Senin, 24 November 2014

Filsafat Manajemen Partisipasi (FMP) 4

Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang



2.2    Peran Filsafat Manajemen Partisipasi dalam Bisnis
Perusahaan atau lembaga bisnis memiliki konsentrasi pertama adalah meningkatkan laba atau pendapatan demi mencapai tujuannya. Peningkatan laba atau pendapatan agar perusahaan atau lembaga bisnis bersangkutan bisa membiayai segala pembiayaan baik biaya tetap maupun biaya tidak tetap. Pendapatan yang bisa menutup seluruh komponen pembiayaannya dan masih memiliki laba maka perubahaan bisnis tersebut dapat berkelanjutan. 


Setiap perusahaan atau lembaga bisnis sudah pasti mengejar hal itu (laba) dengan mengoptimalkan segala sumber daya termasuk sumber daya manusia. Apabila hal itu tidak terjadi maka perusahaan atau lembaga bisnis tersebut akan rugi bahkan bangkrut.

Dalam upaya memaksimumkan pendapatan atau laba tak jarang perusahaan atau lembaga bisnis mengabaikan harkat dan martabat manusia. Acapkali manusia dijadikan semacam robot yang terus dimanipulasikan tenaga, pikiran, daya, karsanya demi mendapatkan laba yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan biaya yang sekecil-kecilnya. Atas dasar itu, tidak jarang terjadinya demonstrasi bergelombang dari para buruh. Demonstrasi dilakukan mulai dari para karyawan kelas bawah sampai manajemen puncak. 

Selain demonstrasi tentang upah yang murah, mungkin juga karena monopoli sumber daya manusia oleh orang-orang atau  golongan tertentu. Perusahaan tidak menerapkan manajemen partisipasi yang transparan, demokratis, responsibilitas dan mengutamakan harkat dan martabat manusia.  Pada titik inilah pentingnya filsafat manajemen partisipasi memainkan perannya. 

2.2.1 Memanusiakan Manusia
Perusahaan atau bisnis pada hakekatnya mengutamakan laba secara optimum. Pertanyaan kritis yang perlu diajukan, entahkah ada yang salah dengan perusahaan atau lembaga bisnis demikian? Entahkah, perusahaan atau lembaga bisnis tidak boleh mengejar laba atau pendapatan yang sebanyak-banyaknya secara efektif dan efisien? Entahkah, perusahaan atau lembaga bisnis bersangkutan tidak manusiawi? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul lantaran secara kasat mata telanjang ada sebagian perusahaan atau lembaga bisnis tidak selamanya mewujudkan hakekatnya sebagai lembaga mediasi memanusiakan manusia. Cerita kelam itu dapat dilihat pada masa revolusi industri. Berangkat dari teori “trikle down” yang dicetuskan Adam Smith yang percaya bahwa perusahaan atau lembaga bisnis harus meningkatkan pendapatan bagi orang kaya (piramida) yang di atas dengan demikian kekayaan orang-orang atas akan merembes ke bawah (masyarakat atau para kaum buruh) sehingga semuanya sama-sama mendapatkan kekayaan. Teori ini sungguh menyesatkan. Yang kaya, makin kaya dan yang miskin, makin miskin dan terkenal melalui ‘piramida’ kurban manusia. Manusia paling bawah ditindas dan ditendes harkat dan martabatnya dari ‘kaum berpunya’. Tidak heran muncul revolusi kaum proletariat Karl Max. Kaum sosialis juga gagal mewujudkan perusahaan atau bisnis yang memanusiakan manusia.

Dari seperangkat pengalaman pahit tersebut maka perusahaan atau bisnis modern mengembangkan suatu manajemen yang lebih manusiawi  yakni manajemen partisipasi dengan dimensi filosofis. Peter Druker (2001) seperti dikutif Reza A.A Wattimena menulis,”Manajemen memang meliputi area disiplin ilmiah dan praktek yang luas. Akan tetapi cara berpikir dan praktek manajemen memiliki beberapa prinsip esensial yang bersifat filosofis lantaran manajemen soal manusia. Fungsi utama manajemen adalah memungkinkan adanya kerjasama, adanya partisipasi yakni membuat kekuatan orang-orang yang berbeda menjadi relevan dan kelemahan menjadi tidak relevan. Mereka saling bersubsitusi secara cerdas dan saling melengkapi”.

Pandangan saya pribadi juga demikian. Manusia harus menjadi subjek dan tujuan utama dalam manajemen bisnis atau perusahaan. Perusahaan apa pun bentuknya dengan sejumlah modal uang yang banyak serta peralatan teknologi super canggih pun tidak mampu menggantikan manusia dalam keseluruhannya sebagai ciptaan yang paling bermartabat. Harkat dan martabat serta kompetensi manusia harus secara inheren dalam manajemen partisipasi sebuah bisnis dan perusahaan. 

Dengan demikian, perusahaan atau bisnis menemukan hakekatnya yang paling dalam, esensial, menyeluruh dan spekulatif. Perusahaan atau bisnis yang mengabaikan dimensi manusia, cepat atau lambat akan bangkrut.

 Pengalaman pribadi memimpin salah satu lembaga keuangan koperasi kredit sebagai ketua pengurus (board of directors) sejak tahun 2005 hingga sekarang juga menerapkan manajemen partisipasi yang mengutamakan manusia dengan semboyan “Sentuhlah hatinya baru sentuh dompetnya”. Syukurlah perkembangan organisasi tersebut hingga saat ini semakin berkembang baik keanggotaan maupun modal termasuk asetnya.
***

2 komentar: