Jumat, 04 Januari 2013

Geng Waju & Keresahan Masyarakat Kota Bajawa


Romo Daniel Aka, Pr, Ketua Yasukda dan  Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Ende dalam Opini Flores Pos, 10 November 2012 dengan judul “Geng dan Sadisme di Bajawa”, menulis, “Dalam beberapa pekan dan hari-hari terakhir ini suasana kota Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada terasa mencekam dan menakutkan. Isu tentang aktivitas kelompok geng dan orang-orang tertentu yang memanfaatkan isu geng sangat mengganggu keamanan, ketenangan dan kedamaian hidup sehari-hari. Mereka melakukan porno aksi, tindakan seks bebas, mengganggu ketenangan hidup keluarga dan komunitas biara, mencuri uang dan harta orang tua di rumah, pemborosan dengan minum mabuk, kebisingan dengan ngebut-ngebutan di jalan dll”.
Lebih lanjut Romo Dan, panggilan manisnya, menulis bahwa para orang tua di rumah menjadi cemas dan kelebihan bersikap tegas dank eras mengawasi dan bahkan mempersalahkan anak-anaknya pada hal anak belum/tidak terlibat dalam perilaku buruk itu. Sebaliknya ada segelintir orang tua yang kelebihan membela anaknya sekalipun ada kenyataan terlibat berbuat kesalahan. Demikian pula guru-guru di sekolah mendapat sorotan, dipertanyakan peran pendidikan lalu anak-anak diinterogasi.
Sementara sikap masyarakat umumnya tidak menghiraukan kenyataan dimaksud sebab mereka beralasan bahwa yang terlibat bukan anaknya atau keluarga dekatnya. Situasi acuh tak acuh ini dimanfaatkan secara buruk oleh pihak yang licik mengatur strategi kejahatan untuk semakin mengacaukan suasana kota Bajawa yang dikenal damai, santun, teduh dan religius itu.
Menurut Romo Dan, ada beberapa faktor penyebab (walau tanpa survey) kalau tidak mau menyebutnya sebagai akar penyebab masalah:
Pertama: Sikap pembiaran atau permisif terhadap masalah atau persoalan yang terjadi. Banyak peristiwa atau kejadian dalam hidup dan dalam aktivitas pembangunan yang dibiarkan berjalan sekalipun tidak disetujui mayoritas masyarakat. Teguran dan awasan untuk proses penyelesaian yang baik dan benar tidak dihiraukan. Seperti pembangunan rumah ibadat yang tidak menghargai kultur budaya dan religiositas masyarakat setempat. Sikap pembiaran dan permisif juga dialami oleh keramahtamaan masyarakat kota Bajawa yang mau menyewa rumah mereka bagi para pendatang. Hal itu sesungguhnya baik karena ada pemasukan keuangan bagi keluarga tetapi tidak harus mengorbankan dan merugikan kehidupan diri dan masyarakat umum dari sisi yang lain.
Kedua: Kebijakan dan keputusan yang kurang bermutu mengakibatkan pelaksanaannya juga kurang bermutu. Semua orang mengerti bahwa fokus pelayanan pelbagai pembangunan untuk rakyat. Seperti fokus pelayanan pendidikan dan sekolah adalah anak-anak peserta didik di kelas. Oleh karena itu pemerataan dan keadilan tanpa dikotomi harus sungguh-sungguh dihayati dan diwujudkan. 
Ketiga: Masyarakat kehilangan banyak tokoh contoh dan figur pemimpin yang patut diteladani. Dikeluhkan bahwa kondisi kepemimpinan kita mengalami krisis kewibawaan.
Keempat: Kondisi masyarakat yang berkembang oleh perubahan zaman modern dan arus globalisasi. Kenyataan ini sangat Nampak pada kemajuan komunikasi dan transportasi serta praktek pasar bebas. Kita tidak bisa menghalangi dinamika dan mobilitas perpindahan penduduk tetapi mestinya ada ketegasan dan kearifan untuk seleksi dan kontrol kelayakan dan legalitas masuknya dan domisili penduduk supaya tidak terkesan membludak dan sumpek, berdesak-desakan pada sebuah rumah sewa dengan banyak anggota yang berakibat pada gangguan kesehatan diri dan lingkungan serta penyakit sosial lainnya seperti perjudian, kemabukan, perselingkuhan, dll.
Merujuk aras pemikiran Romo Dan di atas menegaskan bahwa Geng Waju dan kelompok geng dengan nama apapun dalam bentuk apapun apalagi yang disertai dengan tindakan kekerasan ataupun sadisme tentu telah melabrak secara telanjang serta melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Geng Waju yang meresahkan dan menakutkan Masyarakat Kota Bajawa beberapa waktu lalu tidak dapat dibenarkan secara norma sosial, norma agama dan norma hukum ketatanegaraan Indonesia.
Norma sosial masyarakat apapun di Indonesia tidak mentolerir berbagai aksi kekerasan apalagi hal itu dilakukan oleh sekelompok orang (Geng Waju) yang kebanyakan anak-anak masih dibawah umur (usia SLT A dan SLTP). Apalagi tindakan mereka mengarah pada kekerasan, ngebut-ngebutan di jalan raya yang dapat menghilangkan nyawa mereka sendiri maupun orang lain, seks bebas yang meruntuhkan tembok kehidupan sosial yang sangat mengagungkan tata krama pertunanganan dan pernikahan. Seks bebas telah merusakkan masa depan anak-anak sebagai komponen masyarakat yang mengutamakan “keperjakaan dan keperawanan” sebelum memasuki jenjang perkawinan adat dan agama.
Dari sisi norma sosial saja, masyarakat tidak mentolerir tindakan apa pun yang dilakukan oleh Kelompok Geng Waju apalagi kalau dipandang dari perspektif agama. Agama apapun di dunia terutama yang diimani umat (masyarkat) Kota Bajawa tidak memberikan toleransi seincipun terhadap berbagai aktivitas Geng Waju. Oleh karena itu, tindakan mereka meresahkan dan menakutkan. Masyarakat Bajawa yang dikenal sangat religius dengan tingkat reliogiositas yang tinggi serta sangat menghargai keanekaragaman iman dan kepercayaan merasa sangat terusik dan menumbuhkan sikap saling curiga. Sikap saling curiga makin mencuat tentu akan muncul berbagai aksi yang tidak diinginkan. Hanya bersyukur bahwa masyarakat Bajawa tidak menyelesaikan masalah dengan mendatangkan masalah baru. Kelompok Geng Waju tidak dapat dibenarkan dari norma agama.
Dari sisi hukum baik perdata apalagi pidana sangat keras melawan tindakan Geng Waju. Apabila pemerintah cukup konsisten dan berani menerapkan aturan (hukum) maka tindakan para anggota Geng Waju telah melanggar pasal “perbuatan tidak menyenangkan” dengan hukuman paling minimal lima (5) tahun penjara apalagi perbuatan mereka telah meresahkan dan menakutkan masyarakat publik (masyarakat Kota Bajawa dan sekitarnya).
Untuk itu, penulis menawarkan beberapa solusi:
Pertama: Masyarakat tidak acuh tak acuh terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Pendidikan budi pakerti harusnya dimulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga dan masyarakat hendaknya melakukan kontrol sosial yang edukatif dan persuasif apabila baru muncul gejala tindakan-tindakan yang melanggar norma sosial yang mengganggu rasa aman serta meresahkan. Komitmen bersama akan memperkuat terlaksananya norma sosial yang telah diwariskan dan dijalankan selama ini. Kota Bajawa hanya sebagian kecil norma sosial mulai kehilangan rohnya maka rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati dalam keanekaragaman perlu dihidupi dan dikritisi terus menerus.
Kedua: Umat dan para pemimpin agama apapun hendaknya terus memotivasi dan menghidupi nilai-nilai keagamaan yang mengutamakan kebersamaan, kasih, perdamaian dan anti kekerasan. Nilai-nilai keagamaan itu dihidupi melalui contoh tauladan para pemimpinnya. Hindari sikap saling curiga satu sama lain. Hendaknya keterbukaan yang positif dilandasi sikap saling percaya perlu didorong dan diimplementasi semua “jemaat” tanpa melihat agama yang dianutnya. Pendirian rumah ibadat hendaknya memperhatikan kultur budaya, agama jemaat setempat serta tidak membenturkan atau melanggar norma hukum nasional.
Ketiga: Penerapan hukum positif harus tegas tanpa memandang siapa pun yang telah melakukan pelanggaran hukum yang didahului dengan desiminasi (sosialisasi) hukum yang tepat kepada seluruh komponen masyarakat. Tentu desiminasi atau sosiliasi hukum atau perundang-undangan disertai komitmen keteladanan para pihak terutama para elit di daerah ini  (Bajawa) untuk melaksanakan hukum secara bertanggungjawab dan cerdas. Hindarilah sikap pilih kasih, bermain mata, sogokan uang atau kong kali kong untuk keuntungan dan kepentingan pribadi dan kelompok. Semua tindakan dan kebijakan harus mempertimbangkan dampaknya untuk orang banyak dan demi kebaikan bersama.
Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa Geng Waju adalah persoalan seluruh masyarakat sebab Geng Waju dengan sejumlah aktivitas yang meresahkan itu telah melabrak secara nyata norma sosial, agama dan hukum. Untuk itu perlu solusi yang tidak saja menghukum tetapi dilakukan secara edukatif dan cerdas agar mereka (para remaja) kembali pada jalan yang benar sesuai nilai atau norma sosial, agama atau pun hukum yang berlaku di negeri ini teristimewa yang dihidupi di Kota Bajawa  dalam menghadapi dunia yang semakin bebas, terus berubah dan modern.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar