Jumat, 01 Agustus 2014

Membuat Tanda Salib di Pusara Ir. Soekarno

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Kamis, 31 Juli 2014, kami bergegas mempersiapkan diri sejak dini hari. Hari ini, kami bertiga yang sedang merantau di taman pendidikan (yang satu tingggal tunggu wisuda pasca sarjana, yang satunya isteri pendamping teman yang mau diwisuda dan yang satu lagi, penulis sedang berjuang untuk mendapatkan salah satu tempat di perguruan tinggi) memiliki rencana untuk jalan-jalan ke tempat sejarah yaitu taman makam Ir. Soekarno. Ir. Soekarno sudah tidak asing lagi bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah seorang fundator RI yang dimakamkan di tempat asalnya Blitar, Jawa Timur.


Kegiatan hari ini memberikan nuansa yang berbeda bagi penulis sebab selama ini hanya kenal melalui pembelajaran baik di SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi di Flores. Namun saat ini, merupakan momen berharga untuk menginjakkan kaki secara langsung serta mengamati, melihat, merasakan dan menikmati dari dekat.

Perjalanan dari Malang menggunakan bus penumpang yang ber-AC. Perjalanannya begitu lancar tanpa kendala. Tiba di lokasi wisata, kami menggunakan becak untuk meluncur ke Makan Bung Karno. Kira-kira pukul 12.00 waktu Indonesia Barat. Sudah cukup pengunjung lain lantaran memang ini masih hari libur Idhul Fitri. Ada yang tua, dewasa, remaja sampai anak-anak. Semua pengunjung sepertinya menikmati acara hari ini.

Penulis baru tiba di halaman depan, sudah mulai mengagumi Bung Karno. Ada tulisan-tulisan menggelegar semangat perjuangan yang ditempel di setiap tiang tembok bangunan museum serta ruang keluar masuk. Di bagian agak dalam, mulai tampak patung besar sang proklamator itu. Gaya dan nuansa patung menunjukkan beliau adalah seorang pahlawan besar yang kadang kurang diperhatikan. Namun sejarah perjuangan membuat seluruh anak negeri ini dari mana pun datangnya, berkunjung dan berdoa di sana.

Kami bertiga menikmati sendiri-sendiri. Hati kecil penulis hanya mengagumi setiap jengkal bangunan dan ornamen di sana. Sebelum ke makam, kami bertiga memasuki ruangan museum. Sungguh luar biasa, pesan moral yang sangat bersejarah meski kadang miris lantaran pernah terbersit kabar bahwa keluarga Bung Karno hampir tak mampu memeliharanya. Bahkan sempat tersiar kabar ada pelelangan kepada pihak ketiga. Namun rakyat Blitar dan pecinta Bung Karno menolaknya sehingga keinginan pelelangan diurung dan diurus oleh keluarga Bung Karno.

Setiap pengunjung tidak ada karcis. Hanya ada tanda tangan dan pembelian pin Bung Karno seharga Rp50,000. Kami diizinkan masuk museum. Ada banyak rekaman peristiwa sang Bung Proklamator. Sempat berfoto-foto di dalamnya. Ketika sedang mengelilingi museum, ada foto dan dena rumah Bung Karno di Ende-Flores. Terbersit rasa bangga yang luar biasa. Ende-Flores merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan besar sang proklamator meski kadang di Ende, penulis rasa biasa-biasa saja.

Puas menikmati setiap lekuk sejarah perjuangan Bung Karno dan keluarga serta para sejawatnya zama pergerakkan kemerdekaan. Kami melanjutkan ‘jalan-jalan’ ke Makam Bung Karno. Untuk memasuki area makam, kita harus menuju ke tempat pendaftaran. Juga tidak ada karcis. Hanya pencatatan pada buku tamu dan setiap orang membayar Rp1,500. Sungguh angka yang kecil namun memberi nuansa sejarah yang luar biasa.

Kami merapat ke sana. Di sana sudah banyak orang yang bersimpuh di samping makam yang nampak tidak terlalu luar biasa bagi seorang pejuang, proklamator dan presiden perdana Republik ini. Ia orang besar tetapi dibuat sesederhana mungkin. Ada yang mulai foto-foto di area makam terutama di bagian kepala makam yang ada benderanya. Kami pun bersimpuh. Menaburkan bunga dan mulai berdoa.

Saya dan teman-teman membuat tanda salib menurut keyakinan iman Katolik. Semua orang sujud dalam iman dan keyakinan masing-masing tanpa merasa ada tekanan atau merasa terganggu. Ternyata di sinilah pengamalan nilai-nilai Pancasila yang paling nyata. Yang datang bersimpuh dari berbagai latar belakang. Tidak memandang latar belakang apa pun boleh datang bersimpuh dan memberikan doa atau pun meminta pertolongan melalui Bung Karno. Semuanya larut dalam pluralitas dan saling menghargai. Setiap pengunjung bisa ‘berdiri sama tinggi, duduk sama rendah’ tanpa gangguan atau mengganggu orang lain.

Menyaksikan dari dekat, pluralitas yang nyata sesungguhnya Indonesia hebat dalam persatuan yang Berbhineka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Para peziarah tidak pernah terganggu atau terpolarisasi dengan dukungan pada jagoan masing-masing (polarisasi) pilpres 09 Juli 2014, penetapan KPU 22 Juli atau pun gugatan ke MK. Mereka semua bersatu dalam keanekaragaman.

Saya pun bangga dan bahagia sekali bisa mengekspresikan iman dan kenyakinan secara bebas dan bertanggungjawab. Masing-masing melakukannya sesuai kenyakinannya tanpa rasa ada gangguan dan mengganggu orang lain. Nilai dan spirit dari Makam Bung Karno hendaknya menjalar ke seluruh pelosok negeri tanpa ada rasa takut atau menakutkan orang yang berbeda dengan kita.

Jalan-Jalan ke Makam Bung Karno menjadi kebahagiaan tersendiri dan pembuktian persatuan dalam keberagaman. Hidup Indonesia …!!!
Blitar, 31 Juli 2014 (diposting, Jumat, 1 Agustus 2014 di www.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar