Rabu, 04 Mei 2011

Orang yang Ku benci Menjadi Penolong

Oleh Kosmas Lawa Bagho

(Pena Muda; Yappika & Latin Bogor, 2001) Dunia ini memang edan rasanya. Selalu saja ada peristiwa kontradiksi yang terkadang menimbulkan keajaiban. Ada warna merah dan warna hitam, ada yang menyenangkan bagaikan istana surga tetapi ada nerakanya. Ada yang berpikir untuk sebuah kemajuan yang manusiawi tetapi tak jarang yang berpikir untuk menghancurkan. Ada yang mencintai tetapi ada juga yang membenci. Ada yang kerjanya hanya merampok tetapi ada yang memberi pertolongan.

Peristiwa kontradiksi seperti ini yang aku alami ketika aku mengadakan perjalanan ke Jakarta pada tanggal 27 Maret 2001. Aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan Lokatulis yang diselenggarakan oleh Yappika bekerjasama Latin di Hotel Cisarua Bogor, sejak tanggal 27 Maret s/d 02 April 2001.

Keberangkatanku dari Maumere dengan menggunakan pesawat Merpati no. 747 pukul 14.30 waktu Indonesia Tengah. Perjalanan udara sebetulnya mengundang rasa senang karena aku bisa merasakan nikmatnya penerbangan yang sebelumnya tidak pernah aku alami. Namun perasaan bahagia tersebut hilang ketika aku harus melakukan perjalanan seorang diri ke kota metropolitan yang hanya aku tahu melalui koran, peta ataupun televisi serta cerita orang yang pernah ke kota Jakarta. Aku mulai tampak gelisah, tidak enak badan serta nafsu makan menjadi tidak bergairah.

Keadaan itu semakin parah ketika aku membayangkan peristiwa perampokan di kota Jakarta yang diceriterakan oleh temanku 2 tahun silam. Ia menggambarkan kota Jakarta serba menyeramkan. Setiap hari selalu ada saja orang kecopetan, ditodong dan dibunuh. Apalagi orang itu adalah orang-orang yang berasal dari daerah.

Keasykan dengan lamunan sendiri sampai-sampai aku disadarkan oleh sang pramugari Merpati yang ingin menawarkan minuman. Saking bingungnya, aku menjawab minum sprite sementara minuman yang ditawarkan adalah teh atau kopi. Sang pramugari tertawa cekikan karena rasa lucunya. Aku tidak menghiraukannya.

Kepalaku terasa pusing dan badanku berkeringat dingin ketika ada suara yang mengatakan kurang lebih 15 menit lagi pesawat akan “landing”. Lima belas menit kemudian Merpati 747 yang aku tumpangi mendarat aman di landasan Ngurah Rai Denpasar pukul 18.00 waktu setempat.

Meski hati kecilku kian bergolak gelisah namun aku berusaha tenang. Aku mengikuti orang menuju tempat pengambilan bagasi untuk mengambil tasku berwarna putih bertuliskan Florita.

Aku berjalan menuju ruang penjualan tiket untuk penerbangan ke Jakarta setelah mendapat informasi dari ruang informasi. “Tiket untuk penerbangan ke Jakarta hari ini hanya pukul 20.15 waktu Denpasar” kata gadis penjaga ruang penjualan tiket. Tampaknya aku semakin bingung. Jantungku berdebar agak cepat dari biasanya. Aku mulai mempertimbangkan apakah aku harus terus ke Jakarta atau menginap. Untuk perkara menginap tidak mungkin karena aku juga tidak tahu memilih hotel yang aman.

Aku mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan resiko apapun. Meski aku tahu bahwa jikalau penerbangan dari Denpasar pukul 20.15 berarti tiba di Jakarta sudah malam kurang lebih pukul 22.00 waktu Jakarta.

Aku mengurus boarding pass dan menanti dengan cemas di ruangan tunggu. Ada banyak orang di ruangan tunggu yang beristirahat dengan santai, makan makanan ringan, membaca koran serta menikmati tayangan televisi dalam ruangan tersebut. Sebenarnya aku ingin seperti mereka. Namun perasaan hatiku kian berdebar dengan hantuan kota Jakarta.

Aku mengambil tempat yang agak pojok diluar jangkuan pengamatan orang. Aku takut orang mengetahui kegelisahanku melalui dahi yang berkerut serta debaran dada yang tidak teratur.

Ketika menunggu cukup lama ada pemberitahuan dari petugas bandara bahwa penerbangan ke Jakarta dengan nomor 413 yang sedianya akan terbang pukul 20.15 ditunda pukul 22.00. Rasanya aku ingin mati saja. Aku mulai tidak tenang duduk serta rasa ke kamar kecil terus-menerus.

Namun suatu keajaiban tiba. Di tengah kegelisahanku yang semakin memuncak, aku berkenalan dengan seorang bapak yang agak gendut badannya. Saat itu kami sedang antre untuk mengambil makan yang disiapkan pihak Garuda Airlines. Aku mempersilahkan bapak tadi untuk mengambil lebih dahulu meski sebetulnya posisinya aku telah berada di depan dirinya. Aku sendiri tidak mengerti bahwa ucapanku yang sederhana itu menarik perhatiannya. Ia mengambil makan lalu mengajak aku untuk duduk satu meja. Waktu makan, kami lalui dengan berbagai pembicaraan. Salah satu yang menarik ketika beliau menanyakan tentang identitasku.

Awalnya aku ragu bercampur takut. Apalagi di kepalaku sudah tertanam berita tentang perampokan, pencurian dan pembunuhan. Aku menjawab seadanya dan menyampaikan maksud kedatanganku ke Jakarta. “Aku ingin mengikuti kegiatan Lokatulis dalam rangka advokasi terhadap kebijakan negara terutama UU Otonomi Daerah nomor 22 tahun 1999,” kataku sopan.

Mendengar ucapanku yang seadanya membangkitkan semangatnya untuk bercerita dengan diriku. Asa takutku perlahan-lahan agak mencair. “Ade UU Otonomi Daerah Tahun 1999 kemarin, aku terlibat langsung bersama Bapak Muladi. Yang perlu adik ingat bahwa roh UU Otonomi Daerah adalah apabila pemerintah pusat ingin mengambil setitik air dan satu biji pasir harus mendapat ijinan warga setempat. Tidak ada lagi yang gratis saat ini. Yang diatur pemerintah pusat hanyalah persoalan agama, politik luar negeri, peradilan, kebijkan moneter dan pertahanan keamanan” katanya menjelaskan seakan memberikan les privat.

Kendatipun agak terkesima dengan ceriteranya yang bernuansa pengatahuan itu, aku semakin penasaran untuk mengetahui identitas orang yang sedang melakukan pembicaraan hangat dengan diriku. Aku sendiri tidak mengenal dirinya. Kami baru pertama kali berkenalan. Inginnya aku menanyakan langsung tetapi aku ragu. Perasaan ingin tahu itu aku simpan di dalam hati.

Di tengah pembicaraan tentang politik tiba-tiba ia bertanya kepadaku. “Apakah adik langsung ke Bogor malam ini?” Dengan agak tergagap aku menjawab, “Ya Pak. Aku ingin menggunakan jasa taxi seorang diri ke Bogor”.

“Oh ... hati-hati dek. Sopir taxi Jakarta banyak nakalnya,” katanya memperingatkanku. Tiba-tiba rasa takutku bangkit kembali. Perasaan hatiku dig dag dug tak menentu.

Di tengah gejolak hati yang ketakutan, ia menawarkan jasanya untuk menghantar aku ke lintasan Kebun Jeruk jika tiba di Jakarta nanti. Meskipun masih dalam keadaan takut, aku sengaja menganggukkan kepala tanda setuju.

Tepat pukul 22.15 kami berangkat dari Denpasar dengan Garuda nomor penerbangan yang sama tetapi ia menempati seat 33 sedangkan aku nomor 32A. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Aku sendiri sudah agak enak meski ada rasa was-was juga. Jangan-jangan ia hanya berpura-pura kepadaku.

Penerbangan bersama Garuda kurang lebih 1 jam 20 menit. Tidak ada sesuatu yang kunikmati kecuali rasa gelap hatiku seperti gelapnya malam kota Jakarta. Kami mendarat di Bandara Cengkareng pukul 23.45 waktu Jakarta.

Beliau menawarkan jasanya sekali lagi menghantar aku ke Lintasan Kebun Jeruk sebagai tempat yang aman menuju Cisarua Bogor. Dalam perjalanan dari Cengkareng, aku memberanikan diri untuk menanyakan identitasnya. “Maaf, Bapak sebenarnya siapa?” kataku agak kegugupan. “Oh .. ya, aku pengacara. Namun orang lebih mengenalku sebagai pembela Tomy Soeharto. Jika adik ingin lebih mengenal pribadiku bisa kontak lewat telepon atau handphone,” ujarnya sambil memberikan kartu namanya.

Pribadi orang ini tidak menjadi masalah bagi diriku. Namun profesinya sebagai pembela Mas Tomy sering menjadi pusat kebencianku. Sebab menurut saya mengapa masih ada saja pengacara yang membela orang yang telah melahirkan bencana di negeri ini. Ia mengusai sepertiga harta Republik ini melalui kolusinya dengan ayahnya yang kebetulan menjadi presiden.

Rupanya Tuhan menghendaki lain. Aku ditolong dari orang yang aku benci. Kurang lebih pukul 03.00 dini hari aku mendapat taxi yang bersedia menghantar diriku ke Cisarua Bogor tempat kegiatan Lokatulis berlangsung. Aku senang bisa tiba di Safari Garden dengan selamat atas bantuan orang yang kubenci.

Untuk seorang penolong yang kini menjadi anggota DPR Pusat!

Ditulis ulang: 17 Agustus 2010

1 komentar:

  1. Halo,
    nama saya Dewi Rumapea, saya berasal dari indonesia. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu, saya merasa tegang secara finansial dan putus asa, saya ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman secara online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya menghubungi saya kepada pemberi pinjaman yang sangat andal yang disebut perusahaan pinjaman Glory, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sejumlah 500 juta dalam waktu kurang dari 3 jam tanpa tekanan atau tekanan pada tingkat bunga rendah 2%. Saya sangat terkejut saat memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya ajukan, dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan. Jadi saya berjanji akan membagikan kabar baik, agar orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, hubungi Ibu Glory melalui email: gloryloanfirm@mail.com.
    Anda juga bisa menghubungi saya di dewiputeri9@gmail.com saya

    BalasHapus