Kamis, 13 April 2023

Seri 4 - Menerbitkan Buku Fiksi

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Pecinta Sastra


Testimoni 

Yohanes Sehandi, pengamat dan kritikus sastra NTT dari Universitas Flores, Ende

“Yang bukan penyair tidak ambil bagian.” Inilah bait terakhir puisi penyair besar Indonesia, Chairil Anwar (1922-1949) yang berjudul “Fragmen.” Bait terakhir ini hanya terdiri atas satu baris. Puisi ini terdapat dalam buku antologi puisinya berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, diterbitkan Penerbit Dian Rakyat tahun 1949, bersamaan dengan tahun kematian penyair heorik dengan puisinya yang terkenal “Aku Ini Binatang Jalang.”

 

Baris puisi yang terdiri atas enam kata di atas, sengaja dihadirkan Chairil Anwar, bukan tanpa berdasar. Dasarnya, pada tahun 1940-an itu, budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah bahkan sangat memprihatinkan. Yang terlibat dalam kegiatan membaca dan menulis sangat rendah, apalagi membaca dan menulis puisi, jauh lebih rendah lagi. Baris puisi ini sepertinya sebagai bentuk sindiran terhadap masyarakat Indonesia yang malas membaca dan menulis puisi. Ungkapan Chairil Anwar ini kemudian dijadikan semacam semboyan oleh masyarakat umum untuk menyindir orang-orang yang dengan iseng mau menulis puisi. 

Keadaan pada 80-an tahun lalu itu, kini sudah berubah jauh, apalagi pada era digital sekarang ini. Pada era sekarang ini, baris puisi Chairil Anwal di atas berubah menjadi ungkapan: “Yang bukan penyair, silakan ambil bagian.” Semboyan ini dipakai pula di kalangan pencinta puisi esai Denny JA, yang mengajak siapa saja untuk menulis puisi esai. Semboyan yang kini terbalik pada era Chairil Anwar.

 Pada saat ini, siapa saja, kalau mau, silakan menjadi penyair. Caranya, dengan menulis puisi dan mempublikasikannya kepada publik lewat berbagai media massa, baik media cetak maupun media online. Maka, berbondong-bondonglah orang menulis puisi di berbagai media massa yang tersedia. Genre sastra yang bernama puisi, menjadi idola baru dan semarak di masa pandemi Covid-19 sejak 2020 sampai dengan saat ini. Tidak hanya gairah menulis puisi meningkat, gairah membaca puisi secara virtual juga meningkat. Apakah puisi itu bermutu atau tidak, itu bukan urusan penulis. Apakah kemudian penulis puisi akan disebut penyair atau tidak, itu pula bukan urusan penulis. Yang menilai puisi pada era kini, tidak hanya pengamat dan kritikus sastra, tetapi juga para pembaca umum di media sosial yang disebut netizen.

Kosmas Lawa Bagho, penulis buku antologi puisi Sobekan Rahasia Langit ini ikut terpanggil dan merasa berhak mengambil bagian dalam kecenderungan umum masyarakat Indonesia pada akhir-akhir ini. Masing-masing orang tentu mempunyai dasar dan motivasi menulis puisi yang berbeda-beda. Itu sah-sah saja dalam dunia sastra. Bagi penyair Kosmas Lawa Bagho, dasar dan motivasi menulis puisi tidak sederhana. Ada tiga dasar pertimbangannya, yakni pertimbangan psikologis, historis, dan filosofis. Ketiga dasar pertimbangan ini kita temukan dalam puisinya yang berjudul “Menulis.” Berikut kutipan lengkap puisi tersebut.

Buat apa saya harus menulis

Menulis menyembuhkan luka dalam hati

Membersihkan segala kotoran jiwa

Membuka sumbatan nadi untuk berpikir sehat

 

Buat apa saya harus menulis

Menulis untuk keabadian

Tak pernah lenyap rekaman peristiwa

Walau raga terkubur dalam bumi

 

Menulis menciptakan peradaban baru

Jangan pernah ragu membuat tulisan

Mulai dari diri sendiri …

 

Berdasarkan tiga dasar pertimbangan di atas, maka hadirlah 33 judul puisi dalam buku ini. Sebagian besar puisi ditulis pada tahun 2020 sebanyak 16 puisi, pada 1996 sebanyak 9 puisi, yang lainnya pada 1992, 2013, dan 2015. Dilihat dari segi proses kreatif pencipataan puisi, penyair ini menulis puisi tidak terus-menerus, tetapi menulis untuk mengabadikan momen-momen penting yang berpengaruh dan berkaitan dengan kepentingan pandangan pribadi, kepentingan keluarga, kepentingan rakyat kecil, kepentingan masyarakat umum, bangsa, dan negara. Karena berbagai kepentingan itu, maka tema-tema puisi yang dihadirkan dalam buku ini sangat beragam. Meskipun tema puisi beragam, namun gaya penyajian penyair konstan, yakni konvensional, minim metafora, kiasan, dan simbol. Karena bergaya konvensional, minim metafora, kiasan, dan simbol, maka 31 puisi dalam buku antologi ini gampang ditangkap maksudnya oleh pembaca. Tidak ada puisi yang susah ditangkap maksudnya. Inilah sumbangan penyair Kosmas Lawa Bagho dalam konstelasi puisi di panggung sastra NTT. 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar