Selasa, 22 Maret 2022

Pernah Dianggap Warga Kelas Dua 3

 Oleh Kosmas Lawa Bagho

Belajar Jadi Penulis

  

Sesungguhnya tulisan ini berawal dari tantangan Ibu Julia Utami dari Kosa Kata Kita (KKK) meminta agar penulis bisa menulis autobiografi bersama penulis kelas Nusantara bahkan dunia sebagai jawaban terhadap aneka kegiatan positif di tengah pandemi covid-19 mendera dunia dan Indonesia. Penulis salah menjermahkan persyaratan penulisan 5000 karakter, pikirnya 5000 kata. Tulisan itu, saya posting dalam blog ini sebagai pemanasan agar suatu saat nanti, penulis bisa menulis autobiografi yang memancing rasa ingin tahu dan syukur bisa menginspirasi para pembaca blog ini. Mohon maaf apabila kurang berkenan atau mungkin terkesan menonjolkan diri secara berlebihan. Penulis hanya terus belajar menulis dengan berbagai genre. Ikuti selengkapnya!

 

Bangkit Dari Kesesatan Berpikir


Pengalaman menyakitkan belum bisa tuntas menyelesaikan skripsi membuat penulis semakin tenggelam dalam kesesatan berpikir. Rasa frustrasi kian menggunung. Salah sedikit bisa saja menghabiskan benih kehidupan yang telah Tuhan berikan dengan cuma-cuma. Untungnya, penulis suka menulis berbagai rasa hati di dalam sebuah buku agenda. Buku agenda menjadi teman mencurahkan perasaan hati yang sedang gundah. Kali ini, penulis tumpahkan dalam tulisan surat buat bapak dan mama yang jauh dari panti pendidikan.

 

“Kost sepi, 29 Januari 1997. Bapa dan mama tercinta di Nagerawe, Boawae. Salam bertemu kembali lewat lembaran tak berharga ini. Saya di sini masih sehat-sehat. Besar harapan saya, saya dapat dapat menemui bapa dan mama sekeluarga dalam keadaan sehat walafiat. Bagaimana cerita Natal dan Tahun Baru yang lalu? Tentu saja penuh kenangan dan bahagia. Anak Kosmas di Maumere, menyambut Natal dan Tahun Baru dengan segudang perasaan resah dan tak menentu karena penulisan skripsi yang belum diselesaikan, sampai-sampai harus menunda satu tahun lagi.

Memang rencananya ujian skripsi pertengahan Januari 1997 ini, namun pastor pembimbing mendapat tugas di luar negeri dan baru tiba di Ledalero tanggal 20 Januari 1997 maka ujian baru bisa terjadi mungkin sekitar bulan Februari-Maret 1997. Jika ujian tidak terjadi, saya akan pulang kampung untuk mencari uang dahulu agar bisa mengurus perkuliahan adik Reny. (Kami bertujuh saudara/i kandung dan satu anak dari bapak, mama lain. Saat itu, Adik Adriana Ngina Riwu, anak nomor 4 sudah tamat SMA dan belum lanjut kuliah, karena bapak mama petani masih fokus membiayai perkuliahan saya yang memutuskan untuk keluar dari calon imam tanpa selembar ijazah dari perguruan tinggi).

Saya memang akhir-akhir ini dipenuhi rasa bersalah kepada keluarga terutama adik Reny sudah tamat pendidikan SMA tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sudah merupakan keputusan bebas saya agar saya segera kembali untuk memperhatikan mereka. Saya berjanji, biar saya gagal meraih ijazah S1 dan tidak boleh menyengsarakan adik-adik saya dengan ulah saya. Saya telah bosan dengan sekolah. Apa pun nasib yang akan saya hadapi walau dalam penderitaan pun, saya rela menjalaninya dengan penuh ketabahan. Intinya saya bisa membahagiakan adik-adik sejauh kemampuan. Saya kembali bulan Maret nanti. Bapa dan mama tidak usah terlalu memikirkan nasib saya di Maumere. Berjuanglah untuk nak Reny, Feni dan Sensi. (Feni, adik perempuan nomor 6, masih duduk di SMP dan Sensi, adik laki nomor 7 masih duduk di SD sementara 1 adik perempuan lagi tamat SD tidak lanjut ke SMP)”.

***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar