Selasa, 09 Juli 2013

Jati Diri Koperasi dan UU Nomor 17/2012


Oleh Paskalis X. Hurint dan Kosmas Lawa Bagho
Aktivis Koperasi Kredit, tinggal di Ende, Flores



Hari ini, segenap aktivis pemberdayaan masyarakat melalui koperasi (kredit) dan seluruh insan manusia Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Koperasi yang ke-66, tanggal 12 Juli 2013 apabila ditarik dari hari jadinya 12 Juli 1947. Ada berbagai warna dinamika tantangan ataupun kemajuan pertumbuhan dan perkembangan koperasi (kredit) untuk membangun harkat dan martabat manusia Indonesia secara utuh serta berkelanjutan. Dalam rangka merayakan HUT Koperasi Indonesia hari ini, kami berkenan menurunkan tulisan dengan judul “Jati Diri Koperasi dan UU Nomor 17/2012”.
Kalangan koperasi menyambut gembira atas kehadiran Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian yang disahkan oleh Presiden RI di Jakarta tanggal 29 Oktober 2012. Undang-undang ini dipandang membawa nuansa baru bagi perkoperasian di Indonesia. Namun apakah nuansa baru itu masih tetap melestarikan jati diri koperasi ataukah sebaliknya dapat memudarkan bahkan hilangnya jati diri koperasi yang sudah diimplementasi secara konsisten oleh gerakan koperasi Indonesia terutama gerakan koperasi kredit.

Kemandirian
Jati diri koperasi (kredit) mencakup empat pilar utama yakni pendidikan, kemandirian (swadaya), solidaritas dan inovasi. Yang disoroti melalui tulisan ini, salah satu dari empat pilar jati diri koperasi adalah kemandirian. Kemandirian berarti membangun kekuatan sendiri. Kemandirian koperasi mewujud dalam bentuk modal yang dimiliki koperasi, yakni modal yang diperoleh dari anggota. Itu berarti koperasi hendak menegaskan kepada anggotanya bahwa yang menolong diri para anggota adalah anggota itu sendiri. Dengan demikian, kesulitan anggota hanya ditolong oleh anggota itu sendiri dalam kebersaman dengan anggota yang lain. Anggota koperasi sekali-kali tidak boleh mengharapkan bantuan modal dari pihak lain guna menolong dirinya. Oleh karena itu, modal yang dipinjamkan kepada anggota adalah benar-benar modal anggota.
Kemandirian dalam menolong kesulitan diri sendiri dengan memanfaatkan modal dalam kebersamaan menanamkan rasa percaya diri di dalam anggota koperasi bahwa sesungguhnya anggota koperasi memiliki kapasitas dalam memberdayakan dirinya. Dengan kesadaran ini, maka tertanam dalam diri anggota koperasi rasa bangga akan kekuatan sendiri.
Melalui semangat kemandirian, gerakan koperasi (kredit) membangun kekuatan masyarakat setempat berlandaskan pada filosofi pemberdayaan Wilhelm Frederich Raiffesien,  pendiri koperasi kredit atau credit union di Jerman, Barat (1856) yakni “hanya orang miskin yang dapat mengatasi kesulitannya sendiri” dengan cara menabung dari apa yang ada pada orang miskin, dipinjamkan kepada orang miskin untuk pengembangan ekonomi rumah tangganya.
Bambang Ismawan pernah menulis, “Koperasi Kredit atau yang lebih dikenal dengan sebutan Credit Union merupakan suatu terobosan untuk membantu masyarakat kecil dalam mengatasi permodalan dengan kekuatannya sendiri. Koperasi Kredit berusaha untuk mengubah mentalitas masyarakat bawah yang seringkali kurang percaya diri. Dengan menjadi anggota Koperasi Kredit, masyarakat diyakinkan bahwa mereka mampu menolong diri sendiri dengan kekuatan mereka sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa pendekatan koperasi kredit langsung pada pemecahan masalah pembangunan paling dalam yakni merombak ketergantungan menjadi kemandirian”.
Selama ini, berbagai bantuan modal kerja kepada koperasi atau pun bantuan lainnya kepada masyarakat semakin membuat masyarakat tidak berdaya dan bergantung. Bahkan secara kasat mata dapat dikatakan bahwa bantuan beras miskin (raskin) dan bantuan langsung sementara masyarakat  (blsm atau balsem) saat ini merupakan musuh besar kemandirian dan martabat manusia. Sebab melalui berbagai program apalagi bersifat proyek akan semakin mematikan kreativitas masyarakat untuk berusaha sekeras mungkin mempertahankan hidup (e’lan vitae) dan semakin meninabobokan masyarakat penerima. Proyek raskin dan blt yang kini lebih dikenal blsm, akan mewarisi generasi anak cucu sebagai generasi yang hanya tahu menerima tanpa mau bekerja keras dan cerdas.

Modal Sosial
Dengan membangun kemandirian, memupuk rasa percaya diri dalam ikatan solidaritas untuk bela rasa satu sama lain serta saling percaya dalam diri anggota koperasi (kredit), maka dalam inti terdalam, sesungguhnya koperasi sedang dan terus mengkonstruksi modal sosial dalam sistem kehidupan masyarakat. Selanjutnya, dengan itu koperasi hendak menegaskan bahwa tatanan kehidupan sosial dan ekonomi dalam kebersamaan hanya dapat dibangun dalam koridor nilai-nilai kemandirian, kejujuran, saling percaya, gotong-royong dan setiakawan.
Apabila nilai-nilai ini diganggu, tidak dikawal, diredupkan dan hilang, maka sistem sosial akan menjadi amburadul dan rusaklah tatanan kehidupan bersama. Dengan demikian, koperasi pun mau mengatakan kepada anggotanya bahwa betapa pentingnya nilai-nilai itu untuk tetap diusung dalam kehidupan sosial demi kelanggengan kehidupan bersama. Uang hanyalah sarana yang digunakan untuk merakit nilai-nilai sosial demi pembangunan karakter dalam kehidupan bersama.

Tantangan
Jati diri koperasi yang kaya akan nilai-nilai sosial demi pembangunan karakter kehidupan masyarakat harus senantiasa dirawat dan dilestarikan secara konsisten. Kemandirian koperasi dalam hal modal kerja akan berbenturan dengan tawaran (godaan) modal yang datang dari luar koperasi, apalagi UU No. 17/2012 membolehkannya.
Rumusan UU No. 17/2012 yang membolehkan masuknya modal dari luar tentu bertujuan untuk memperbesar dan memperkuat modal koperasi. Bahkan dengan tujuan yang sama seperti produk hukum ini, tawaran modal yang datang dari luar ini boleh jadi menggiurkan, baik dalam bentuk jumlah maupun dalam prosedur pengembaliannya.
Untuk itu, UU Koperasi Nomor 17 Thn 2012 pada pasal 66 ayat 2 yang menyatakan bahwa modal koperasi bisa juga datang dari modal penyertaan tidak boleh melemahkan atau menghapus unsur keswadaayaan modal anggota sebab pemodal utama koperasi (kredit) sejati adalah anggota.
Meskipun tujuan masuknya modal dari luar demikian bagus, namun pada sisi yang lain, masuknya modal ini dapat meredupkan bahkan mematikan kemandirian modal koperasi. Hal ini dapat terjadi karena dengan masuknya modal dari luar, koperasi mengalami ketergantungan pada modal dari luar.

Kehati-hatian
Ketergantungan terhadap modal dari luar justru membahayakan eksistensi kemandirian koperasi. Koperasi bukan lagi bersandar pada modal sendiri yang diperoleh dari simpanan anggota tetapi beralih kepada kekuatan modal dari luar. Dengan demikian aliran modal dari luar dapat saja melemahkan kemandirian koperasi.
Kemandirian koperasi semakin diperparah apabila modal yang datang dari luar terlampau besar yang pada gilirannya menyedot seluruh perhatian fungsionaris koperasi untuk mengelola modal dari luar dan melupakan pengelolaan modal sendiri secara efektif. Akibat lebih jauh adalah fungsionaris koperasi  mengoptimalkan seluruh waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk pihak yang menyertakan modalnya pada koperasi. Pengembangan koperasi sendiri  ditangguhkan dan beralih kepada pengembangan institusi atau pihak lain. Tak pelak arah pengembangan yang demikian mengakibatkan matinya jati diri koperasi. 
Pada titik ini, insan koperasi perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menerima godaan modal kerja yang datang dari luar. Prinsipnya, jika modal sendiri dapat melayani variasi kebutuhan anggota, maka itu pertanda bahwa koperasi (kredit) mampu membangun kemandirian sebagai jati dirinya secara berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar