Kamis, 31 Maret 2022

Pernah Dianggap Warga Kelas Dua 4

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Belajar Jadi Penulis

  

Sesungguhnya tulisan ini berawal dari tantangan Ibu Julia Utami dari Kosa Kata Kita (KKK) meminta agar penulis bisa menulis autobiografi bersama penulis kelas Nusantara bahkan dunia sebagai jawaban terhadap aneka kegiatan positif di tengah pandemi covid-19 mendera dunia dan Indonesia. Penulis salah menjermahkan persyaratan penulisan 5000 karakter, pikirnya 5000 kata. Tulisan itu, saya posting dalam blog ini sebagai pemanasan agar suatu saat nanti, penulis bisa menulis autobiografi yang memancing rasa ingin tahu dan syukur bisa menginspirasi para pembaca blog ini. Mohon maaf apabila kurang berkenan atau mungkin terkesan menonjolkan diri secara berlebihan. Penulis hanya terus belajar menulis dengan berbagai genre. Ikuti selengkapnya!

 

Momentum Itu Juga Datang Tanggal 15 Maret 1997


Di tengah rasa putus asa yang kian meningkat, Tuhan selalu menghadirkan keajaiban. Muzizat itu nyata. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Tuhan tidak memberikan rasa beban melebihi kemampuan manusia. Tugas yang sesungguhnya tidak terlalu berat, kog terasa membelenggu itu akhirnya tiba juga penyelesaiannya. Saya menulis lagi pada buku agenda harian, teman curahan hati paling setia.

 

“15 Maret 1997. Di bawah remang surya senja tanggal 15 Maret 1997, saya melangkah gundah meski menyembul segumpal harapan meraih keberhasilan. Sore itu, tepat pukul 17.00 waktu Indonesia Tengah (Witeng), saya memasuki ruangan ujian skripsi STFK Ledalero. Ujian ini merupakan dambaan dan momentum paling menentukan proses belajar setiap mahasiswa apalagi diri saya dalam sekian waktu yang cukup lama.

Momentum ini merupakan lembaran sejarah baru yang saya buka dalam proses belajar mengajar di panti yang sangat bermartabat itu. Tidak tanggung-tanggung sekitar 9 tahun saya belajar di tempat itu. Memang patut saya syukuri, setelah berada dalam situasi tak menentu, saya akhirnya bisa mengalaminya. Saya bertambah puas lantaran usaha dan perjuangan bertahun-tahun lalu melahirkan hasil yang memuaskan. Skripsi saya berdasarkan peniliaian dewan penguji: Pater Drs. Ansel Doredae, M.A.,SVD dan Pater Dr. Leo Kleden, SVD meraih angka sangat memuaskan.

Puas atau tidak, peristiwa hari ini merupakan titik awal yang baik bagi pengalaman intelektual saya selanjutnya. Saya mesti terus berusaha membaca, melihat, menyelidiki, meresapi dan melahirkan gagasan-gagasan baru berhadapan dengan berbagai kemajuan pesat hampir seluruh sendi kehidupan manusia baik sebagai warga bangsa maupun umat Katolik yang nasionalis 100%” tulis saya mengalir dalam agenda yang nampak mulai menua itu.

***

Titik Balik Kehidupan

Di tengah situasi pasang surut kehidupan yang semakin menyesakkan dada selalu datang penyelamatan. Dalam bahasa sehari-sehari lebih dikenal dengan titik balik kehidupan. Penulis rasakan sungguh, ini sebuah keajaiban bisa bangkit dari keterpurukan cara berpikir sebagai “orang-orang kalah” berhadapan dengan berbagai “dapur emas” kehidupan yang diberikan Tuhan yang Maha Esa. Menjejakkan Kaki Perdana Kali di Tanah Jawa. Rasanya sungguh luar biasa. Seorang pemalu tidak banyak omong dan tidak memiliki prestasi apa pun bisa menjejakkan kaki di tanah Jawa yang menjadi harapan semua orang kampung seperti penulis. Perasaan sebagai warga kelas dua sudah mulai terkikis sejak melanjutkan ke Seminari Menengah Atas hingga perguruan tinggi spesial. Hanya orang-orang memiliki kualitas otak dan karakter terseleksi dengan ketat bisa mengenyam proses persemaian di seminari dan tentu mendatangkan kebanggan tersendiri. Belum lagi menjejakkan kaki di tanah Jawa bagi sebagian besar warga kami sebagai  prestasi yang semakin membuat kami sejajar dengan warga lainnya. Paling tidak, kami tidak lagi dianggap sebagai warga kelas dua yang serba minus. Penulis bekerja di Surabaya dan Malang. Tempat kerja yang bagus dengan tingkat kesejahteraan lumayan bagus. Itu tidak membuat penulis betah dan kembali ke Flores.

***

Kembali Bergelut di Tanah Terjanji Flores

Kehidupan surga yang dijanjikan tanah Jawa tidak membuat penulis betah dan bertahan lama di sana. Berbagai fasilitas sungguh luar biasa. Kepercayaan demi kepercayaan diberikan. Indah rasanya. Sayang jika harus ditinggalkan. Entah apa yang menggoda sehingga penulis kembali menggelut kehidupan sebagai awam di tanah terjanji Flores. Mungkin lebih dekat dangan ayah-ibu yang semakin menua. Mungkin bisa mewujudkan impian untuk membantu memfinalisasikan sekolah ade-ade sampai tingkat perguruan tinggi. Mungkin ada yang lain. Tidak tahu persis. Semua masih terasa samar-samar dan lebih jelas dikatakan “ketidakpastian”.

***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar