Minggu, 04 September 2011

Empat Belas Maret yang Kelabu

Hari itu, 14 Maret 1996. Pagi sekali aku bangun, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Semua penghuni masih terlelap dalam buana mimpi, cuma satu dua kokokan ayam tetangga menghiburku di pagi yang kelabu itu.

Sebetulnya biasa saja. Tapi aku gelisah dan frustrasi menghadapi realitas sebagai mahasiswa STFK Ledalero. Fakultas kebanggaan seluruh masyarakat cendekiawan Flores. Di sana ada persemaian bermutu bagi orang-orang pilihan untuk menjadi pekerja kebun anggur Tuhan. Namun ada juga calon-calon awam yang berkualitas secara moral, iman, intelektual dan kepribadian.

Aku memasuki ruangan kamar kost sepi pagi itu, setelah membersihkan diri. Aku bingung mulai dari mana. Aku lesu dan lemah tiada berdaya. Aku bimbang dan ragu. Namun demikian, aku masih memiliki sisa tenaga. Dengan sedikit tenaga, aku merobek secarik kertas putih, mengambil sebatang bolpoin kaca Rp100 dan mulailah menulis perasaan hatiku.

“ … betapa sulit menggarapi suatu pemikiran yang runut salah seorang pemikir ulung dan besar. Jalan penalaran intlektualnya tak pernah ada batasnya. Beliau berbicara lepas tanpa tirai yang bisa menghalanginya. Ia bebas berjalan sesuai oanggilan kebenaran nuraninya. Ide-idenya bagaikan ada kaki yang bebas bergerak ke mana saja.

Dialah Soedjatmoko sang cendekiawan brilian yang punya komitmen ekstra pada nilai-nilai kemanusiaan dalam derap gerak laju pembangunan. Saya sendiri heran, mengapa aku yang malas dan terbatas dalam petualangan intelektual, berinterese penuh padanya. Sudah dapat dibayangkan, hamper dua tahun, aku belum mampu menyelesaikan skripsiku dengan thema “ HAM dalam Pembangunan menurut Soedjatmoko”.

Apakah ini suatu kegagalan? Kebodohan? Atau sebuah dapur emas yang menguji pengalaman intelekku. Aku sendiri tak tahu. Agak pasti, aku mulai frustasi dan putus asa, kehilangan gairah dan kerap berpikir, aku sulit merampungkan skripsiku ini!

Tuhan … mungkinkah Engkau membiarkan diriku berjalan sendirian dalam kegagalan, kekelaman dan kepekatan cara berpikirku. Tuhan … masih adakah kesempatan bagiku untuk membaharui diri, meretas cita-cita suramku! Hari demi hari, aku lalui tanpa karya berarti. Sebagian besar waktuku, kugunakan untuk tidur dan bersenang. Tiada doa dan kerja. Masih pantaskah aku ciptaan Sang Khalik???

Rupanya diriku terhempas kompleksitas prefeksionis diri. Aku terbuang ke samudera berpikir keliru bahwa dunia ini cuma berputar balik kembali ke asalnya semula …!”


Wisma Thomas Morus (Wisthom) Wairpelit-Maumere

Tidak ada komentar:

Posting Komentar