Selasa, 24 Juni 2014

Inovasi Berbasis Nilai 3 (Pilar Keempat GKKI)

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Merujuk pembelajaran 'best practice' inovasi yang dilakukan di Philipina dan Kanada maka ruang pandang para pemimpin GKKI (Gerakan Koperasi Kredit Indonesia) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke di semua jenjang (Kopdit, Puskopdit dan Inkopdit) seyogyanya semakin lebih luas.



Inovasi yang didukung oleh tata kelola (Framework Governance for Credit Union) yang baik dan profesional akan semakin berhasil penerapannya. Untuk bisa melahirkan inovasi berbasis nilai maka pilar keswadayaan harus tetap utuh sementara pilar solidaritas harus terus diperkuat. Namun kedua pilar itu dapat berkelanjutan kalau pilar pendidikan anggota terus dikembangkan dengan inovasi-inovasi baru yang mudah diterima dan dicerna anggota. Anggota harus menjadi sentral atau pusat tata kelola koperasi kredit yang baik dan profesional.

Salah satu kelebihan GKKI adalah berlanjutnya pendidikan kreatif termasuk pelatihan praktis bagi anggota perseorangan maupun para pengurus, pengawas, manajer dan para stafnya. Singkat kata, pendidikan harus senantiasa diisi dnegan inovasi-inovasi segar yang disesuaikan dengan perkembangan zaman namun selalu berpijak pada nilai-nilai perkoperasian.

Kurikulum pendidikan CU/Kopdit tidak hanya meneruskan warisan lama namun harus inovatif dan kreatif yang lahir dari hasil analisis faktual situasi Kopdit/CU saat ini dan di sini (hic et nunc). Contoh sederhana modul pendidikan inovatif yakni: 1. adakan sampling secara acak beberapa kopdit/cu yang sedang mengalami kelalaian pinjaman, 2. seleksi 15 peminjam terbaik: mereka yang sudah melunasi pinjaman secara tepat waktu dan sudah meminjam paling kurang 2 kali di kopdit/cu, 3. seleksi 15 peminjam terburuk: mereka yang tidak berhasil melunasi pinjamannya dan sudah diperpanjang minimal 2 kali, 4. masing-masing kelompok mengadakan disukusi untuk menggali mengapa terjadi baik yang tertib maupun yang lalai, 5. adakan analisis hasil diskusi: a. meninjau ulang pola kebijakan pinjaman, b. bagaimana anggaran belanja keluarga masing-masing peminjam disusun, jika ada c, pengaruh internal keluarga atau eksternal yang menyebabkan kepatuhan atau kelalaian terjadi, 6. rangkum hasil diskusi dan ciptakan atau sempurnakan modul pembelajaran untuk anggota khususnya pinjaman di CU/Kopdit.

Modul-modul pembelajaran hendaknya dikemas secara eksperiensial (pengalaman) bukan secara teoritis sehingga anggota dapat dengan mudah mencerna substansi pembelajaran. Salah satu bentuk pembelajaran inovatif yang efektif adalah dengan menggunakan video interaktif.

Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Mau tidak mau, suka tidak suka, GKKI harus berhadapan dengan Mayarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015. MEA tersebut memberikan kebebasan bagi pasar ASEAN untuk masuk dan keluar secara lebih dinamis tanpa barier yang berarti di dalam maupun keluar negara-negara di ASEAN. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa produk-produk Indonesia bisa dipasarkan secara bebas ke negara lain di ASEAN atau pun sebaliknya produk dari negara ASEAN lain masuk ke Indonesia. Termasuk produk koperasi kredit atau credit union. Artinya koperasi kredit/CU di Thailand, Philipina dapat saja membuka cabang atau TP di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi GKKI.

Menyimak pertumbuhan dan perkembangan GKKI di level ASEAN nampak bahwa disamping FSCT di Thailand, Indonesia adalah gerakan koperasi kredit/credit union terbesar dua di kawasan ini. Namun secara demografis, Indonesia adlah negara yang memiliki populasi terbesar di antara semua anggota ASEAN sehingga rasio pertumbuhan dan perkembangannya relatif rendah. Inilah saatnya GKKI mulai mengembangkan pemikiran besar dalam rangka menyongsong MEA 2015.

MEA 2015 harus dilihat sebagai peluang dan sekaligus tantangan agar bisa menghembuskan energi maha dahsyat untuk melahirkan kekuatan besar. GKKI sudah cukup lama diuji coba dalam masyarakat heterogen dari Sabang sampai Merauke sehingga eksistensinya /masih tetap diakui bahkan dikagumi. Inkopdit dan Puskopdit-Puskopdit harus bisa memanfaatkan bonus demografis sebab usia produktif penduduk Indonesia masih berada di level 70% dengan tenaga kerja aktif diatas 100 juta orang.

Pilar pendidikan, swadaya, solidaritas dan inovasi merupakan aset filosofis/non financial yang harus dioptimalkan untuk meraih perkembangan anggota dan perumbuhan finansial yang lebih besar. GKKI bisa dikategorikan sebagai salah satu gerakan sosial-ekonomi yang berpeluang memperkecil rasio Gini yaitu mengurangi kesenjangan natara kaya-miskin yang sekarang berkisar di indeks 0,41% yang berarti masih besarnya kesenjangan kaya-miskin di Indonesia. Indonesia sebagai negara agraris membuka peluang besar bagi GKKI untuk mulai masuk secara aktif di sektor riil (CU Mart misalnya).

Untuk berkiprah di sektor riil diperlukan inovasi baru yang khas dan unik. Inovasi 'The Ottawa Valley Food Co-operative (OVFC)" dapat dijadikan rujukan untuk GKKI bekerjasama dengan CU Mart yang sekarang mulai tumbuh berkembang di Indonesia, apalagi pengembangan CU Mart di banyak daerah ditopang oleh kopdit/CU setempat meski pun secara struktural masing-masing merupakan koperasi tunggal usaha.

Melalui kerjasama erat demikian maka kekuatan lokal dapat dibentengi oleh GKKI dan IKKI (Induk Koperasi Konsumen Indonesia) sehingga desakan impor bahan pangan murah dari negara ASEAN lainnya dapat dicegah, paling kurang di daerah eksperimentasi GKKI/IKKI yang ada sekarang. Juga diperhatikan bidang teknis dan SDM seperti melengkapi pengurus, pengawas dan pengelola koperasi kredit/CU dengan sertifikasi uji kompetensi sebagai bukti pertanggungjawaban lembaga kopdit/CU secara lebih profesional dan terpercaya.

Patut dicatat dalam era perdagangan bebas dengan kekuatan kapitalis yang mengagungkan uang selalu berfilosofi bahwa pentingnya mengendalikan uang sebelum manusia dikendalikan oleh uang. Falsafah utama adalah bahwa kemewahan tidak mampu meningkatkan harga diri seseorang. Yang lebih penting adalah bukan berapa yang seseorang bisa hasilkan namun kehidupan apa yang dapat seseorang hasilkan dengan jumlah uang yang dia miliki. Dengan kata lain, "Siapa anda jauh lebih penting dari apa yang anda miliki". Uang tidak pernah bisa mendefenisikan anda, anda harus mendefenisikan uang anda (Ms. Suze Orman).

*** Disari dan ditulis ulang tanggal 25 Juni 2014






Tidak ada komentar:

Posting Komentar