Senin, 04 Mei 2015

Tenaga Kerja Indonesia & MEA 2015 5

Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Negeri Malang


2.2.3  Daya Saing Tenaga Kerja & Sosio-Kultural
               Menurut laporan World Economic Forum (WEF) mempublikasikan daya saing global, posisi Indonesia pada posisi 46 pada periode 2011-2012. Daya saing global mencakup 12 pilar yakni institusi, infrastruktur, makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi.

               Posisi daya saing efisiensi tenaga kerja, Indoensia berada pada posisi 94 dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand padahal dari sisi jumlah tenaga kerja, Indonesia menjadi nomor 1 di ASEAN hanya belum memiliki daya saing yang tinggi dengan tenaga kerja di tempat lain. Daya saing tenaga kerja yang kurang menguntungkan akibat budaya atau kultur kerja yang bellum optimal sesuai standar daya saing tenaga kerja ASEAN dan dunia. Negeri Indonesia masih terus mengoptimalkan sumber daya manusia tenaga kerja agar mampu berdaya saing untuk bekerja di dalam negeri meski nanti dibanjiri tenaga kerja terampil dari Negara ASEAN lainnya atau bahkan bisa mengekspor tenaga kerja yang berdaya saing tinggi untuk bekerja di luar Indonesia sehingga meningkatkan devisa Negara.
2.2.4  Pengelolaan Tenaga Kerja yang Berbasiskan Sosio-Kultural
               Tenaga kerja tidak akan lepas dari pengaruh sosial dan budaya yang dihidupinya. Tenaga kerja yang terampil juga ditentukan oleh budaya kerja yang memiliki daya saing tinggi, menghargai waktu, penuh pengorbanan, kejujuran, keterbukaan (transparansi), mau bekerja keras dan penuh komitmen dalam melakukan pekerjaan secara optimal sesuai standar.
               Dalam menghadapi MEA/AEC 2015, pengelolaan tenaga kerja terampil yang berbasiskan kearifan lokal menjadi sangat penting dan urgen dilakukan. Dalam pengelolaan tenaga kerja terampil dan berdaya saing perlu pemahaman dan kompetensi yang memadai seperti yang diungkapkan Edwin B Fillipo (1984) dalam Kusnendi (2004) mengatakan bahwa mengelola tenaga kerja melibatkan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pegendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja untuk mencapai sasaran perorangan, organisasi dan kelompok.
               Tujuan mengelola tenaga kerja terampil adalah meningkatkan komitmen, menghasilkan tenaga kerja yang berproduktivitas tinggi, meningkatkan kompetensi dan mewujudkan iklim kerja (budaya kerja) yang kondusif. Dalam mengelola tersebut, perlu menerapkan prinsip pengelolaan yang standar seperti tenaga kerja dikelola bukan sebagai biaya tetapi sebagai investasi, mengelola sebagai individu memiliki integritas dan kemanusiaan, mengelola dalam rangka meningkatkan kompetensi dan komitmen, berorientasi pada pencapaian hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, fokus peningkatan kerjasama, penigkatan jaringan kerja dan terciptanya innovator-inovator yang mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan menyongsong MEA/AEC 2015.

2.2.5  Perlindungan Tenaga Kerja Migran
               Tenaga kerja migran perlu mendapatkan perhatian yang juga serius apalagi menyongsong MEA/AEC 2015 yang sangat menentukan bagi Indonesia enatahkah bisa memanfaatkan peluang-peluang pasar bebas dimaksud demi kemajuan dan kemakmuran seluruh anak bangsa. Tenaga kerja migran sangat rentan terhadap berbagai bentuk pelecehan, diskrimininasi dan bentuk kejahatan lain yang hampir saban hari kita saksikan melalui televise, radio, surat kabar baik cetak maupun on line.
               Rasanya miris mendengar atau membacanya. Belum memasuki pasar bebas pun, banyak tenaga kerja kita di lauar Negara yang diperlakukan tidak sebagaimana mestinya apalagi kadang mereka berangkat ke luar negeri tanpa persiapan yang matang. Situasi akan menjadi lebih sulit ketika Indonesia memasuki pasar bebas ASEAN yang menyebabkan adanya arus bebas tenaga kerja terampil.
               Tenaga kerja migran perlu dilindungi lantaran sebagian besar diantara mereka tidak memahami dan menyadari hak-haknya sebagai tenaga kerja migran. Salah seorang pemerhati tenaga kerja migran adalah John Rugie, 2010 mengindentifikasi peta resiko tenaga kerja migran yakni tenaga kerja migran kadang tidak sadar akan hak-hak asasinya sehingga rentan terhadap intimidasi, kurangnya akses terhadap pengadilan (apabila ada tindakan pelecehan, diam dan tak pernah bisa akses pada lembaga hukum atau peradilan), tenaga kerja kadang miskin sehingga dengan upah berapa pun mereka akan menerima demi menyambung hidup, kurangnya pemahaman akan bahasa Negara tempat bekerja, kurangnya keberpihkan hukum dan kebijakan Negara tempat bekerja dan ada kelompok-kelompok yang melukai bahkan membunuh sesama teman tanpa perlindungan. 
***
Diposting Malang, 4 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar