Selasa, 23 Desember 2014

Soft Competency Karyawan 1

 Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang



BAB I
SOFT COMPETENCY KARYAWAN

1.1  Identifikasi Masalah Faktual
Perusahaan atau lembaga bisnis apa pun saat ini sungguh membutuhkan soft competency karyawan dalam menciptakan prduktivitas dan profitabilitas perusahaannya. Soft competency mrupakan kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia, kepemimpinan serta membangun interaksi dengan orang lain. Contohnya adalah kepemimpinan, komunikasi dan hubungan interpersonal. 

Umumnya setiap tenaga kerja yang baru masuk dalam perusahaan diberikan pendidikan untuk meningkatkan skill dan pengatahuan yang sudah ada agar sesuai dengan kebutuhan organisasi atau perusahaan. Namun peningkatan dari sisi skill dan pengatahuan saja tidak cukup karena banyak tenaga kerja yang pandai tetapi perilakunya kurang sesuai budaya organisasi yang dimasukinya. Oleh karena itu, membutuhkan tambahan berupa soft competency. Pada dasarnya, soft competency merupakan bagian yang mempengaruhi perkembangan hard competency seseorang dan kinerjanya. Motif, faktor bawaan dan konsep diri menghasilkan perilaku keahlian dan kemudian menghasilkan hasil kerja dan pengalaman (Destrison, 2003 dalam Rinaldo (tanpa tahun)).
Thomas J. Neff dan James M. Citrin (1999) dalam Wawan S. Kuswandoro (http://miracleone.wordpress.com/miracle-learning/soft-skill-training/ diakses 23 November 2014 mengatakan bahwa kunci sukses seseorang ditentukan oleh 90% soft competency dan hanya 10% saja ditentukan oleh hard comptency. Kajian Depdiknas RI pada tahun 2009, menyatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam pendidikan, 85% ditentukan oleh soft competency.
Hasil penelitian Harvard University, Amerika Serikat: kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill/competency), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill/competency). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % dengan hard skill dan sisanya 80 % dengan soft skill. 
Buku berjudul: Lesson From The Top karangan Neff dan Citrin (1999) seperti dikutif Kuswandoro (tanpa tahun) memuat sharing dan wawancara 50 orang tersukses di Amerika: mereka sepakat yang paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan lunak (soft skills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills).
Hasil survei Majalah Mingguan Tempo tentang keberhasilan seseorang mencapai puncak karirnya karena memiliki karakter: mau bekerja keras, kepercayaan diri tinggi, mempunyai visi ke depan, bisa bekerja dalam tim, memiliki kepercayaan matang, mampu berpikir analitis, mudah beradaptasi, mampu bekerja dalam tekanan, cakap berbahasa Inggris, dan mampu mengorganisir pekerjaan.
Sony Gunawan dari Yogya Departemen Store menyampaikan hal itu pada diskusi “Relevansi Soft Skill Dengan Kebutuhan Dunia Kerja” yang diselenggarakan Universitas Widyatama. Sony memaparkan, ketersediaan lulusan (supply) dengan keterserapan dunia kerja/usaha terhadap lulusan tersebut (demand) saat ini, sangat tidak seimbang. Akibatnya, banyak lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Untuk memperoleh lulusan yang siap kerja, dunia usaha yang dikelola Sony, menetapkan sistem seleksi dengan menggunakan tes spiritual quotient (SQ). Tes tersebut memenuhi kebutuhan IQ maupun EQ calon karyawan, bahkan indikasinya cenderung baik dan peserta tes dapat bekerja sama. Jika seseorang mempunyai kedua kompetensi itu, silahkan dengan terbuka merebut kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan perlakuan dalam bekerja.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa soft competency meski sangat dibutukan oleh perusahaan dan para calon karyawan dalam memasuki dunia kerja namun ketersediaan tenaga yang memenuhi soft competency yang unggul belum tersedia. Pada hal, soft competency seseorang calon karyawan sangat berhubungan dengan posisi tawar memasuki dunia kerja agar bisa memberikan kontribusi bagi peningkatan produktivitas perusahaan dan tentunya juga tingkat kompensasi yang akan diterimanya. Dapat dilihat dengan nyata bahwa persoalan mendasar  terletak pada pengembangan atau pelatihan soft competency yang belum memadai. Untuk mengatasinya persoalan mendasar dimaksud, perlu pendidikan dan pelatihan soft competency sebagai persiapan para calon karyawan dalam memasuki dunia kerja.
  
1.2  Kerangka Konseptual Mendasar yang Menjadi Solusi
            Ada beragam metode untuk menguji atau meningkatkan soft competency dari hal yang sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Detrison (2003) dalam Rinaldo (tanpa tahun) menyatakan bahwa metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam kuesioner kompetensi.
Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assesment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacam-macam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para penilai yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan biaya yang relatif besar serta waktu yang cukup panjang tergantung jumlah dan tingkat kesulitan tugas yang diberikan.
Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dan lain-lain. Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benar-benar telah teruji level kompetensinya. Melalui metode-metode inilah, pihak manajemen mampu mengetahui dengan cukup akurat potret kompetensi karyawannya. Dan kemudian dapat disusun suatu employee development plan yang relevan.
Selain itu dalam upaya peningkatan soft competency karyawan dikenal juga istilah Soft Competency Training. Soft Competency Training dalam hal ini merupakan sebuah training yang didasarkan atas kompetensi yang telah ditetapkan yaitu soft competency yang harusnya dimiliki oleh seorang karyawan, yang meliputi kepemimpinan, komunikasi dan hubungan interpersonal.
Michael J Marquard (2002) memberikan model pelatihan soft competency sebagai berikut: (mohon maaf tabel tak bisa ditampilkan)












 Building the Learning Organization oleh Michael J. Marquard, 2002.

Untuk melengkapi metode pembelajaran soft competency model Marquard, Lyle M. Spencer memberikan tambahan sebagai berikut: berpikir kritis (dapat mengenal hubungan sebab-akibat, secara sistematis mampu memecahkan masalah yang kompleks); bekerjasama dalam tim (kemampuan bekerja sama dalam tim secara kooperatif); kontrol diri (mampu menjaga emosi sehingga tidak mengganggu pekerjaan, memiliki daya tahan terhadap stress); percaya diri (mempunyai kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuan dirinya, menunjukkan tanggungjawab dalam menghadapi kondisi yang menantang, pencapaian tujuan, mampu memberikan gagasan konstruktif); fleksibel (bersikap fleksibel terhadap perubahan dan mampu menyesuaikan diri, kemampuan beradaptasi dan bekerja secara efektif dengan beragam situasi, individu atau kelompok). Dengan demikian dapat digambarkan kerangka konseptual ini dalam bagan.

1 komentar:

  1. Terimakasih telah men-sitasi artikel saya. Salam sukses. Wawan E. Kuswandoro (bukan "Wawan S. Kuswandoro).. hehe..

    BalasHapus