mau merubah keadaan yang bisa kita ubah. Tidak ada yang mustahil sejauh ada tekad, kerja keras dan kerja cerdas.

Membangun Karakter Menabung.
Pola pikir kita (hidup pas-pasan) yang keliru bahwa kebiasaan atau budaya menabung itu hanya berlaku jika seseorang mempunyai uang lebih atau ketika menabung harus dengan angka yang besar. Artinya orang yang hidup pas-pasan tidak perlu untuk menabung. Pola pikir seperti ini yang Kopdit Serviam perlu evaluasi. Menabung itu bisa dilakukan oleh siapapun, apapun profesinya dan di manapun juga.

Menabung tidak harus dalam jumlah yang besar tetapi Rp.1000 per hari juga sudah cukup. Apabila itu yang kita lakukan berarti 1 minggu sudah 7,000 rupiah, 1 bulan 30-31,000 dan setahun 365 ribu rupiah, 10 tahun 3,650,000 rupiah dstnya. Tabungan juga bisa menggunakan sarana celengan agar uang yang seribu rupiah per hari tidaklah tercecer atau cepat berubah bentuk menjadi es, ikan tongkol, rokok dan lain sebagainya.

Untuk bisa menjadi penabung yang baik ada trend pada Koperasi Kredit Serviam Ende yaitu mengajak anggota agar tidak menghitung berapa rupiah sehari yang perlu ditabung melainkan tanyakan dan hitung berapa rupiah yang dihabiskan sehari sebagai pengeluaran. Misalnya perokok surya 12 merokok dua bungkus sehari. 1 bungkus surya 12 diasumsi 8,000 rupiah maka sehari, perokok bersangkutan menghabiskan uang hanya untuk rokok 16,000 rupiah, dalam sebulan menghabiskan 496,000 rupiah, setahun menghabiskan 5,952,000 rupiah. Jika dia merokok 10 tahun berarti 10 x 5,952,000 = 59,520,000. Bayangkan jika perokok tidak merokok dan menginvestasikan uangnya pada koperasi kredit. Itu belum kita hitung bunga simpanan setiap hari x setiap minggu x setiap bulan x setiap tahun x 10 tahun x 20 tahun dstnya. Berapa rupiah kekayaannya ... ?

Mayoritas masyarakat kita bertumpu pada pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan hendaknya melakukan gerakan menabung sebagai investasi untuk membangun kekayaan demi meningkatkan mutu kesejahteraan keluarga maupun pribadi. Seiring dengan memperkuat budaya hidup hemat dan memulai gerakan menabung tanpa harus menunggu hari esok.

Manfaat menabung adalah memiliki asset (kekayaan) yang tidak berkurang jumlahnya melainkan terus bertambah karena pemberian bunga dari Koperasi Kredit Serviam seperti perhitungan di atas. Manfaat lain adalah mengantisipasi apabila sewaktu-waktu ada kebutuhan yang sangat mendesak memerlukan uang untuk pembiayaan dikala sakit, meninggal dunia, melahirkan, biaya panen, dll.
Kalau begitu tidak ada salahnya, Kopdit Serviam Ende menjadi pipa saluran kekayaan masyarakat Flores.

Catatan:
Tulisan ini dirangkum dari tulisan penulis dengan judul 'Kopdit Serviam Ende: Pipa Orang Miskin Flores' dalam buku Bunga Rampai: Kopdit Serviam & Kemiskinan di Flores, 2010 & Dimuat juga di Flores Pos, 27 Juli 2010 dengan judul seperti di atas!
Read more...

CU Gerbang Kasih = CU Gereja: Mengapa Harus Takut?

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Sekali lagi saya tidak bermaksud melakukan polemik berkepanjangan melalui media ini yang akhirnya membingungkan tanggapan anggota dan masyarakat umum terhadap apa yang dinamakan koperasi kredit atau credit union. Tulisan ini juga bukan sebagai jawaban atas apa yang ditulis oleh adik dan imam saya Rm. Ricard Muga Buku, Pr. Apalagi seolah-olah saya memposisikan diri sebagai pecundang bagi kelahiran CU Gerbang Kasih yang oleh Rm. Ricard disebut CU GEREJA (FP, 04 Juli 2007).

Gereja yang universal dan besar itu sudah berbuat banyak bagi masyarakat dunia umumnya terutama umat katolik khususnya secara lebih khusus umat dan masyarakat di tanah Flores tercinta. Rm. Ricard melalui tulisannya ‘CU GEREJA, TIDAK PERLU TAKUT’ seolah-olah membentangkan perasaan takut dan cemas yang saya alami melalui tulisan ‘MENGAPA TIDAK MENJADI ANGGOTA KOPERASI KREDIT’, (FP, 27 Juni 2007).

Mengapa harus takut jika semua kita berkehendak baik melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Saya sangat yakin bahwa CU Gerbang Kasih (independen milik anggota) bukan identik dengan CU GEREJA juga berbuat baik untuk membebaskan seluruh masyarakat (umat) dari keterbelengguan kemiskinan dan kemelaratan. Oleh karena itu saya tidak perlu dan tidak pernah merasa takut.

Saya patut mengancungkan jempol bagi sebagian ‘klerus’ (PSE-KAE) telah berjuang memperjelas keberpihakan gereja pada yang miskin secara kasat mata dengan membentuk CU Gerbang Kasih. Romo Ricard menulis ‘Dengan sendiri mendirikan CU, Gereja hendak menyakinkan umatnya dengan tindakan, bukan sekedar kata-kata.’

Statemen ini mengundang aneka ragam pertanyaan di dalam hati saya. Apakah selama ini gereja cuma berkotbah atau berkata-kata? Ataukah peran nyata yang dimainkan ‘para klerus’ selama ini baik sebagai individu maupun hirarkis untuk membangkitkan kesadaran umat (masyarakat) hidup lebih baik bukan bagian dari peran gereja? Ataukah Koperasi Kredit/CU yang didirikan sebagian ‘klerus’ dalam kerjasama dengan awam (masyarakat) bukanlah juga keterlibatan gereja secara nyata? Lalu apa itu gereja? Kopdit-Kopdit/CU yang ada sekarang berkat fasilitasi dan keterlibatan aktif gereja (DELSOS yang kini lebih dikenal PSE-KAE).

Kalau mau jujur, keseluruhan tulisan saya tidak pernah menisbikan atau mengeliminasikan peran gereja lokal terhadap perintisan, pertumbuhan dan pengembangan Koperasi Kredit/Credit Union di bumi nusa bunga ini. Malah saya sangat mengapresiasi peran gereja baik secara perorangan maupun hirarkis. Saya menulis,’Gereja lokal berperan besar di wilayah yang mayoritas Katolik ini. Meski harus diakui, peran itu bukan datang secara hirarkis tetapi hanya beberapa pastor yang memiliki kepedulian dengan umatnya yang miskin.

Mereka bahkan tidak hanya berkotbah tentang Kopdit di mimbar tetapi juga terjun langsung menjadi anggota. Bahkan di setiap Kopdit di wilayah paroki tertentu, pastor kepala paroki menjadi salah satu penasihat, pengawal moral dan hati nurani yang jujur. Namun rasanya pengaruh perorangan kurang meluas. Angin segar bagi gerakan ini tiba pada saat lokakarya perencanaan strategis yang dilaksanakan di Aula PSE Ende sejak tanggal 11-13 Juni 2007 lalu.

Keuskupan Agung Ende melalui Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) memprakarsai serta melahirkan bayi Kopdit dengan nama ‘Credit Union Gerbang Kasih (Gerakan Rakyat Membangun Kesejahteraan dalam Kasih)’. Mungkin Romo Ricard tersinggung dengan pernyataan dalam tulisan saya ‘Sebaliknya, sang bayi jangan mau menang sendiri’. Anak kalimat itu memang bisa diinterpretasi bahwa saya menuntut 100% hanya dari sang bayi. Saya mohon maaf jika salah satu anak kalimat ini melukai hati romo dan siapa saja. Tanpa bermaksud membela diri, akan tetapi melalui pernyataan itu saya mau mengatakan ada saling menghargai dan kerjasama/kemitraan sejati.

Sesungguhnya anak kalimat itu dilengkapi dengan statemen ‘Menang bersama dan saling menghidupkan’. Namun saya pikir secara terimplisit sudah termuat pada paragraf berikutnya ‘Kita berharap, jika kita dapat bekerjasama maka cita-cita menggempur musuh bersama yakni kemiskinan dan kemelaratan serta menciptakan investor-investor handal di tanah sendiri dapat kita raih secara sukses dalam kebersamaan.

Dengan demikian tidak ada lagi rakyat (umat) kita yang terus-menerus mengharapkan bantuan tunai langsung (BLT). Di atas pundak kita ada rasa tanggungjawab bersama agar masyarakat di daerah ini memiliki harga diri, kepercayaan dan mampu berdiri di kaki sendiri secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Tidak ada lagi yang menggantungkan hidupnya pada orang lain. Oleh karena itu kita perlu membentuk karakter (watak) baru, memberdayakan manusia melalui wadah yang namanya koperasi kredit atau credit union. Kemitraan itu saya tegaskan lagi pada kalimat yang padat dan singkat ‘Indah rasanya jika taman Flores dipenuhi oleh beraneka jenis warna bunga yang cantik.’

Sedangkan paragraf yang dimulai dengan ‘Kehadiran CU Gerbang Kasih bukan berarti lonceng kematian …’ Ini justru mengajak dan menguatkan saya ataupun siapa saja menanggapi sesuatu yang baru atau perubahan apa saja secara positip. Paragraf ini juga mau mengangkat CU Gerbang Kasih dan CU/Kopdit yang sudah ada pada tingkat kemitraan sejati tanpa saling melenyapkan satu sama lain. Paling kurang, tidak saling bertentangan. Sebab kehadiran CU/Kopdit yang baru, saya anggap sebagai media saling belajar dengan tujuan yang satu dan sama walaupun caranya berbeda-beda. Ada banyak jalan lain menuju Roma. Akan tetapi jika ada penafsiran lain yang menyinggung perasaan, sekali lagi saya mohon maaf.

Selanjutnya paragraf ‘Mudah-mudahan …. tidak menghapus segala jerih lelah..’ Pernyataan ini menitipkan pesan moral bagi saya dan siapa saja untuk tidak melupakan sejarah atau apapun yang sudah dibuat oleh para pendahulu kita. Apapun yang kita perbuat sekarang ini tidak harus mendiskreditkan ataupun menyudutkan yang sudah ada atau yang diperbuat oleh orang lain. Mungkin peringatan saya melalui paragraf ini agak prematur. Akan tetapi saya lakukan ini berdasarkan apa yang saya dengar, saya lihat dan saya rasakan selama lokakarya berlangsung (saya salah seorang peserta utusan dari Paroki St. Yosef Onekore-Ende).

Mungkin juga pernyataan-pernyataan sebagian peserta selama lokakarya tanpa sadar menyudutkan orang lain atau lembaga koperasi kredit yang sudah ada. Akan tetapi jika tidak diperingatkan lebih awal akan menjadi preseden buruk bagi gerakan kita di wilayah ini. Saya inginkan kita dapat berkembang secara sehat tanpa harus mengorbankan yang lain. Betapa indahnya, kesuksesan yang kita raih dapat dirasakan atau bermanfaat bagi orang lain (sesama).

Oleh karena itu, mengapresiasi tulisan Rm. Ricard saya perlu titipkan beberapa pesan berikut ini:
Pertama: Secara pribadi saya ucapkan selamat datang kepada CU Gerbang Kasih dan selamat berpartisipasi membebaskan masyarakat dari semua rasa keterbelengguan baik secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Saya tidak pernah takut dan cemas. Sebagai sesama gerakan, saya hanya mengingatkan agar dalam seluruh proses pelaksanaan kegiatan CU/Kopdit ini tidak saling menyudutkan atau mendiskreditkan. Atau mempertentangkan CU dengan Kopdit. Kita bisa bermitra secara produktif tetap dalam nuansa kritis-konstruktif.

Kedua : Bagi saya, CU Gerbang Kasih bukanlah CU Gereja. Di sini Gereja memprakarsai ibarat seorang bidan membantu ibu hamil untuk melahirkan sang bayi tetapi bidan bersangkutan tidak menjadi ibu dari sang bayi. CU atau Kopdit boleh saja dilahirkan atau dibentuk siapa saja, lembaga apa saja namun tetap milik anggota-anggota yang berhimpun di dalamnya (bdk. UU Koperasi No.25/1992). CU/Kopdit/Koperasi berbasiskan anggota. Jika kita menyamakan CU Gerbang Kasih dengan CU Gereja, ada kekuatiran hal ini akan melahirkan polarisasi di dalam masyarakat atau umat atau ada kesan eksklusivisme.

Pada hal UU Koperasi negeri ini telah mengamanatkan bahwa keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka. Koperasi dari segi nama maupun pengelolaannya terbuka bagi siapa saja. Jika kita menyamakannya ada bahaya akan melahirkan ‘unsur pemaksaan’ Gereja terhadap umatnya untuk menjadi anggota CU Gerbang Kasih. Kita berharap tidak akan terjadi demikian.

Sebab Rm. Ricard sudah mewanti-wanti melalui tulisannya, ‘Sama sekali tidak dimaksudkan umat lalu melihat hanya Gerbang Kasih atau Bahtera Sejahtera saja sebagai CU yang baik. Umat boleh saja memilih CU mana saja’. Saya juga hanya kuatir jika hal itu yang dilakukan maka apakah Gereja (KAE), siap bertanggungjawab apabila terjadi sesuatu hal luar biasa menimpa CU Gerbang Kasih? Saya berharap Gereja tidak perlu dibebankan lagi dengan apa yang boleh dan bisa dibuat oleh umat/awam (bdk. Konsili Vatikan II) atau orang-orang yang tergabung dalam CU yang dibidani oleh Gereja (PSE).

Ketiga: Sebagai awam dan aktivis gerakan koperasi kredit/CU, saya hanya mengharapkan agar para ‘klerus’ tetap menjadi penengah dalam seluruh proses kehidupan umat apalagi yang berkaitan dengan koperasi kredit. Keterlibatan pada CU/Kopdit tidak membatasi dirinya sebagai milik semua orang (umat). Para ‘klerus’ tetap sebagai pengawal moral dan hati nurani bagi seluruh gerakan yang ada di dalam masyarakat. Jika hal itu yang terjadi maka mengapa harus takut?

Pernah dimuat di HU Flores Pos, 10 Juli 2007

Read more...