Minggu, 30 Juli 2017

Hatiku Teriris-Iris: Catatan Perjalanan Bus dari Desa ke Kota

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Ir. Soekarno, Merdeka.com
Sabtu, 29 Juli 2017. Aku melakukan perjalanan dari desa ke kota kediamanku setelah melakukan pekerjaan kantor kurang lebih 5 hari di daerah bersangkutan dengan menggunakan bus angkutan desa.



Sejak awal kedatanganku di tengah masyarakat desa tersebut, aku mengalami situasi yang sangat menyenangkan dengan sambutan di luar perkiraanku. Aku dilayani bak seorang raja dengan berbagai fasilitas meski dalam keterbatasan sebagai warga desa.

Orang-orang itu melayani dengan tulus, jujur dan penuh pengorbanan. Aku pun menikmati kebersamaan dengan mereka dan selalu menempatkan diri agar tidak semakin melebarkan pelayanan yang begitu 'wah' kepada diriku sebab sesungguhnya aku juga berasal dari desa dengan segala dinamika hidup seperti yang mereka alami hanya karena alasan pekerjaan sehingga hampir 20 tahun, aku berada di kota.

Mereka melayani saya begitu luar biasa bukan karena tuntutan pekerjaan melainkan sesuatu yang lebih dalam. Suatu penghargaan terhadap manusia dalam bentuk diriku yang sederhana dan kurang terkenal ini.

Aku sendiri melihat penerimaan dan pelayanan mereka sebagai bentuk kasih sayang Tuhan yang mereka tumpahkan kepada diriku. Memang, itulah realitas watak kepribadian orang-orang desa dengan segala kearifan dan kebajikan selalu mengutamakan "tamu" dengan mengorbankan segalanya demi "tamu" yang datang dan mengunjungi mereka dari dekat.

Pelayanan dan penerimaan mereka sungguh berkesan di dalam hatiku. Namun yang lebih membuat hatiku teriris-iris adalah ketika perjalanan kembali ke kota dengan menggunakan bus angkutan desa. "Bus roda engkel" yang selalu mereka kenal dan mereka katakan. Bus roda engkel selalu mereka utamakan karena yang senantiasa menghantar mereka dari desa ke kota maupun dari kota ke desa. Nama bus itu tak perlu aku sebutkan agar tidak membuat bus angkutan atau travel lainnya di desa bersangkutan merasa ditinggalkan. Kompetisi dalam mengangkut penumpang sungguh sangat ketat.

Malam sebelumnya, salah seorang petugas kantor di desa bersangkutan,  menghubungi sopir bus angkutan desa yang akan menghantar aku kembali ke kota bersama para penumpang lainnya. Sang sopir menyanggupinya dan memberi pesan bahwa aku harus mempersiapkan diri sejak pukul 06.00 pagi.

Aku bangun dan mempersiapkan diri pukul 04.30 agar tidak merepotkan sopir dan penumpang lain. Pukul 05.30, aku mendapatkan pelayanan terakhir dari tuan rumah yang telah menampungku selama beberapa hari. Tuan rumah yang kebetulan suami-isteri semua guru, sungguh memberikan perhatian lebih kepadaku. Mereka sudah mempersiapkan segalanya dan kami ngobrol sambil menunggu jemputan. Ternyata tepat pukul 06.00, bus jemputan datang.

Aku pun bergegas mengangkat tas untuk numpang bus. Aku begitu terkejut, ada  oleh-oleh. Ada seekor ayam jantan dan 1 botol moke (sejenis minuman lokal beralkohol) berupa penyulingan dari pohon enau atau lontar. Aku menerima cinta dan pemberian mereka dengan senang hati dan rasa syukur.

Wakut terus bergulir. Bus tersebut, berputar-putar menyusuri sejumlah kampung untuk menjemput para penumpang pesanan. Aku menikmati udara pagi dengan riang gembira. Tidak ada perasaan sedih. Namun tiba-tiba, bus berbelokan ke tanjakan yang agak curam. Berputar-putar beberapa kali dan kami menemui beberapa penumpang dengan barang bawaan yang begitu banyak, seperti orang mau pindah tempat tinggal.

Semua penumpang terutama aku seorang diri mulai bertanya-tanya di dalam hati. Penumpang tersebut pasti melakukan perjalanan jauh. Tidak mungkin hanya sampai di kota seperti biasanya. Sambil menunggu beberapa konjak dan sopir mengangkut barang-barang penumpang itu yang menarik perhatian diriku, aku berkesempatan menanyakan pada penumpang di sampingku. "Pak, entahkah penumpang ini pasti melakukan perjalanan jauh dan tidak hanya sampai pada kota yang selalu kita singgah atau bekerja?". Jawabnya. "Ia pak. Keluarga ini melakukan perjalanan jauh ke pulau (maaf aku edit agar tidak membuat orang tersinggung)".

Aku pun diam. Dalam hati semakin muncul berbagai pertanyaan liar. Perjalanan jauh? Ke suatu daerah yang jauh dari daerahnya? Untuk apa di sana? Membawa keluarga lagi? Entahkah desa ini, kecamatan ini, kabupaten ini, provinsi ini tidak lagi nyaman untuk didiami? Apa yang sedang mereka pertaruhkan di tempat yang baru?

Masih melamun seorang diri di tengah keramaian riuh rendah berbagai penumpang, calon penumpang dan para penghantar, aku dikejutkan dengan serombongan penumpang yang hendak menumpang bus yang sama setelah berbagai barang bawaan yang cukup banyak tadi masuk ke dalam bus. Aku melihat yang numpang duluan seorang ibu, lalu anak gadis paling besar, dua anak lelaki yang usianya rata-rata 8-10 tahun, lalu terakhir seorang bapak yang diperkirakan usia lebih dari 50 tahun.

Ayah dan ibu begitu tegar memohon pamit pada keluarga yang masih tersisa. Aku kurang peduli dengan ayah-ibu dari anak-anak tersebut. Perhatianku tertuju pada anak-anak mereka. Anak gadis seusia SMU, numpang bus sambil memegang matanya. Ia duduk bangku di depanku, aku masih bisa memperhatikannya dengan jelas. Tangannya menutup kedua bola mata indahnya. Ia menangis tersedu-sedu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sehingga dari kedua bola matanya terus mengalir air mata kesedihan atau kebanggaan, hanya dia sendiri yang tahu.

Aku pun mulai mereka-reka. Mungkin beliau menangis meninggalkan sanak-saudaranya yang masih tersisa di desa tersbut. Ataukah ia menangis meninggalkan teman-teman sebayanya atau pun mungkin teman spesialnya. Ah, cukup di situ lamunanku.

Perhatianku beralih pada pada dua adiknya. Kebetulan mereka duduk satu bangku, adik yang satu dipangkunya. Adik yang lebih kakak duduk disampingnya. Aku tidak tahu, entahkah mereka itu kakak-adik kandung hanya nampak dari kedekatan mereka, mungkin mereka satu keluarga. Adik  lelaki yang lebih besar duduk diam dengan tatapan kosong melihat rumah tempat tinggal mereka selama ini. Ada seroang nenek menemui mereka. Membuat sebuah tanda di dahi. Mungkin itu, tanda berkat seperti yang aku alami waktu pertama kali meninggalkan desa untuk melanjutkan studi SMP di kota.

Aku terus memperhatikan anak lelaki yang dengan tatapan kosong menerima berkat dari nenek mereka. Nenek mereka dengan beruraian air mata memberi tanda pada dahi keduanya. Anak lelaki itu tanpa kata, tanpa eskpresi.

Bus bergerak lambat meninggalkan tempat mereka. Anak lelaki tadi dalam diamnya, sambil tangan yang satu merengkuh adik lelakinya yang lain, ia pun meneteskan air mata. Tetesan air mata yang jatuh dari dua bola matanya yang masih bening, masih suci itu membuat hatiku goyah. hatiku tercabik-cabik tak menentu. Hatiku kian teriris-iris ketika berbagai butiran air mata terus mengalir selama perjalanan dari rumah jemputan tadi.

Hati kecilku mulai memberontak. Ingin berteriak sekeras mungkin namun aku tak mampu. Banyak  pertanyaan di dalam hati bahkan mulai muncul rasa bersalah di dalam hati sendiri. Mungkinkah pekerjaanku selama ini belum mampu memberikan "kenyamanan" hidup bagi sebagian penduduk desa meski pekerjaanku berhubungan sangat banyak dengan masyarakat desa? Mungkinkah pemerintah dan pihak swasta lainnya di daerah ini belum sanggup membuat mereka tenang hidup di desa mereka hingga aku bertanya, entahkah dana desa yang bergulir ke desa belum sanggup membuat mereka bertahan?

Mereka harus pergi tercerabut dari akar budayanya sendiri untuk mencari rupiah atau pun dolar ke daerah atau negeri lain. Mungkin benar, mereka akan hidup lebih berkelimpahan secara materi di daerah atau negara lain namun kita tidak tahu persis suara kebatinan mereka semua merasa bahagia jauh dari keluarga, jauh dari kearifan adat-istiadat setempat.

Lamunanku makin lama makin tak menentu dan tertutup oleh derapan langkah bus angkutan desa yang terus menjauh dari desa bersangkutan menuju kota. Aku pun tidak tahu, entahkah hatiku teriris mewakili kesedihan mereka ataukah memang itu persepsi yang salah dari diriku terhadap fenomena yang sedang aku hadapi. Mohon maaf ya, atas kejadian bersangkutan membuat lamuananku yang kurang positif. Aku pun tidak sempat menanyakan nama mereka. Aku tak pernah berdialog dengan mereka. Aku hanya bertanya dan menjawab seorang diri di dalam hati.

Aku pun hanya mendoakan yang terbaik buat mereka dan sama saudara yang lain yang mungkin  percaya bahwa di daerah atau negara lain lebih memberikan "susu dan madu" kepada mereka dan seluruh keluarganya.

Hatiku teriris oleh lamunanku sendiri yang belum tentu benar.
Selamat bekerja dan berbahagia di tempat yang baru kawan ...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar