Kamis, 17 Maret 2022

Pernah Dianggap Warga Kelas Dua 1

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Belajar Jadi Penulis


Sesungguhnya tulisan ini berawal dari tantangan Ibu Julia Utami dari Kosa Kata Kita (KKK) meminta agar penulis bisa menulis autobiografi bersama penulis kelas Nusantara bahkan dunia sebagai jawaban terhadap aneka kegiatan positif di tengah pandemi covid-19 mendera dunia dan Indonesia. Penulis salah menjermahkan persyaratan penulisan 5000 karakter, pikirnya 5000 kata. Tulisan itu, saya posting dalam blog ini sebagai pemanasan agar suatu saat nanti, penulis bisa menulis autobiografi yang memancing rasa ingin tahu dan syukur bisa menginspirasi para pembaca blog ini. Mohon maaf apabila kurang berkenan atau mungkin terkesan menonjolkan diri secara berlebihan. Penulis hanya terus belajar menulis dengan berbagai genre. Ikuti selengkapnya!

 

Dunia merupakan tempat yang indah dan layak untuk didiami. Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya, baik adanya. Sempurna. Dunia ciptaan Sang Khalik yang sungguh sempurna itu, kadang terasa tidak adil bagi sebagian penghuni. Saya penulis, Kosmas Lawa Bagho tidak sedang mendramatisasi sebuah cerita untuk meminta belas kasihan. Sebaliknya tidak bermaksud menyingkap dan mengumbar rahasia pribadi untuk mendapatkan penghargaan. Bisa dikatakan menganut politik atau psikologi ‘korban’ untuk meraih simpati apalagi empati murahan. Tulisan ini benar-benar ungkapan kebenaran pengalaman nyata sekedar membangkitkan harapan bagi sama saudara penulis yang mungkin mengalami nasib sama seperti yang penulis rasakan. 

 

Ketidakadilan stereotip itu sudah penulis rasakan sejak kecil. Ini bukan semata kesalahan pribadi. Lebih-lebih karena pemberian negatif sebagian besar orang luar terhadap kampung halaman penulis. Penulis lahir pada sebuah kampung bernama Dangakapa, Desa Nagerawe. Kampung itu jauh dari keramaian dan kemajuan kota. Hal ini dipersulit dengan dua kali besar yang seakan memisahkan kampung atau desa penulis dengan desa atau kecamatan tetangga yang lebih dekat dengan kemajuan terutama yang bisa dilalui kendaraan roda dua atau roda empat.

Perjalanan dari kampung atau desa ke kota kecamatan apalagi kabupaten hanya menggunakan kaki atau berkuda. Kuda adalah satu-satunya alat transportasi mentereng saat itu. Tidak semua orang bisa memiliki kuda. Hanya mereka-mereka yang empunya dalam tingkat kampung dan desa. Dengan demikian, mobilitas orang dari dan ke kampung sangat terbatas membuat kampung penulis sering dilabeli sebagai kampung udik, terbelakang dan penuh dengan berbagai kekuatan mistis negatif lainnya.

Orang-orang sekampung sejak lama tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Jangankan jenjang perguruan tinggi, tingkat menengah pertama dan menengah atas pun bisa dihitung dengan jari. Tidak lebih dari 5 orang. Jangkauan yang jauh, berjalan kaki dan kesulitan uang untuk membiayai sekolah di kota (tingkat kecamatan atau kabupaten) membuat stigma kampung atau desa kami semakin negatif.

Belum lagi, sebagian besar anak putri hanya berpendidikan sambut baru (upacara menerima Komuni Suci khusus Katolik, red). Artinya sebagian besar remaja putri setelah mendapatkan Komuni Suci atau Sambut Baru, mereka akan meninggalkan sekolah dan menikah.

Keadaan ini cukup lama penulis alami hingga suatu ketika ada seorang guru kepala sekolah dasar (SD Inpres Rawe boleh disebutkan namanya, Emanuel Buku Du’e) sangat aktif mendekati orang-orang kampung yang agak mampu secara ekonomis dan pemahaman agar menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat yang setinggi-tingginya, tidak hanya tamat sekolah dasar atau setelah sambut baru. Salah seorang ayah penulis bernama Nikolaus Meo Bhelo dan Mama Yuliana Saga Lea sungguh terinspirasi menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi atau paling kurang menyandang gelar dokrandus atau saat ini S1.

Orangtua yang berprofesi sebagai petani itu berjuang sekuat tenaga untuk menyekolahkan penulis hingga tingkat yang setinggi-tingginya. Tamat Sekolah Dasar Inpres Rawe tahun 1979/1980 langsung lanjut ke SMPK Kotagoa Boawae dan tamat tahun 1983/1984 dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang cukup menentereng yakni Sekolah Menengah Atas Seminari Santu Yohanes Berchmans Toda-Belu Mataloko sebagai awal persemaian untuk menjadi imam. Tamat tahun 1988/1989. Luar biasa bahwa setelah menamatkan pendidikan seminari menengah, melanjutkan studi pada Seminari Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere. Lama mengarungi pendidikan di sana sampai tingkat menjalani Tahun Orientasi Pastoral (KKN) dalam tarekat SVD (Societas Verbi Divini, Serikat Sabda Allah) sejak tahun 1989/1990 hingga 1995/1996. Menjelang tahun terakhir proses persemaian, pilihan tidak menjadi imam dan memilih jalan hidup sebagai awam dengan sejumlah risiko jalan hidup baru yang harus dilalui.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar