Minggu, 05 Juni 2011

Cita-Cita di Atas 40 Tahun

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Sembilan belas Juli 2008, aku memasuki usia 41 tahun. Aku dilahirkan di sebuah dusun kecil terpencil, Dangakapa-Rawe-Boawae tanggal 19 Juli 1967. Aku besar dan sekolah di dusun kecil itu sampai tamat Sekolah Dasar Inpres Rawe tahun 1980. Aku sekolah di SD tahun 1975 – 1979/1980.

1980, aku coba merantau ke Ibu Kota Kecamatan Boawae untuk melanjutkan sekolah di SMPK Bersubsidi Kotagoa Boawae. Tiga tahun saya lalui perjalanan pendidikan di sana terhitung sejak tahun 1980/1981 s/d 1982/1983. 1983 merupakan tahun pendidikan paling krusial di dalam hidupku. Orangtuaku dan orang tua angkatku menginginkan aku disekolahkan di SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Alasannya sederhana. Sekolah 3 tahun, tamat menjadi guru dan cepat diangkat jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) agar bisa membiayai adik-adik. Saat itu memang tamat SPG bisa saja langsung diangkat menjadi PNS.

PNS masih menjadi primadona para orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya di tingkat atas seperti SPG. Tidak semua anak mampu mengenyam pendidikan setingkat itu. Apalagi anak dusun seperti saya. Namun keinginan orang tua tidak mendapat tanggapan positip bagi diriku pribadi. Aku ingin sekolah di seminari untuk menjadi Imam Katolik.

Muncul perdebatan hebat. Orang tua yang kurang pendidikan mengikuti kemauan orang tua angkat yang kebetulan semuanya guru. Mengapa saya ada orangtua angkat? Awalnya saya tidak tahu dari mana. Akan tetapi tahun 1977, ketika saya duduk di kelas III SD, salah seorang isteri kepala sekolah kami mengambil cuti melahirkan selama 3 bulan. Praktisnya sang kepala sekolah sendirian maka ia mencari anak-anak sekolah yang agak pintar dan baik untuk membantu dia selama proses cuti isterinya yang kemudian menjadi Ibu angkatku. Seleksi punya seleksi, terpilihlah saya dan seorang teman juga laki-laki. Hari-hari kami lalui dengan memasak, cuci, membersihkan rumah, menimba air (cukup jauh kurang lebih 3 km), mencari kayu bakar dan lain sebagainya.

Saat itu aku mulai kenal aneka kegiatan rumah tangga seperti disebutkan di atas. Sebelumnya kosong melompong. Sebab aku adalah anak tunggal laki-laki yang selalu dilayani dan dimanjakan untuk tidak melakukan hal-hal rumah tangga apalagi pekerjaan berat seperti timba air dan cari kayu bakar. Anak laki-laki sebagai warisan dan kebanggaan keluarga. Sekedar untuk diketahui, aku sulung dari 7 bersaudara. Laki-laki; saya dan adik bungsu. Kelima saudaraku semua perempuan. Dari kelima saudara itu, satunya meninggal dunia pada tahun 1986 diusianya yang ke-10 duduk di kelas III Sekolah Dasar.

Dalam perjalanan, temanku Rafael Rajo lari dari rumah sang kepala sekolah. Ia tidak tahan dengan semua tetek bengek pekerjaan rumah tangga yang semakin berat bagi anak seusia kelas III SD. Aku coba bertahan seorang diri. Tiga bulan berlalu, isteri sang kepala sekolah pun datang. Aku kembali ke rumah orang tua. Namun kenyataan berkata lain. Sang isteri kepala sekolah menginginkan aku untuk tinggal bersama mereka. Aku dipanggil kembali dari kenyamanan orang tuaku. Herannya aku tidak berkebratan pada hal hidup lebih enak di rumah orang tua yang semuanya dilayani bak raja. Hari demi hari aku coba menjalani kehidupan seperti anak-anak lainnya. Bebanku makin bertambah lantaran aku harus melayani dan mengayomi kedua adikku yang masih kecil (Gusti dan Geni).

Gusti berumur 3 tahun dan Geni baru 3 bulan. Ada sih penderitaan namun lebih banyak enaknya. Sakitnya adalah ketika sudah berusaha dengan susah payah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku masih terlambat ke sekolah. Guru piket tidak pandang bulu. Sebilah bambu terus menghiasi betisku setiap pagi apabila saya terlambat masuk sekolah yang jaraknya tidak seberapa jauh dari rumah (15 m). Sakitnya lagi, Ibu angkatku hanya menjelaskan bahwa saya terlambat bangun pagi pada hal pada usiaku 10 tahun, bangun pagi 04.30 sudah terlalu pagi seandainya aku tinggal di rumah orang tua kandungku.

Di rumah orangtuaku, aku selalu dilayani dengan baik oleh ibu kandungku dan bibi-bibiku. Sekali lagi herannya aku bisa bertahan. Aku tinggal sampai menamatkan SD. Luar biasa. Ini keajaiban Tuhan. Keluarga ini menempaku untuk mengarungi proses perjalanan hidupku selanjutnya. Dari mereka, aku mulai kenal sekolah lanjutan tingkat atas dari hanya Sekolah Dasar. Mereka jugalah yang mendorong orang tua kandungku untuk menyekolahkan aku terus melanjutkan ke tingkat lebih atasnya. Aku sendiri tidak tahu... mereka suami/isteri dan disaksikan anak-anak mengangkatku menjadi anak sulung mereka, kakak sulung dari Gusti dan Geni.

Perdebatan tentang sekolah lanjutan atas makin kritis. Aku tetap pada pendirian. Aku coba menghubungi berbagai pihak terutama pastor paroki dan pastor pembantu agar aku bisa ke seminari (tempat persemaian khusus untuk menjadi Imam). Jalan Tuhan. Orangtua dan bapa-mama angkatku menyerah dan aku ke seminari. Seminari Menengah Atas Santu Johanes Berchmans Toda-Belu Mataloko namanya. Dari SMPK Kotagoa, 9 yang ikut testing hanya kami 4 orang yang lolos test. Ada sebersit kegembiraan dan kebanggaan. Tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan di seminari walaupun semua orang berebutan untuk pergi ke sana. Peserta seleksi sendiri pada angkatan kami (tahun 1983/1984) sebanyak 150 anak dan dinyatakan lulus hanyalah 75 anak. Aku termasuk di dalamnya.

Perjalananku ke seminari tidaklah mudah. Saat-saat akhir mau masuk seminari, aku sakit selama 1 bulan penuh. Aku risau dan kecewa sementara kedua orang tua ‘gandaku’ tertawa kemenangan. Cita-cita awal mereka pasti berhasil karena aturan di seminari super ketat dengan kedisiplinan. Terlambat satu bulan berarti dengan sendirinya gugur. Namun Tuhan punya maksud lain. Aku dengan penuh percaya diri meski masih dalam keadaan sakit tetap berkeinginan ke seminari. Mereka katakan tidak mungkin seminari mau terima anak yang terlambat apalagi bukan 1-2 hari tetapi 1 bulan memang. Suara hatiku sudah bulat. Ke seminari dulu jikalau memang tidak diterima lagi, aku baru beralih ke sekolah lain. Kedua bapakku (bapak kandung: Nikolaus Meo Bhelo & bapak angkat: Emanuel Buku Due) menghantarku ke seminari. Oh.. ya aku hampir lupa memperkenalkan mereka. Ibu kandungku: Yuliana Saga Lea dan Ibu angkatku: Theresia Sada Bupu (alm). Ingat orangtua kandungku semuanya petani sedangkan orangtua angkatku PNS sebagai guru SD.

Kami naik bis di Boawae menuju Mataloko. Kira-kira jam 01.00 siang. Bis waktu itu sangat sulit. Harus tunggu bis dari Ende menuju Bajawa. Syukur-syukur dapat bis atau trek (bis kayu). Tiba di Mataloko, kami diterima pater rektor seminari. Seminari menerapkan dua kepala yakni kepala asrama dinamakan rektor dan kepala sekolah. Rektor waktu itu, pastor Wilem Antas, SVD. Orangnya baik dan rendah hati. Kami diantar ke ruangannya dan hidangkan kami minuman ala Eropa. Setelah basa-basi, kami langsung ke tujuan awal. Pastor yang rendah hati mengatakan, ‘Kami dengan gembira menyambut anda (Kosmas) untuk bergabung menjadi keluarga besar seminari’. Aku bangga dan terharu sampai menitikkan air mata. Ini benar-benar keajaiban. Tuhan telah melakukan sesuatu terhadap diriku yang banyak kelemahan. Orang tuaku sebaliknya terutama bapak angkatku yang telah terlanjur melamar ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Ndao Ende.

Sejak saat itu, aku tergabung di persemaian seminari dengan pendidikan yang disiplin. Empat tahun aku lalui pendidikan seminari dengan baik meski pada tahun 1986, aku hampir memutuskan menarik diri dari seminari gara-gara adik perempuan no.2 meninggal dunia dan keluarga tidak mengabarkan kepadaku sampai acara penguburan selesai. Untung ada kakak sepupuku yang buat radiogram. Kebetulan para karyawati seminari mendengarnya dan memberitahukan kepadaku. Aku pulang kampung dan berhasrat untuk tidak kembali lagi ke seminari. Namun bapa-mama gandaku mendorongku untuk kembali karena kini mereka merasa bangga, ada anak di seminari. Anak sekolah di seminari memiliki status sosial tersendiri di tengah masyarakat. Aku kembali ke sana.

Tahun demi tahun aku lewati taman pendidikan ini dengan baik meski satu demi satu teman-temanku ada meninggalkannya lantaran dicedok (dikeluarkan dengan berbagai alasan) ataupun menarik diri secara bebas. Selesai tamat SMA, aku lanjutkan ke pendidikan tinggi dan sesungguhnya memilih Ordo Carmelit Di Batu Malang. Namun ada sesuatu hal maka aku memilih SVD (Societas Verbi Devini: Serikat Sabda Allah) di Ledalero-Maumere.

Sebelum ke Maumere, kami harus menempuh pendidikan persiapan di Novisiat Nenuk-Atambua-Kupang. Satu tahun, aku disana dan diputuskan layak dilanjutkan ke Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero-Maumere. Aku lewati kaul demi kaul (ikrar setia: kemurnian, kemiskinan dan ketaatan dalam SVD) sampai kaul ke-5. Tinggal selangkah lagi mau kaul kekal. Tahun ini menjadi tahun-tahun pertimbangan (discernment) apakah aku bisa menapak tangga imamat suci. Aku tidak mampu dan memutuskan meninggalkan lembaga ini.

Tahun 1995/1996, aku meninggalkan lembaga seminari tanpa ijazah. Aku tetap menyandang ijazah SMA. Bayangkan kurang lebih kuliah 5 tahun, saya masih berijazah SMA. Untungnya lembaga perguruan tinggi masih memberikan kesempatan para out-putnya untuk menyelesaikan studi sampai selesai S1 (S.Fil: Sarjana Filsafat). Tahun 1996, tanpa selembar ijazah PT (Perguruan Tinggi), aku melancong pertama kali ke pulau Jawa. Tepatnya di Jalan Villa Kali Judan Surabaya. Aku bekerja di sana 2 minggu lalu ke Malang (Jalan Ikan Paus) juga coba mengadu nasib di perusahaan cubin selama 2 minggu. Ingat kampung dan menyelesaikan sekolah di Perguruan Tinggi, aku putuskan untuk kembali ke Flores.

Tahun 1997, aku mulai serius menggarap skripsi sebagai salah satu persyaratan penting dan utama untuk menyandang gelar S.Fil. Tahun itu juga saya ujian dengan nilai A yang dibimbing dan diuji oleh Pastor Dr. Leo Kleden dan Pastor Drs. Ansel Dore Dae, MA. Rupanya aku belum mujur. Tahun berikutnya, 1998 akhirnya aku naik tangga gelar sarjana filsafat setelah menempuh pendidikan yang panjang dan hampir gagal. Namun seperti kata pepatah bijak mengatakan,’ Apakah bencana itu awal sebuah malapetaka atau awal keberuntungan. Kita tidak tahu’.

Betul, aku gagal wisuda tahun 1997 tetapi tanpa kuduga, saya dilamar untuk mulai menekuni dunia kerja nyata. Awalnya aku ingin dipekerjakan sebagai dosen di STPM (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat) Santa Ursula Ende berkat kebaikan kakak kelasku di Ledalero dan kini menjadi manajerku: Drs. Mikhael H. Jawa. Mengapa gelar berbeda. Wisuda sebelum tahun 1996 menyandang gelar Drs sedangkan sesudahnya S. Fil sesuai standarisasi pemerintah RI. Namun rupanya nasib berkata lain. Berkat negosiasi Bapak Moses Mogo, BcSW mantan direkturku sebelumnya, aku bekerja di BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah)NTT bagian Barat.

Persisnya Mei 1997, aku bergabung dengan lembaga pemberdayaan akar rumput di bidang koperasi kredit (credit union). Awalnya sebagai sekretaris eksekutif dan kini menjabat jabatan menterengnya Kabid: Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusi (SDM). Jabatan boleh tinggi tetapi keahlian masih rendah. Saya sadari betul. Belum banyak hal aku lakukan sebagai kepala bidang. Ada beberapa program belum mencapai sukses besar. Terutama program Microfinance kerjasama dengan ACCU-Bangkok yang pernah mengantar diriku ke Thailand-Bangkok tanggal 21-27 Februari 2008.

Akan tetapi kepercayaan untuk mengembangkan SDM pribadi terus diberikan bosku. Kini saat menyelesaikan tulisan ini, kami berempat sebenarnya berlima (Kristoforus Tere, Hendrikus Tewa, Fransiskus X. Lay dan Asis Parera: tidak bisa lanjut karena sakit) sedang dibimbing secara khusus untuk menjadi Tim Auditor Accces-Plus yang berstandar internasiona CGAP. Kami dibimbing tenaga ahli (expert): Ibu Theresia Multi dan Josephin Jakin dari MICRA-Jakarta. Satu minggu pembekalan teori di Swisscontact-Ende dan kini sedang praktek di Kopdit Sangosay Bajawa sebagai kopdit terbesar di Puskopdit Bekatigade Ende-Ngada untuk Kabupaten Ende, Ngada dan Nagekeo dan kembali ke Ende selama satu minggu lagi untuk proses pembuatan laporan final. Kopdit Sangosay kini beraset 50 M dengan 7,035 anggota.

Rasanya indah juga lantaran kami orang-orang pilihan. Ada pertanyaan dalam hati kecilku; apakah aku bisa menjadi tenaga ahli seperti mereka? Apalagi ada sentilan dari salah seorang pembimbingku Ibu Theresa... “Kosmas.. pelajari baik-baik ... kamu nanti bisa menjadi tenaga ahli acces-plus (auditor) bertaraf internasional. Kamu bisa menjadi konsultan seperti saya yang dibayar cukup tinggi. Saya mulai belajar audit tahun 1992. Tahun 1994, saya sudah dikontrak untuk audit perusahaan luar negeri dengan bayaran $1000 per hari. Kosmas... kalikan saja dengan Rp. 15,000 waktu itu selama 40 hari.”

Aku hanya termangu dan mengangguk. Aku tidak tahu, anggukan setuju atau hanya bengong rasa kagum. Memang ... sekarang ini saja, beliau hanya bimbing kami tiga minggu dibayar cukup fenomenal diluar allowance hariannya, makan-minum, transport dan penginapan. Memang luar biasa... muncul pertanyaan dalam hati kecilku ... mau jadi tenaga expert di bidang koperasi kredit (manajemen dan keuangan sebagai tenaga auditor ataupun konsultan) atau menulis buku.

Sekarang memasuki usia 41 tahun berarti lagi 14 tahun mengabdi di lembaga ini. Aturan di lembaga ini harus pensiun 55 tahun. Aku swasta murni. Tidak bekerja berarti tidak dapat uang. Bagaimana aku bisa menghidupi isteriku tercinta dan keluarga.

Ada banyak cita-cita diatas 40 tahun. Orang katakan, ‘Hidup dimulai pada usia di atas 40 tahun’. Kini yang aku rasakan. Aku mau pilih yang mana setelah memasuki usia 41 tahun. Itulah namanya : Cita-Citaku di atas 40 tahun.

Hotel Bintang Wisata-Bajawa
31 Oktober 2008

1 komentar:

  1. saya terharu sekali membacanya Kak, ingat masih kecil kami selalu bermain bersama Kak Kosmas :)

    BalasHapus