Kamis, 31 Maret 2022

Pernah Dianggap Warga Kelas Dua 5

 Oleh Kosmas Lawa Bagho

Belajar Jadi Penulis

  

Sesungguhnya tulisan ini berawal dari tantangan Ibu Julia Utami dari Kosa Kata Kita (KKK) meminta agar penulis bisa menulis autobiografi bersama penulis kelas Nusantara bahkan dunia sebagai jawaban terhadap aneka kegiatan positif di tengah pandemi covid-19 mendera dunia dan Indonesia. Penulis salah menjermahkan persyaratan penulisan 5000 karakter, pikirnya 5000 kata. Tulisan itu, saya posting dalam blog ini sebagai pemanasan agar suatu saat nanti, penulis bisa menulis autobiografi yang memancing rasa ingin tahu dan syukur bisa menginspirasi para pembaca blog ini. Mohon maaf apabila kurang berkenan atau mungkin terkesan menonjolkan diri secara berlebihan. Penulis hanya terus belajar menulis dengan berbagai genre. Ikuti selengkapnya!

 

 Berkarya di Credit Union

Tak pernah disangka sama sekali. Sekolah setiap hari bergelut dengan berbagai persemaian untuk menjadi Imam (gembala umat katolik, red), harus memutuskan untuk berkarya di lembaga koperasi kredit atau credit union dan menurut UU Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 mendefinisikan dengan koperasi simpan pinjam. Waktu itu, cukup langka seorang jebolan perguruan tinggi berkarya di koperasi atau koperasi kredit. Belum lagi, saat itu nama koperasi sedang mengalami krisis kepercayaan. Ada banyak koperasi unit desa dan juga koperasi kredit mengalami krisis tata kelola sehingga banyak lembaga koperasi atau koperasi kredit yang bubar tanpa penyelesaian keuangan anggota secara bermartabat. Masyarakat merasa dirugikan oleh lembaga yang satu ini. Dengan demikian, koperasi dan koperasi kredit mendapatkan predikat yang buruk. Masyarakat merasa trauma berkepanjangan.

 


Penulis ingat sungguh. Perasaan terluka dianggap sebagai “warga kelas dua” terulang lagi. Kali ini lebih menyakitkan. Stigma itu tidak lagi kepada kampung halaman penulis melainkan kepada diri sendiri. Tidak lagi dari orang lain melainkan orang sendiri. Masih dalam hubungan keluarga. Sakit sekali, rasanya. Waktu itu, penulis sudah bekerja di koperasi kredit tingkat sekunder. BK3D NTT Barat namanya. Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Nusa Tenggara Timur Bagian Barat. Wilayah kerjanya mencakup Kabupaten Ende, Kabubaten Ngada sebelum pemekaran dengan Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Manggarai sebelum pemekaran dengan Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat serta Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Barat sebelum pemekaran Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Fokus kegiatan lembaga ini mengkoordinasi lembaga koperasi kredit primer yang bergerak dalam bidang simpan-pinjam serta pemberdayaan berbagai aspek kehidupan manusia berbasiskan jati diri koperasi dan panca pilar koperasi kredit seperti pendidikan, swadaya, solidaritas, inovasi dan persatuan dalam keberagaman.

Penulis berkarya di lembaga ini sejak Mei 1997. Tidak ada rasa bangga orang-orang sekampung penulis. Orang tua kandung penulis menerima dengan lapang dada, apa pun pekerjaan yang penulis pilih sebagai jalan hidup. Ada banyak peluang menjadi ASN. Peluang itu sangat terbuka saat sang ayah menjadi kepala desa Nagerawe (yang saat itu nama makin tenar karena mulai ada anak-anak yang mengenyam pendidikan apalagi ada yang seminari menengah dan seminari tinggi). Penulis lebih memilih jalan swasta.

Saat itu walau dengan gaji yang masih sedikit dan penulis sudah mulai bisa membantu ayah dan ibu untuk menyekolahkan adik-adik. Membiayai adik Reny di perguruan tinggi, adik Feny di SMP dan beberapa ponaan serta orang lain. Sesungguhnya warga kelas dua sudah mulai hilang dari ingatan karena orang-orang mulai merasa kagum. Di tengah kekaguman orang-orang (lingkungan) sekitar, stereotip sebagai warga kelas dua itu datang lagi dari orang sendiri.

Tahun 2000, ada seorang bapak (tidak bisa sebutkan namanya karena beliau sudah almarhum) hendak mengunjungi anaknya di Kupang sebagai seorang ASN yang menjadi kebanggaan waktu itu. Penulis sendiri merasa ikut bangga bahwa anak-anak sekampung atau desa merasa terinpirasi dengan proses pendidikan penulis di seminari sehingga mulai ada anak-anak yang menjejakkan langkah di perguruan tinggi atau sekolah menengah atas dan bisa bekerja pada lembaga pemerintah. Entah apa yang ada pada pikiran bapak tersebut yang juga masih keluarga. Ia menginap di rumah penulis di Ende. Penulis belum menikah dan tinggal dengan adik-adik serta ponaan-ponaan serta orang lain berjumlah sekitar 16 orang. Beliau dari kampung, desa Nagerwe menuju Kupang singgah di Ende. Saat pagi hendak ke kantor untuk bekerja, beliau bertanya kepada penulis,”Nak, kerja di kantor apa?”. Penulis menjawab ramah dengan tenang, “Saya bekerja di kantor BK3D. Koperasi Kredit”. Beliau tidak melanjutkan pertanyaan. Penulis bergegas ke kantor.

Hari itu berjalan sebagaimana biasanya. Pekerjaan kantor diselesaikan dengan baik tanpa halangan berarti. Suasana sungguh berbeda dengan adik-adik dan ponaan-ponaan serta orang tampungan di kost lantaran pernyataan sang bapak kepada mereka tentang orang yang mereka anggap sebagai penyelamat yang telah membiayai pendidikan dari tingkat SMP hingga yang ada di perguruan tinggi. Bukan hanya keluarga sendiri dan juga orang-orang kampung tetangga yang mengalami kesulitan tinggal di kos dengan biaya tambahan yang tidak kecil.

Sang bapak itu tidak mengatakan hal yang buruk. Bagi mereka pernyataan biasa yang seolah menghina sang kakak, orang yang paling mereka kagumi. Apa pernyataan sang bapak. “Saya pikir kerja di kantor apa. Tamat perguruan tinggi mentereng, ternyata hanya kerja di kantor koperasi”. Singkat dan menusuk hati. Mereka sendiri merasakan stigma warga kelas dua sungguh nyata di depan mata. Pengalaman-pengalaman disepelekan sebagai warga kampung, desa yang udik dengan predikat negatif lainnya seakan menusuk ulu hati kesadaran mereka yang masih mau berkembang meraih cita-cita setinggi-tingginya.

Belum lagi pernyataan itu datang dari orang sendiri. Orang yang sudah diberi penampungan selama beberapa hari menunggu kedatangan Kapal Veri dari dan ke Kupang. Waktu berangkat ke Kupang diantar dan diberi sedikit uang untuk bekal perjalanan. Pikir mereka, sesungguhnya sang bapak mengucapkan terima kasih dengan cara yang lebih elegan ternyata dengan cara yang diluar perkiraan bahkan meninggalkan bekas luka penghinaan.

Waktu kembali dari kantor, semua mereka berkumpul menemui kakak mereka yang sudah dihina oleh orang yang seharusnya memberi penghargaan. Sang adik yang berada di tingkat kuliah memulai pembicaraan dengan suara setengah parau. “Kak, jika bapak itu datang lagi, tidak usah terima, tidak usah tampung”. Penulis balik bertanya, “Memangnya kenapa dengan beliau?”. Air mata mulai berjatuhan di antara kedua pipinya sambil berujar,”Kak, bapak itu bilang, saya pikir kerja di kantor apa. Tamat perguruan tinggi, STFK Ledalero hanya kerja di kantor koperasi!”. Penulis mengerti benar kata-kata itu. Memang penuh ejekan. Relung-relung stigma warga kelas dua hadir dengan nyata. Penulis tenang dan berkata memotivasi para kuntum pendidikan agar mereka tidak berputus asa, melainkan terus melambungkan usaha keras untuk memperbaiki nasib sendiri sehingga mengubah nasib satu kampung atau satu desa. “Tidak apa-apa, adik-adik dan ponaan semuanya. Kakak pikir, itu kenyataan. Kata-kata sang bapak harusnya menjadi motivasi agar kita bekerja dan sekolah atau kuliah yang baik sehingga bisa mengubah nasib kita sekalian. Kakak terima dengan lapang dada. Bekerja di lembaga apa saja, asal dengan ketekunan, penuh pengorbanan serta kejujuran, lembaga itu akan memberikan di luar haparan kita. Ada sesuatu yang luar biasa, dibalik apa yang kita alami saat ini”. Mereka diam sembari memiliki tekad di dalam hati untuk berbuat yang terbaik dalam  posisi apa pun.

Seminggu kemudian, sang ayah yang telah membuat luka satu kost itu datang lagi. Menginap lagi beberapa hari di tempat ini. Walau masih berbalut luka, adik-adik dan para ponaan melayani dengan sepenuh hati. Penulis justru bahagia, dalam kesederhanaan dan dalam stigma yang kurang positif justru mendapatkan kunjungan berahmat. Saatnya berbuat kebaikan dibalik serba kekurangan sebagai anak “kost”. Bapak itu kembali lebih cepat karena ada sedikit perbedaan pendapat dengan anaknya terutama anak mantunya. Beliau pulang dengan uang perjalanan seadanya. Waktu mau pamit, penulis memberikan sedikit uang perbekalan dari Ende ke desa Nagerawe. Kali ini reaksi penulis cukup mengagetkan. Beliau mencium tangan penulis sambil mengucapkan terima kasih dan mulai membandingkan penulis dengan anak kandungnya. Penulis menepuk bahunya dan mengatakan,”Tidak apa-apa, saya juga anak bapak”. Beliau melangkah ke kendaraan yang sudah penulis pesan dan juga sudah membayar ongkosnya. Sayang seribu sayang, sepekan kemudian, kami mendapatkan berita bahwa beliau pergi untuk selamanya menghadap Bapa di Surga abadi. Ada rasa bahagia dan juga penyesalan. Apabila waktu boleh berputar kembali, penulis akan melayani sang bapak lebih luar biasa lagi walau dalam keterbatasan. “Selamat jalan pak, Tuhan menerimamu di Surga. Amin”.

***

Menikah


Perjalanan dan perubahan waktu begitu cepat. Adik-adik dan para ponaan mulai meninggalkan kost karena sudah menyelesaikan pendidikan terakhir di perguruan tinggi. Mereka tersebar di beberapa kota. Ada yang bekerja di lembaga swasta dan cukup banyak mulai menjadi ASN. Kampung/Desa warga kelas dua semakin hari semakin terkikis. Penulis tegar menjalani kehidupan sebagai awam memasuki 11 tahun. Sangat lama. Biasanya setelah dari seminari, orang memilih menikah cepat. Penulis menundanya. Entah mengapa, tanggal, bulan dan tahun cantik datang juga. Waktu itu, tanggal 26 bulan 6 dan tahun 2006, penulis melenggang ke jenjang pernikahan. Menikah dengan seorang perempuan yang bernama Theresia Waso Ea, warga keturunan ningrat zaman doeloe. Penulis sesungguhnya merasa biasa. Cinta yang menyatukan kami. Orang-orang sekitar (lingkungan) merasa hal itu sebagai hal yang luar biasa. Tidak biasa. Belum lagi memikirkan penulis berasal dari mana. Seharusnya tidak mungkin. Tuhan memungkinkannya. Stigma warga kelas dua kian luntur.

***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar