Senin, 22 Desember 2014

Ketampakan & Kenyataan 2

Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Malang



Ketampakan
            Masih terdapat pergumulan dan perdebatan yang rumit bagi para pemikir yang beraliran filsafat baik fenomenologis dan realis-materialisme. Para filsuf fenomenolog melihat segala sesuatu yang tampak hadir sebagai kanyataan itu hanya fenomena atau gejala-gejala atau tanda-tanda dari sesuatu kenyataan yang lebih hakiki. Yang hadir dan yang dapat diindrawi bukanlah kenyataan tetapi lebih tepat dinamakan ketampakan. 

            Ketampakan mengundang akar dan nalar manusia untuk menelusuri lorong-lorong nan gelap yang belum tersingkap realitas yang sesungguhnya. Apabila manusia berhenti pada yang tampak, itu sebuah kebodohan. Pertentangan ini muncul ketika para filsuf memperdebatkan kenyataan dunia ide dan kenyataan dunia kebendaan. Masing-masing mazhab berusaha secara logis-filosofis untuk memberikan kebenaran atas apa yang diyakininya. Pergulatan makin tajam apabila diteropong melalui dunia ‘persepsi’. Persepsi yang berbeda tentu akan melahirkan kebenaran yang berbeda-beda. Hal ini berimbas pada pertanyaan mendalam, entahkah ketampakan itu kenyataan atau kenyataan itu malah sebuah ketampakan. Tergantung ‘persepsi’ atau cara orang ‘melihat’ sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan manusia yang bermartabat manusia.
            Lain ladang, lain ikannya. Ketampakan dan kenyataan menurut para ahli pikir (filsuf) tentu akan berbeda sama sekali dengan para penyair. Bagi penyair, ketampakan adalah kenyataan sementara kenyataan adalah ketampakan yang terbalik. Dunia tampak dan nyata bagi penyair sepertinya melebur dalam nalar dan perasaan yang menjadi satu kesatuan. Kesatuan itu semakin kuat dan indah dalam kata-kata syair yang menyentuh kalbu dan akal manusia yang bisa merasakan secara sungguh-sungguh. Puisi, prosa dan nyanyian bisa menjadi ketampakan dan kenyataan sekaligus yang terlebur.
            Para ahli pikir tidak mau terjebak pada sesat pikir. Filsuf-filsuf itu senantiasa mencari apa yang ada dibalik segala sesuatu yang tampak. Mereka menyusuri hutan belantara ketampakan untuk menemukan hakikat kenyataan yang sesungguhnya. Kendati pun pencarian dan kebanggaan para ahli pikir itu dibantah oleh para psikolog. “Tidak ada hebatnya cara berpikir filsafat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.



Kalau memang para filsuf melalui cara nalarnya bisa mengatasi atau memberikan kebahagiaan manusia, mengapa ada banyak ketidakberuntungan manusia dan lingkungan di dalam dunia ini? Mengapa harus ada penderitaan? Mengapa mesti orang yang tak berdosa (anak-anak) dibunuh secara tidak berperikemanusiaan melalui bom atom? Atau yang menjadi tragedi kemanusiaan maha dahsyat peristiwa Auschwitz? Hitler dan regimnya membunuh orang-orang beretnis Yahudi mulai orang dewasa hingga anak-anak. Mengapa itu terjadi di Jerman sebagai pusat lahir dan berkumpulnya para ahli pikir tentang kebijaksanaan? Ke manakah mereka?” tanya retoris, Calne B Donald sang psikolog dalam bukunya, “Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia”.
            Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Calne meragukan kehebatan filsafat. Bagi dirinya, filsafat hebat dalam menyelami esensi mendasar dari segala sesuatu namun filsafat tidak memberi manfaat bagi manusia. Itulah yang dinamakan batas nalar. Menarik untuk dikaji pemikiran Calne. Apakah peristiwa-peristiwa pahit atau penderitaan itu sebuah kenyataan ataukah itu sebuah ketampakan. Calne mungkin melihat itu sebagai kenyataan akhir sementara para filsuf melihat itu sebagai ketampakaan untuk menyelami hakikat terdalam berbagai peristiwa tragedi yang menimpa manusia. Penderitaan adalah jalan menuju kesempurnaan hidup bagi filsuf.
            Namun tidak mudah memang memahami hal ini. Apabila pembunuhan di Auschwitz merupakan ketampakan menuju ke kenyataan yang esensial maka apakah boleh mengizinkan manusia untuk melakukan pembunuhan? Inilah kontradiksi atau paradoksal atau lebih tepat disebut dilema moral (etis).
            Oleh karena itu, memang perlu kehati-hatian cara berpikir tingkat tinggi agar mampu memahami dan menyelami segala peristiwa kehidupan manusia. Ketampakan dan kenyataan senantiasa merujuk pada ‘bonum commune’ kebaikan bersama bukan pada sesuatu yang buruk atau melanggar nurani moral dan adat budaya yang positif.
            Untuk menjelaskan makna ketampakan, salah seorang filsuf Muslim, Muhammad All-Fayyad memberi contoh tentang “kehadiran”. Pertama-tama, kehadiran menunjuk pada kualitas ketampakan sesuatu dihadapan penglihat. Sesuatu, katakanlah ‘meja’ tampak dihadapan saya sebagai meja dan saya memahaminya sebagai meja karena ia tampak sebagai meja. Ia tampak sebagai meja bukan benda yang lain.

            Persoalan muncul kemudian apakah si ‘meja’ tadi hadir kepada saya sebagai meja itu sendiri atau sebagai ‘konsep tentang meja’ sebagai kenyataan meja sebagai meja konkret. Oleh karena itu, kualitas kehadiran atau ketampakan sangat bergantung pada mata si pelihat (persepsi). Para filsuf melalui penyelidikan mendalam dan lebih mendasar menyatakan bahwa ‘sesuatu’ tidak hadir sebagai ‘sesuatu itu sendiri’ (kenyataan) melainkan sebagai ‘konsep tentang sesuatu’ (ketampakan). Berdasarkan argumentasi ini maka ketampakan menjadi jelas bahwa bukanlah kenyataan melainkan sarana menuju pemahaman yang lebih mendasar hakikat terdalam dari kenyatan itu sendiri. Hal ini penting dipahami para manajer perusahaan agar dalam mengambil keputusan tidak hanya berbasiskan pada nalar sederhana ‘sesuatu yang tampak’ melainkan lebih mendalam pada ‘apa yang ada dibalik yang tampak’ dengan cara berpikir atau bernalar secara filsafat.

Kenyataan
            Dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan adalah hal yang nyata, yang benar-benar ada meski juga masih perlu pertanyaan yang lebih mendalam, entahkah yang benar-benar ada itu kenyataan yang sesungguhnya, yang esensial, yang mendasar dan yang diterima secara universal. Hampir sama dengan ketampakan, kenyataan juga mendapatkan perdebatan dan pergulatan yang tidak tuntas dan final. Semuanya masih dalam proses menjadi menuju kenyataan menjadi kebenaran yang objektif. Hal ini lebih ambigu apabila kenyataan itu ada tingkat-tingkat secara filosofis.
            Bentuk realitas mungkin benar bagi yang lain namun tidak bagi yang lain lagi. Dari perspektif fenomenologis, realitas adalah sesuatu yang secara fenomenal nyata sementara non-realitas dianggap tidak ada. Persepsi individual dapat didasarkan pada kepribadian seseorang individu, fokus dan gaya atribusinya sehingga hanya dialah yang melihat apa yang ingin dilihat atau dipercayai sebagai kebenaran (Muhammad Irfan).
            Persoalan dilematis memahami kenyataan dalam kehidupan mansia. Kehidupan manusia menunjukkan indikasi adanya sesuatu yang hidup, bergerak, beregenerasi, membutuhkan makanan dan minuman, berpikir, merasa dan lain sebagainya. Memikirkan kehidupan tidak seperti berpikir matematis yang segalanya diukur atas dasar perhitungan angka melainkan menyangkut tentang pertanyaan keberadaan, mengapa dan apa maksud dari kehidupan.

            Para filsuf terbagi dalam dua teori yang saling mendebat satu sama lain. Ada filsuf meyakini bahwa kehidupan bukanlah kenyataan, kenyataaan sesungguhnya ada dalam ide. Sesuatu yang terlihat adalah bayangan (ketampakan) dari ide (Plato; 427-347 SM) dalam Muhamad Irfan (2012). Menurut Plato, segala benda indrawi dalam kehidupan memiliki perubahan. Oleh karena itu, tidak dapat disebut sebagia yang hakiki. Sesuatu yang hakiki hanya bisa ditangkap apabila sesuatu itu tidak mengalami perubahan. Sesuatu yang hakiki (kenyataan) adalah sesuatu yang tetap.
            Teori kedua berlawanan teori pertama. Teori ini menegaskan bahwa kenyataan terdapat dalam benda konkret yang bisa dilihat dalam kehidupan. Benda konkret sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari seperti meja, kursi, pintu, kipas angin dan lain-lain. Kenyataan adanya hakikat suatu benda. Hakikat ada pada benda itu sendiri merupakan teori yang telah dikemukan  Aristoteles (384-322 SM) dalam Irfan (2012).
            Dari ulasan ini meneguhkan kepada kita bahwa kenyataan dan ketampakan masih menjadi perdebatan. Namun bagi kita bahwa sesuatu yang tampak membantu kita untuk memahami sesuatu yang ada dibaliknya yang lebih esensial dan lebih hakiki. Kita tidak cepat percaya pada hal-hal yang tampak lalu terjerat pada aktivitas ‘sesat pikir’ bahwa yang tampak itu sesuatu yang nyata. Pemikiran filosofis yang senantiasa mempertanyakan hakikat terdalam membuat manusia bisa mewujudkan potensi-potensi terdalah yang hakikatnya sebagai mahluk yang berakal budi dan bernalar mulia meski ada para pihak pun meragukan kehebatan filsafat.
            Keadaan itu sangat jelas dalam kasus Auschwitz yang menjadi beban sejarah para filsuf. Habermas pernah berkata, sungguh sukar memahami sejarah peradaban rasionalitas Jerman. Jerman telah melahirkan tokoh-tokoh pemikir terhebat mengenai etika dan humanisme dalam sejarah, seperti Kant, Hegel, Marx dan lain sebagainya. Akan tetapi mengapa Jerman telah melahirkan monster dari Perang Dunia Kedua? Pertanyaan ini menjadi cetusan ketidakmampuan mengerti akal budi manusia menyaksikan pabrik pembantian peling mengerikan sepanjang masa, Auschwitz (Habermas dalam Armada Riyanto: 2014).
            Pertanyaan esensial Habermas ini setelah menelaah puisi “Auschwitz” yang digubah Jerzy Afanasjew (1932-1991) dalam Riyanto (2014) sebagai berikut:
            Saat merenung Auschwitz
            Aku membayangkan kebinatangan
            Orang-orang Jerman (tentara SS)

            Ibu-ibu dan isteri-isteri mereka
            Mendengkur dalam kebodohan
            Sementara orang lain dibantai
            Dicekik gas

            Aku dengar kicauan terakhir
            Di kamar-kamar gas
            Seekor burung yang mereka lihat
            Untuk terakhir kalinya

            Aku lihat matahari
            Melintas di balik asap-asap dupa
            Dari cerobong-cerobong itu
            Membubung pula jiwa-jiwa
            ke Surga

            Di tengah kekalutan antara kenyatan dan ketampakan senantiasa melahirkan optimism seperti terungkap pada puisi berikut yang ditulis oleh Kazimierz Dabrowski (1908-1944) juga dalam (Riyanto: 2014).
            Hari-hari baik akan tiba, pasti akan tiba
            Buah perdamaian akan lahir
            Orang-orang di Auschwitz tak percaya
            Kata-kata buram dari bait puisiku ini

Itulah kenyataan yang sesungguhnya dan bisa dijawab secara teologis-filosofis.





Penutup
            Ulasan ketampakan dan kenyataan belumlah sempurna dan tuntas. Namun apa pun diharapkan bahwa melalui tulisan yang masih sangat sederhana ini memberikan tambahan wawasan bagi para manajer untuk mendalami hakikat terdalam dari segala yang berhubungan dengan manusia dalam keseluruhan pengelolaan perusahaan. Manajer semakin sadar bahwa apa yang tampak tidak selalu mengungkapkan realitas namun hanya sarana menuju kenyataan yang hakiki. Dengan demikian membantu para manajer untuk mengambil keputusan melalui kajian berpikir dan bernalar secara lebih tajam dan lebih mendalam. Ketampakan bukan kenyataan. Kenyataan adalah awal dari ketampakan.

***
Daftar Rujukan
 All-Fayyad Muhammad (2010), “Ketampakan” www.fayyad.wordpress.com diakses 20
            Desember 2014
Calne B. Donald. 2004. Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku Manusia. Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Irfan Muhammad (2012), “Realitas Fenomenologis” www.ruruls4y.wordpress.com diakses
            tanggal 21 Desember 2014
Tambunan R.L Edison & Bala Kristoforus. 2014. Di Mana Letak Kebahagiaan?: Penderitaan,
            Harta, Paradoksnya (Tinjauan Filosofis Teologis). Sekolah Tinggi Teologi Widya
            Sasana Malang, Vol.24 No. Seri 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar