Minggu, 20 Maret 2022

Pernah Dianggap Warga Kelas Dua 2

 Oleh Kosmas Lawa Bagho

Belajar Jadi Penulis

 

Sesungguhnya tulisan ini berawal dari tantangan Ibu Julia Utami dari Kosa Kata Kita (KKK) meminta agar penulis bisa menulis autobiografi bersama penulis kelas Nusantara bahkan dunia sebagai jawaban terhadap aneka kegiatan positif di tengah pandemi covid-19 mendera dunia dan Indonesia. Penulis salah menjermahkan persyaratan penulisan 5000 karakter, pikirnya 5000 kata. Tulisan itu, saya posting dalam blog ini sebagai pemanasan agar suatu saat nanti, penulis bisa menulis autobiografi yang memancing rasa ingin tahu dan syukur bisa menginspirasi para pembaca blog ini. Mohon maaf apabila kurang berkenan atau mungkin terkesan menonjolkan diri secara berlebihan. Penulis hanya terus belajar menulis dengan berbagai genre. Ikuti selengkapnya!

Empat Belas Maret 1996

Hari itu, tanggal 14 Maret 1996. Pagi sekali, penulis bangun dari tempat tidur. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Penulis menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Semua penghuni kost masih terlelap dalam buaian mimpi, cuma satu dua kokokkan ayam tetangga menghibur penulis di pagi yang kelabu itu. Sesungguhnya biasa saja. Akan tetapi penulis gelisah, resah dan mulai frustrasi menghadapi realitas sebagai mahasiswa STFK Ledalero, fakultas kebanggaan seluruh masyarakat cendekiawan Flores. Di sana ada persemaian berkualitas bagi orang-orang pilihan untuk menjadi pekerja kebun anggur Tuhan. Ada juga calon-calon awam bermutu secara moral, iman, intelektual dan kepribadian (karakter).

 

Penulis memasuki ruangan kamar kost yang sepi pagi itu, setelah membersihkan diri di kamar mandi dengan langkah gontai dan linglung. Penulis bingung, mau memulai dari mana. Penulis merasa lesu, letih dan kurang bergairah tiada berdaya. Penulis bimbang dan ragu. Walau pun demikian, penulis masih memiliki sedikit tenaga, menyobek secarik kertas putih, mengambil sebatang bolpoin kaca seharga Rp100 dan mulai menulis perasaan 14 Maret 1996.

“ … betapa sulit menggarapi suatu pemikiran yang runut, salah seorang pemikir ulung dan besar. Beliau berbicara lepas tanpa tirai yang bisa menghalangi. Ia bebas berjalan sesuai panggilan kebenaran nuraninya. Ide-idenya bagaikan ada kaki yang bebas bergerak ke mana saja. Dialah Soedjatmoko, sang cendekiawan brilian yang punya komitmen ekstra pada nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap gerak laju pembangunan.

Penulis sendiri heran. Mengapa penulis yang sedikit santai, mudah menyerah dan terbatas dalam petualangan intelektual, berinterese penuh pada pemikirannya. Sudah dapat dibayangkan. Hampir dua tahun, penulis belum mampu menyelesaikan tulisan skripsi dengan judul, “Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Pembangunan Menurut Soedjatmoko”. Apakah ini suatu kegagalan? Kebodohan? Atau sebuah dapur emas yang menguji perjalanan intelektual penulis. Penulis sendiri tidak tahu persis. Agak pasti, penulis mulai putus asa, kehilangan semangat dan kerap salah berpikir, penulis sulit merampungkan skripsi. Kekeliruan berpikir bisa berakibat fatal. Sama persis apa yang disampaikan Henry Ford, “Jika Anda pikir Anda bisa. Anda benar. Jika Anda pikir Anda tidak bisa. Anda benar”.  Saat itu, penulis berpikir sepertinya tidak bisa sehingga lilitan benang kusut melingkari dan gaung warga kelas dua sedikit menghantaui.

***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar