Selasa, 04 April 2023

Seri 3 - Menerbitkan Buku Fiksi

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Pecinta Sastra 


Pengantar Kritikus Sastra

COGITOMULTIPEL KOSMAS LAWA BAGHO

Oleh Narudin

 

Dan ternyata kogito Kosmas pun terus gelisah hingga tiba pada puisi yang bertema Corona—tema panas saat ini, yang sudah sangat menjengkelkan, penuh permainan politis dengan kondisi miris, baik secara pribadi maupun secara umum.

 

HUJAN SENJA HARI

 

Senja itu makin pekat

Air mata langit

Terus menetesi dan menciumi bumi

Di senja yang makin kelam itu

 

Hati ini gelisah tak mengerti

Jiwa ini pun letih tak habis pikir

Apa gerangan yang terjadi

 

Jalan ramai kian sepi

Kendaraan seakan mati tak mau berlari

Ternyata peserta positif covid-19

Terus menari bertambah tak kendali

 

Hujan senja itu  membawa kabar duka

Corona Wuhan telah menjadi bidadari dunia

Bukan untuk kebaikan melainkan bencana.

 

Ende, 18 Mei 2020

 

Bait akhir puisi di atas ini bernada menyindir secara halus hingga Kosmas menghadirkan kogito yang kreatif, membandingkan “Corona Wuhan” dengan “bidadari dunia”.

 

Hujan senja itu  membawa kabar duka

Corona Wuhan telah menjadi bidadari dunia

Bukan untuk kebaikan melainkan bencana.

 

Dan akhirnya dalam puisi “Bocah (Perayaan Natal Kini)” kogito Kosmas tampak goyah, seperti menyebut “Anak Allah” dan menanyakan secara tegas “Di manakah Penebus kami lahir?”. Kata-kata “Anak Allah” dan “Penebus” diacu ke dalam kata “lahir”. Seperti sindiran yang bersifat krisis spiritual Kosmas dalam kogito atau pikirannya, yaitu bagaimana “Anak Allah” lahir dan “Apa Tuhan bisa lahir seperti umumnya manusia?”, “Apa Tuhan itu bersifat seperti manusia yang berdaging dan bertulang dan butuh segala hal dengan segala kelemahan dan kekurangannya?”, bagaimana dua pikiran Kosmas ini dapat ditertibkan dalam satu puisi ini seperti dua bait puisi di bawah ini:

 

Bocah-bocah kecil berlilin di tangan

Menyusuri setiap lorong desa dan kota

Mencari tempat kelahiran Sahabat mereka

Sang Emmanuel  … Anak Allah

Yang menyertai kehidupan manusia

 

Mereka bertanya

Pada batang flamboyan yang retak-retak patah

Di manakah Penebus kami lahir …???

 

Ini mengingatkan kepada ucapan filsuf Nietzsche. Berikut kutipan dari Nietzsche. Tuhan yang dimaksud oleh Nietzsche dalam konsep "anti-Kristus", seperti dalam bukunya The Anti-Christ (1895).

 

"Tuhan mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuh Tuhan. Bagaimana kita menghibur diri kita, pembunuh dari seluruh pembunuh? Apa yang paling suci dan paling berkuasa, dunia telah berdarah hingga ajalnya akibat pisau kita: siapa hendak menyeka darahnya, darah ini dari kita? Air apa yang ada untuk membersihkan diri kita? PESTA PENEBUSAN DOSA APA, permainan sakral apa yang harus kita adakan? Bukankah keagungan perbuatan ini terlampau agung bagi kita? Bukankah kita sendirilah  tuhan-tuhan itu agar tampak patut adanya?"

 

Sebagai penutup, demikianlah kogito Kosmas yang bermacam-macam (multipel) ini dalam puisi-puisinya hingga taraf kogito yang kontradiktif secara spiritual. Maka, betul kata Descartes di awal kritik sastra (Kata Pengantar) ini, yaitu “Aku ragu, maka aku berpikir, maka aku ada.” Proses ragu itu harus dimusnahkan agar yakin berpikir atau yakin ber-kogito!

 

***

Dawpilar, 29 Juli 2021

___________

*) NARUDIN, sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra Indonesia.

FB: Narudin Pituin. WA: 081-320-157-589.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar