Oleh Kosmas Lawa Bagho, S. Fil., M.M
Alumni Mahasiswa S2 Manajemen
Universitas Negeri Malang
Koperasi Kredit Sangosay
merupakan lembaga pengembangan holistik
dalam rangka mewujudkan transformasi sosial untuk membebaskan anggota
dan calon anggota dari kemiskinan, keputusasaan dan ketergantungan menuju
kualitas kehidupan yang mandiri, bermartabat, berdaulat dan berkesinambungan
berdasarkan jati diri koperasi masih terus berproses (Bamba, 2015: 182).
Mewujudkan pengembangan atau pemberdayaan holistik, Koperasi Kredit Sangosay
menerapkan program peningkatan kualitas partisipasi anggota melalui pendidikan
dan pelatihan termasuk promosi dan publikasi; pengembangan kelompok dan tempat
pelayanan; diversifikasi simpanan, pinjaman dan perlindungan: pengembangan
informasi teknologi (IT); kemitraan
(Lenga, 2011: 99).
Koperasi Kredit Sangosay pada
posisi ini sesungguhnya mewujudkan perekonomian nasional sesuai cita-cita luhur
yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan serta Pembukaan UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum
(Sujianto, 2012: 327). Asas kekeluargaan itu adalah koperasi (Hatta, 1987: 38).
Perekonomian nasional Indonesia digerakkan oleh tiga pelaku ekonomi yakni BUMN
(Badan Usaha Milik Negara), Swasta dan Koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut
telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia (Djumahir, Idrus dan Salim, 2001).
Embrio koperasi di Indonesia
dimulai sejak tahun 1896, dengan Raden Arya Wiraatmadja sebagai pelopor dan
hingga kini tetap menyatu di kalangan masyarakat (Pachta, Bachtiar, Benemay,
2005:26). Koperasi sebagai suatu gerakan telah dideklarasikan dalam konggres
koperasi pertama tanggal 11-14 Juli 1947 di Tasikmalaya, yang dihadiri utusan
koperasi seluruh Indonesia. Salah satu keputusan penting yang dibuat pada waktu
itu dan menjadi cikal bakal pengembangan koperasi di Indonesia adalah
menetapkan tangggal 12 Juli sebagai “Hari Koperasi” di Tasikmalaya (Pachta et al., 2005:59).
Di Indonesia dikenal beberapa
jenis koperasi seperti koperasi konsumen, koperasi produksi, koperasi serba
usaha dan koperasi simpan pinjam. Koperasi produksi merupakan koperasi yang
menghasilkan produk atau barang yang barang dimaksud dihasilkan secara bersama.
Koperasi serba usaha merupakan koperasi yang terdiri dari jenis usaha berbeda
dalam melayani anggota. Sedangkan koperasi simpan pinjam, fungsi dan peran
menghimpun dana dan menyalurkan dana dari oleh dan untuk para anggota, melalui
kegiatan usaha simpan pinjam. Koperasi simpan pinjam dapat dijadikan sebagai
salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha koperasi (Kasmir, 2010:46; Tere,
2014:1).
UU Koperasi Nomor 12 Tahun
1967 dan UU Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 merumuskan bahwa badan usaha yang
beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang menjalankan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi dan
berasas kekeluargaan (Hendrojogi, 2012: 27-28, 342). Sementara itu, Induk Koperasi Kredit (2003: 1) merumuskan koperasi
kredit sebagai berikut:
Badan
usaha yang dimiliki oleh sekumpulan orang dalam suatu ikatan pemersatu, yang
bersepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama
guna dipinjamkan diantara sesama mereka dengan bunga yang layak serta untuk
tujuan produktif dan kesejahteraan.
Koperasi
kredit merupakan salah satu jenis lembaga keuangan non bank yang menjadi fokus
pembahasan dalam penelitian perkembangan lembaga keuangan di Asia Tenggara
(Meagher et al., 2006). Memasuki
tahun 2000, koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang mengusai
antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi (Tambunan, 2009).
Eksistensi koperasi di
Indonesia dan juga koperasi kredit hingga kini masih selalu menjadi
perbincangan hangat terutama pada kalangan akademisi seakan-akan tidak ada
habisnya. Dalam hal ini ada dua kelompok yang berbeda pendapat. Kelompok
pertama berpendapat bahwa koperasi “gagal total”. Rujukan pendapat mereka
adalah tujuan koperasi (kopdit) mensejahterakan para anggotanya. Artinya, jika
para anggota tidak sejahtera maka berarti koperasi (kopdit) gagal mewujudkan
fungsi dan peran utamanya. Kelompok kedua berpendapat bahwa ada koperasi
(kopdit) yang ‘berhasil’. Pendapat mereka mengacu pada koperasi yang
menghasilkan sisa hasil usaha (SHU), pertumbuhan anggota dan pertumbuhan nilai
aset (Tambunan dan Anik, 2009:2).
Tantangan demi tantangan
masih dirasakan koperasi termasuk koperasi kredit hingga saat ini. Wakil Presiden RI periode 2014-2019, Kalla
pada pidato kenegaraan dalam rangka Harkopnas (Hari Koperasi Nasional) ke-68 di
Kupang tanggal 12 Juli 2015 menyatakan bahwa sekitar 30 persen koperasi dari
total di Indonesia sebanyak 200.000 hanya memiliki papan nama dan stempel tanpa
ada usaha yang dijalankan. Lebih lanjut beliau menambahkan bahwa dari aspek
jumlah memang pertumbuhan koperasi di Indonesia berkembang cukup bagus yakni
berjumlah 200.000 unit koperasi. Namun dari aspek kualitas, masih harus
dibenahi karena masih ada koperasi yang hanya mengandalkan papan nama dan
stempel (Kalla, 14 Juli 2015: 1 dan 14). Memang Wapres Kalla tidak menyebutkan
secara jelas jenis koperasi. Hal ini menjadi peringatan bagi gerakan koperasi
pada umumnya dan Koperasi Kredit Sangosay pada khususnya.
Peringatan
permasalahan yang diungkapkan Kalla ditambah lagi persoalan besar koperasi
secara nasional menyangkut jati diri. Penyimpangan jati diri, khususnya
prinsip-prinsip koperasi di Indonesia banyak sekali terjadi yang memberikan
citra buruk pada koperasi. Hal itu dimulai sejak didirikannya organisasi
koperasi yang kurang sesuai dengan definisinya, penyimpangan moralitas dan
pelanggaran prinsip-prinsipnya (Soedjono, 2007: 16). Lebih lanjut Soedjono pun menulis,
Koperasi
yang lahir dan berkembang di Indonesia sejak permulaan abad ke-20 sampai
sekarang ini terjebak dan menjadi tawanan dalam sistem itu sendiri, yang oleh
Bung Karno (alm) pernah dituding sebagai “Zich
nestelen in het Kapitalisme” (bersarang secara nyaman dalam kapitalisme).
Selama kondisi eksternal tidak menjadi penghalang maka koperasi sendiri yang
seharusnya menentukan sikap apakah harus keluar dari jebakan sistem kapitalisme
atau merasa mapan berada didalamnya dan ikut arusnya. Bagi koperasi yang setia
pada jati dirinya dan cita-citanya maka ia akan keluar dari jebakan-jebakan
tersebut dan berkembang dalam koridornya (Soedjono, 2007: 33).
Pernyatan Soedjono didukung
penelitian Nirbito (2007:6) yang menyatakan bahwa pemahaman jati diri bagi
anggota sangat penting dan dalam penerapannya diperlukan kearifan agar jati
diri benar-benar dijadikan sumber kekuatan dan bukan sebaliknya menjadi
bebannya koperasi. Ada tiga kelompok persepsi anggota yakni pertama, kelompok yang mempersepsikan
jati diri sebagai sesuatu yang secara teguh dipatuhi tanpa kompromi; kedua, kelompok anggota mempersepsikan
jati diri sebagai sesuatu yang tidak perlu dipusingkan, nama koperasi yang
disandangnya hanyalah sekedar tempelan yang tidak perlu dimaknai; ketiga, kelompok anggota yang tidak
memiliki persepsi terhadap jati diri (apatis).
Lebih lanjut Nirbito
menegaskan bahwa ketiga kelompok anggota dimaksud, semuanya tidak memungkinkan
untuk mengarah pada masa depan koperasi yang cerah. Menurutnya, kelompok
anggota pertama akan membuat koperasi statis (tidak berkembang), kelompok
anggota kedua akan membuat koperasi berkembang tetapi menyeleweng sedangkan
kelompok anggota ketiga akan membuat koperasi menjadi ‘nglempruk’ (tidak punya
daya kekuatan).
Berkaitan dengan latar
belakang permasalahan di atas, peneliti melihat Koperasi Kredit Sangosay, Ngada
sudah mencapai usia 33 tahun dan bertahan di tengah berbagai persoalan yang
menimpa jati diri koperasi secara nasional. Apa yang membuat Koperasi Kredit
Sangosay bisa bertahan, bertumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Atas dasar itu maka peneliti
merasa tertarik untuk melakukan penelitian pada Koperasi Kredit Sangosay dengan
judul “Aktualisasi Jati Diri Dalam Pengembangan Koperasi dan Peningkatan
Partisipasi Anggota (Studi Kasus Pada Koperasi Kredit Sangosay, Ngada, NTT)”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar