Selasa, 12 Mei 2015

Kesiapan Indonesia (ASEAN) Dalam ACFTA dari Sisi Hukum Bisnis Internasional

Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Negeri Malang



Suruhan
Buatlah analisis atau kajian perjanjian kerjasama ekonomi Kawasan Perdagangan Bebas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) khususnya Indonesia dan China (ACFTA) dilihat dari sisi Hukum Bisnis Internasional!


Jawaban

1.        Indonesia dan Hukum Bisnis Internasional. Negeri kita tercinta telah menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, setelah mengalami berbagai penindasan dan upaya perjuangan kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan atau kolonialisme bangsa-bangsa asing terutama Belanda dan sekutunya, Inggris dan Jepang. Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah bangsa kita selama 350 tahun bahkan meninggalkan berbagai versi hukum bagi hukum ketatanegaraan kita yang hingga kini ada yang sudah direvisi dan ada yang masih berlaku tanpa revisi. Kemerdekaan itu harus dirayakan dan dinikmati dengan perjuangan yang terus-menerus melalui pembangunan di berbagai bidang termasuk hukum dan perdagangan demi menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945 dalam bingkai berdaulat dalam bidang politik, merdeka dalam bidang ekonomi dan beradab dalam bidang budaya. Negara kita dengan penduduk yang besar juga memainkan peran strategis bagi tata Negara dunia dalam segala bidang kehidupan. Negeri kita begitu getol memperjuangkan kesamaan hak (kemerdekaan) bagi seluruh bangsa di dunia terutama Palestina (KAA, April 2015), kesederajatan dalam bidang ekonomi (kerjasama ASEAN, MEA, ACFTA dan WTO) serta mendesak Bank Dunia dan sekutunya untuk menciptakan tata kelola ekonomi (perbankan) yang lebih adil dan menghendaki tidak adanya monopoli suatu bangsa atau Negara terhadap Negara lainnya. Indonesia tetap mengusung politik bebas aktif.

Hukum Bisnis Internasional. Indonesia memiliki peran aktif menaati berbagai kesepakatan atau pun hukum bisnis internasional. Hukum merupakan aturan yang bersifat tertulis, adanya interaksi serta sedikit memaksa dalam bentuk sanksi. Hukum juga dapat  dipahami sebagai seperangkat aturan yang berasal dari kesepakatan subjek hukum dalam suatu wilayah atau Negara. Bisnis adalah transaksi antara permintaan dan penawaran yang menghasilkan laba atau keuntungan. Transaksi harus berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam bisnis dikenal dengan hukum kontrak, hukum perdagangan internasional dan hukum ekonomi internasional. Internasional itu sendiri merupakan lintas batas Negara atau kawasan. Hukum Bisnis Internasional adalah seperangkat aturan yang mengatur subjek hukum internasional yang bersifat publik atau seperangkat aturan yang mengatur kegiatan usaha atau transaksi yang melewati batas-batas Negara (kawasan). 

2.        Indonesia (ASEAN ) & China (ACFTA).
Sejumlah sumber menguraikan bahwa perjanjian kerjasama ekonomi antara ASEAN termasuk Indonesia dengan China (ACFTA) ditandantangani pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Camboja oleh para Kepala Negara ASEAN dan Republik Rakyat China. Tujuan perjanjian utama ACFTA adalah memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdangangan kedua pihak; meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan dan penghapusan tarif; mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling menguntungkan kedua pihak dan memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih efektif (Ragimun, peneliti pusat kebijakan ekonomi makro, tanpa tahun). Sumber lain lebih detail menyoroti perjanjian atau kerjasama ASEAN, khususnya Indonesia dengan China (AFTA). Sumber ini bahkan memberikan gambaran yang lengkap dengan data-data statistik perkembangan ekonomi baik sebelum dan sesudah kerjasama ditandatangani baik Negara ASEAN keseluruhannya maupun Negara Indonesia dengan China (ACFTA). Sumber yang satu ini juga membahas cukup rinci mengenai keuntungan dan kerugian yang didukung dengan analisis SWOT atau pun TOWS. Keuntuntungan bagi ASEAN seperti memperkuat hubungan ekonomi antar anggota; dapat menciptakan persaingan sehat dan menghindari persaingan tidak sehat; meningkatkan kesejahteraan anggota sementara keuntungan bagi Negara Indonesia adalah mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia; meningkatkan devisa Negara Indonesia; menciptakan persaingan kualitas produk dan layanan di Indonesia dan paling krusial adalah menciptakan kepastian hukum.

Kerugian perjanjian ini bagi Negara ASEAN adalah Negara ASEAN menjadi pasar besar bagi banjirnya produk China; menciptakan persaingan tidak sehat antar Negara-Negara ASEAN. Kerugian bagi Negara kita Indonesia adalah ekspoilitasi China terhadap Indonesia. Indonesia dengan penduduk terbesar keempat setelah China, India dan AS tentu menjadi pangsa pasar yang menguntungkan bagi produk dan layanan China yang lebih berkualitas; berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia terutama harga produk China lebih tinggi dari pada harga produk Indonesia, produk Indonesia kehingan nilai tambah serta banyak pengangguran di Indonesia (Adi Tiara Putri, FH UI, 2011). Adi Tiara Putri menambahkan bahwa dalam pembangunan ekonomi, hukum dapat berperan dan mencitpakan stability, predictability dan fairness. Stability adalah potensi hukum menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing, predictability yaitu dapat diramalkan akibat dari suatu langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan ekonomi melampui lingkungan tradisional; fairness yaitu perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan birokrasi yang berlebihan.

3.        Analisis atau kajian pribadi terhadap perjanjian ASEAN dan China (ACFTA) dari sisi hukum. Saya bukan berlatar belakang hukum sehingga analisis atau pun kajian dari sisi hukum rasanya tidak terlalu tepat namun sebagai pembelajar yang terus menerus meski dengan berbagai kekurangan, saya pun berani memberikan pendapat atau pun opini tentu berdasarkan sebagaian referensi yang berkaitan dengan hukum bisnis internasional terutama analisis perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN khususnya Indonesia dengan China (ACFTA). Saya melihatnya secara garis besar dari dua sikap pribadi yakni sisi optimis dan sisi pesimis:
a.       Sisi Optimisme. Setiap Negara apapun tidak bisa mandiri 100% tanpa berhubunan dengan Negara lain atau dalam bahasa Thomas Merton, penulis spiritual Inggris “No man is island”. Artinya sudah sejak dari sononya, setiap manusia harus hidup berdampingan dengan sesama yang lain, ia bukan sebuah pulau yang tak berpenghuni. Demikian juga dengan Negara atau bangsa. Negara sekuat apapun, ia tidak dapat hidup sendirian tanpa berhungan dengan Negara lain apalagi dunia sekarang ini sudah makin global atau bahasanya Ohmae “Global Village”. Dunia internasional terutama dalam dunia perdagangan atau bisanis sudah semacam “pasar desa” bahkan ada yang bilang “pasar kampung atau pasar dusun”.

Dalam transaksi mekanisme pasar yang semakin bebas trsebut maka mau tidak mau, suka tidak suka membutukan seperangkat hukum terutama hukum kontrak baik melibatkan privat namun dalam kasus ini melibatkan publik sebab melibatkan antar Negara lintas kawasan.

Sebagaimana sudah diketahui publik bahwa hukum kontrak yang baik memiliki syarat dan asas yang benar seperti adanya syarat kesepakatan tanpa paksaan; kecakapan untuk membuat kontak (subjektif) dan syarat hal tertentu, objek tertentu dalam kontrak serta ada kebebasan dan halal (objektif) sementara asas seperti konsensualisme, kebebasan, berlaku undang-undang, kepercayaan, persamaan hak, kepastian dan moral.

Melalui syarat dan asas hukum dimaksud maka saya pun memiliki optimisme bahwa perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN khususnya Indonesia dengan  China (ACFTA) memberikan kepastian hukum bagi kedua kawasan untuk mengimplementasi berbagai tujuan mulia isi kontrak hukum bersangkutan. Tidak ada satu Negara atau kawasan yang dapat memanipulasi atau monopoli dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Masing-masing pihak menahan diri untuk terus mengangungkan kepastian hukum (kontrak) demi kebaikan bersama (bonum commune). Saya pun optimis bahwa hukum kontrak itu mengatur hubungan antar lintas kawasan yang saling menguntugkan dan berkeadilan (fairness). Dengan demikian tujuan mulia perjanjian dimaksud dapat dirasakan manfaatnya bagi semua pihak yang terlibat terutama Indonesia dengan China.

Kepastian hukum bisa mengatur lalu lintas berbagai bidang kehidupan secara pasti, tidak ada keraguan, tidak manipulasi atau pun hidden agenda dari berbagai Negara yang telah melakukan perjanjian atau kontrak secara hukum dengan payung hukum yang pasti dan clear. Kepastian hukum membuat Negara-negara yang terlibat dalam perjanjian dalam hubungan bidang apapun senantiasa mengutamakan kemanusiaan dan harkat martabat manusia sebagai insan termulia di dunia.

Hubugan bilateral ekonomi, sosial dan politik membuat manusia semakin bermartabat melaui kepastian hukum yang dilaksanakan secara konsisten dan penuh komitmen.  Hukum menjadi jembatan penengah apabila terjadi perselisihan. Jalan keluar berbasis hukum yang benar dan adil tentu semakin meningkatkan harkat dan martabat manusia yang sederajat.

b.      Sisi Pesimisme. Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum bahwa rumusan hukum itu memiliki syarat dan asas yang berpayung pada kebenaran, keadilan dan berpihak pada fakta dan data objektif. Rumusan hukum itu begitu indah dan mempesona untuk melindungi manusia dari berbagai penyelewenangan, penindasan dan pemerkosaan hak-hak asasi manusia. Rumusan hukum yang indah dan mempesona tersebut dimaksudkan agar semua pihak atau manusia secara konsisten dan komitmen melaksanakan atau mewujudkannya dalam kehidupan bersama apalagi lintas Negara. Namun apa daya tangan tak sampai. Rumusan indah sebuah hukum yang jelas belum tentu dapat dilaksanakan secara benar dan adil dalam kenyataannya. Selalu ada jurang yang semakin lebar antara harapan dan kenyataan apalagi menyangkut kepastian hukum. Tidak jarang banyak kasus, hal-hal benar itu bisa diputarbalikkan sehingga yang benar bukan semakin benar dan adil dalam hukum melainkan kadang yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar. Tidak semua kasus dan tidak semua orang tentunya. Namun realitas hukum yang kadang membingungkan antara rumusan dan praktik sehingga membuat saya agak pesimis. Pesimisme ini semakin kentara ketika ada perjanjian yang kadang diselewengkan apalagi antara Negara adidaya dan Negara yang lemah. Kita menyaksikan bagaimana China lebih memperoleh keuntungan dengan produk dan layanan yang berkualitas membanjiri pasar Negara-negara ASEAN termasuk Indoenesia tak terkendali ketimbang asas perjanjian fainess. Pasar bebas memang menghendaki kompetisi. Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia sepertinya belum siap benar sehingga perjanjian fairness hukum (kontrak atau perjanjian) kadang kurang dipedulikan oleh negeri China. Belum lagi perdagangan gelap yang makin ramai serta korupsi yang masih merajalela akibat lemahnya kepastian hukum dalam negeri Indonesia.

Ketidakpastian hukum dalam negeri menjadi celah yang dapat dimanfaatkan para mafia bisnis dan mafia hukum untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan Negara tujuan perdagangan. Jurang antara rumusan dan pelaksanaan ini tentunya merugikan negeri Indonesia khususnya dan ASEAN umumnya. Untuk itu, kepastian hukum harus benar-benar ditegakkan baik dalam rumusan (kontrak atau perjanjian) harus benar-benar diwujudkan. Negara Indonesia harus tegas terhadap kepastian hukum sehingga negeri kita tidak dirugikan dalam perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN dengan ACFTA. Ada positif dan ada negative dari perjanjian ini. Hendaknya kepastian hukum menjadi jalan menuju solusi untuk meminimalisir kekurangan atau kerugian.

***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar