Jumat, 03 Desember 2010

Redupnya Urat Nadi Kesetiakawanan Sosial di Koperasi Kredit

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Judul tulisan di atas mungkin mengundang banyak kontroversi atau berkesan agak fantastis. Namun saya cuma mengangkatnya untuk memperoleh kajian lebih lanjut ataupun masukan berharga bagi pengembangan gerakan koperasi kredit kita ke depan teristimewa dalam menghadapi berbagai perubahan yang bukan saja mendukung pertumbuhan dan perkembangan kopdit namun juga sepertinya menjadi tantangan tersendiri agar kita mengsiasatinya menjadi peluang peningkatan pelayanan yang unggul kepada anggota dan masyarakat.

Sungguh bukan suatu sensasi belaka ketika Mentik memilih tema Koperasi & Kesetiakawanan Sosial pada edisi kali ini. Mentik mungkin sudah mempertimbangkan secara matang apa yang ingin dipetik hikmah dan pembelajaran dari tema bersangkutan bagi gerakan koperasi kredit di Puskopdit Bali Artha Guna ataupun gerakan secara nasional.

Ada sejumlah pertanyaan menggelitik nurani kita, entahkah melaui tema ini Pusat Koperasi Kredit Bali Artha Guna (Puskopdit BAG) mampu mengangkat kembali nilai dan karakter dasar kesetiakawanan sosial yang mulai redup karena hantaman kamajuan modernisme yang semakin individualistik? Ataukah memang kurang lebih satu juta anggota dan fungsionaris koperasi kredit dari daerah sampai nasional kurang peduli lagi dengan nilai kesetiakawanan sosial yang menjadi salah satu pilar penting dalam tiga pilar koperasi kredit yakni swadaya, pendidikan dan solidaritas?

Kita tidak mendapatkan jawaban persis mengapa Mentik mengangkat tema di atas. Namun satu hal yang paling jelas bahwa nilai solidaritas dan kesetiakawanan sosial saat ini mulai kehilangan makna ketika kita mulai terjerumus pada hal-hal yang bersifat untung rugi semata, fanatisme wilayah yang berlebihan dan tidak lagi membangun komunikasi yang efektif dan berimbang antar jejaring gerakan di seluruh Indonesia.

Atau memang Mentik menganggap bahwa tema itu menggedor kembali hati nurani kita agar kembali menghidupkan nilai-nilai dasar tersebut dalam tindakan nyata bukan sekedar wacana atau ide politik yang diperjualbelikan untuk mendapatkan kedudukan.

Fenomena Simpton

Mungkin redupnya urat nadi kesetiakawanan sosial dalam gerakan kita belum mencapai titik nadir namun berbagai gejala simpton (kecil) yang mulai tampak ke permukaan apabila tidak segera diperbaiki akan menjadi laksana lahar panas gunung Merapi yang siap menerjang dan meluluhlantahkan gerakan kita.

Fenomena simpton itu muncul dalam bentuk kurang harmonisnya hubungan dan kominikasi antar lini baik dalam lingungan kepengurusan, kepengawasan, manajemen (fungsionaris) maupun fungsionaris dengan anggota. Fungsionaris sering kali mempertontonkan kedigdayaan mereka untuk tidak lagi menghargai atau mengapresiasi niat baik dan komitmen positif anggota sebagai pemilik. Rapat Anggota Tahunan sering kali hanya menjadi arena ‘sabun ayam’ formalitas demokrasi yang mulai kehilangan kualitas pengawasan dari anggota. Suara-suara kritis anggota betapa sering kurang dipedulikan.

Sebaliknya anggota mulai mangkir dari perjanjian pinjaman yang dilandasi dengan saling percaya. Banyak kasus kredit bermasalah menjadai salah satu indikator paling jelas bahwa kita tidak lagi memperhatikan kesetikawanan sosial. Lembaga koperasi kredit atapun Puskopdit serta Inkopdit mulai mengubah landasan jaminanan pinjaman yang sebelumnya berpedomankan ‘kepercayaan’ kini mulai ramai-ramai berubah menjadi berbasiskan agunan barang bergerak maupun tidak bergerak. Sederhana memang tetapi realitas ini menunjukkan sangat transparan kepada kita bahwa nilai kesetiakawanan atau solidaritas yang dibaluti selimut kepercayaan mulai kehilangan maknanya.

Kini mulai ada trend baru dalam gerakan kita ialah pengurus dan pengawas masing-masing Kopdit atau Puskopdit atau juga Inkopdit merancang suatu pedoman bahwa mereka harus digaji sama seperti manajer dan karyawan meski harus berbenturan dengan UU Koperasi No. 25/1992 yang menyatakan secara jelas bahwa pengurus dan pengawas koperasi tidak mendapat gaji tetapi insentif ataupun jasa pada akhir tahun. Orientasi pelayanan yang terwujud dalam tiga pilar swadaya, pendidikan dan solidaritas mulai berubah menjadi orientasi berapa rupiah yang harus diterima.

Di tingkat nasional terlepas dari berbagai kekurangan pengelolannya namun kita mulai secara terang-terangan bahkan mulai melakukan perlawanan terhadap berbagai kesepakatan atau komitmen bersama yang telah lahir sejak awal pendiriannya. Sketsa solidaritas atau kesetiakawanan sosial dalam bentuk dana perlindungan bersama (Daperma) mulai diutak-atik dengan mengukur dari sisi untung rugi. Kita mulai melakukan perhitungan dengan orang-orang mati. Solidaritas yang besar membantu yang kecil mulai kehilangan orientasi dan ditinggalkan. Kita mulai merasa menang sendiri sebagai seorang jagoan atau sinterklas baru.

Kita juga mulai mempertanyakan iuran solidaritas dengan perhitungan 2% dari pendapatan kotor – biaya bunga pihak III. Dulu ketika koperasi kredit atau puskopdit masih kecil belum ada nada-nada sumbang namun ketika sudah mulai besar kita mulai utak atik dan bahkan ada sejumlah gerakan untuk tidak lagi memenuhinya atau pun memenuhinya dengan dahi cemberut. Belum lagi solidaritas dalam penggunaan standar akuntansi maupun sistem program komputerisasi dan komitmen lainnya.

Tentu tidak ada salahnya. Namun berbagai gejala kecil ini menunjukkan bahwa nilai solidaritas atau kesetiakawanan sosial dalam gerakan kita baik di tingkat daerah sampai nasional mulai dipertanyakan dan sedang diuji eksistensinya. Ketika kita mulai mempertanyakannya berarti sejauh mana kadar nilai solidaritas atau kesetiakawanan sosial kita baik ke dalam maupun ke luar.


Butuh Komitmen Baru Kembali pada Jati Diri

Kesetiakawanan sosial atau dalam gerakan kita lebih dikenal dengan frasa solidaritas sesungguhnya suatu nilai dasar dari tiga pilar yang menopang kekuatan bangunan koperasi kredit. Salah satu tiang penopangnya timpang maka keseluruhan kemegahan bangunan koperasi kredit akan runtuh tak tahu di mana batu nisannya. Apabila itu terjadi maka jutaan orang yang telah menggantungkan hidupnya pada lembaga koperasi kredit akan menjadi yang termiskin dari orang-orang miskin yang ada di planet bumi yang bernama Indonesia.

Sendi-sendi bangunanan koperasi kredit harus terus disirami dengan komitmen nyata untuk mengimplementasikan yang namanya solidaritas. Solidaritas itu muncul tidak hanya pada saat-saat krisis atau ketika kita masih kecil tak berdaya tetapi hendaknya menjadi urat nadi yang terus mendenyut di setiap detak langkah kehidupan gerakan koperasi kredit di mana dan kapan saja kita berada.

Gerakan kita membutuhkan komitmen dan orientasi baru dalam mewujudkan solidaritas atau kesetiakawanan sosial yang saat ini sedang diuji dengan modernisme dan nilai-nilai baru yang hadir pada gerakan kita. Nilai-nilai itu seperti fanatisme wilayah, ego sektoral dan kentalnya individualistik serta mis-komunkasi antar jaringan yang membuat kita mandul dalam mengembangkan visi dan misi serta komitmen bersama secara nasional.

Tiga pilar yang menjadi jati diri koperasi kredit harus terus didengungkan dan dipraktekan dengan sungguh-sungguh. Swadaya mengundang kita untuk tidak menggantungkan modal kerja dan pengelolaan pada pihak luar meski ada berbagai tawaran ‘modal lunak’ dengan suku bunga paling rendah sekalipun. Pendidikan menjaminkan lembaga kita untuk terus meningkatkan SDM semua komponen baik anggota, pengurus, pengawas, penasihat dan manajemen agar pengelolaan koperasi kredit bisa profesional dan berkelanjutan.

Sementara solidaritas atau kesetiakawanan sosial yang sedang kita perbincangakan dalam tulisan ini membantu kita agar tidak melahirkan kesenjangan, makin adil dan peduli, harmonisasi dan komunikasi yang efektif serta menghargai hak-hak asasi manusia masing-masing anggota, lembaga primer, Puskopdit dan Inkopdit. Gerakan kita adalah sarana membangun kebersamaan, saling percaya yang dilandasi kejujuran, kesetiakawanan sosial atau solidaritas untuk bertumbuh maju memberdayakan anggota dan masyarakat mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Mari kita junjung bersama!
Read more...