Kamis, 28 Mei 2009

Ada Apa dengan Tambang Flores

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Menarik untuk disimak apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini dengan pulau Flores, pulau bunga. Saat ini, para pemimpin dan DPRD bergerilia dengan waktu berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakatnya melalui kegiatan penambangan. Secara kasat mata, pemerintah dan wakil rakyat daerah Flores dari Kabupaten Lembata hingga Manggarai Barat seakan sedang membangun sebuah tesis yang logis dan sahih bahwa apabila mau hidup sejahtera, masyarakat di daerah ini harus menyerahkan berbagai harta karunnya termasuk harta benda yang paling asasi.

Salah satu contoh nyata yang lagi ngetop dipertontonkan saat ini adalah tanah, batu dan pasir yang telah menjadi tempat pijakan suci sebagai sumber hidup masyarakat secara turun-temurun dieksplorasi sedemikian rupa demi sebuah kesejahteraan yang boleh dikatakan masih menyimpan sejuta tanda tanya besar. Mungkin sebuah tanda tanya yang tidak akan pernah ada jawabannya.

Untuk mencapai maksud itu, para pemimpin dan wakil rakyat seolah-olah tak pernah bergeming atau memandang sebelah mata terhadap berbagai aksi penolakan keras yang dilakukan oleh masyarakat yang telah menghantar mereka ke singgasana tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi orang pertama yang seharusnya menikmati hasil penambangan. Menjadi tanda tanya besar jikalau nenek moyang kita dahulu melakukan berbagai transaksi dengan pemerintah atau pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bersama dari barang yang kecil sampai hal besar seperti penyerahan tanah tanpa meterai, tanda tangan dan apapun namanya namun tidak selalu menimbulkan konflik dikemudian hari.

Pertanyaan kita: apakah mereka terlalu bodoh untuk memutarbalikan fakta atau apa yang melandasinya. Sedangkan kita saat ini dibekali dengan berbagai alat tehnologi canggih namun senantiasa menimbulkan berbagai gejolak dalam sebuah transaksi yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik. Lebih riskan lagi konflik itu terjadi selalu berhadapan langsung rakyat dengan pemerintah atau para wakilnya di DPRD yang ia pilih dan menaruh harapan besar untuk mensejahterakan kualitas kehidupannya meski pemerintah atau wakilnya terkadang kurang berpihak pada kebutuhan dasarnya.

Sungguh suatu keanehan namun nyata. Menyedihkan bahwa setiap transaksi atau kontrak kerja menyangkut penambangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat namun rakyat senantiasa melakukan perlawanan. Apa yang salah dalam transaksi ini?

Koran harian Flores Pos dalam sepekan ini juga memuat secara beruntun tindakan para pengusaha tambang di berbagai daerah di Flores dan penolakan gencar dari masyarakat. Penolakan masyarakat di satu sisi ada benarnya juga. Termasuk para religius ikut memberikan atensi yang serius dan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan bumi yang pada akhirnya menyelamatkan manusia dari berbagai bahaya bencana akibat alam tidak lagi bersahabat dengan manusia (bdk. Syair lagu Ebiet G. Ade).

Keterlibatan komunitas religius disertai tinjauan kritis dengan mendatangkan para ahli lingkungan dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh pengalaman nyata mengalami bencana gempa bumi 12 Desember 1992 dan bencana alam lain yang telah menelan korban nyawa manusia yang tidak sedikit jumlahnya dan seluruh harta benda.

Tindakan keperihatinan para religius terlihat cukup unik. Mereka membantu masyarakat menyelamatkan sejengkal tanah, satu biji batu atau pasir miliknya bukan dengan dorongan emosional belaka namun senantiasa berpedoman pada berbagai kajian ilmiah. Tentang penyelamatan tanah, batu dan pasir milik masyarakat atau hak ulayat ini diakui secara jelas dalam UU Agraria nomor 5 Tahun 1960 dan UU Otonomi Daerah nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa apabila pemerintah atau pihak manapun ingin mengambil sejengkal tanah, satu biji batu ataupun pasir harus seijin pemiliknya baik perorangan maupun ulayat.

Kita perlu memberikan apresiasi positip terhadap perjuangan kaum religius sebagai realisasi konkret panggilan profetis mereka. ‘Kita salut. Kaum religius kita tajam membaca tanda-tanda zaman. Mereka merasa terpanggil untuk menjalankan peran profetisnya. Melalui spiritualitas dan kharismanya, mereka memiliki komitmen pada rekonsiliasi dan pemulihan keselarasan.

Hati mereka terbakar oleh etika kesejahteraan umum dan etika solidaritas terutama terhadap kaum yang menderita dan yang membutuhkan perhatian. Mereka memiliki jejaring kerja dan membangun komunikasi untuk menyampaikan pesan dan peringatan akan ancaman kerusakan lingkungan hidup yang pada gilirannya memelaratkan masyarakat (Bentara, FP, 11 November 2008). Harapan kita bahwa mereka bersama masyarakat tetap bahu-membahu menyelamatkan bumi dengan cara dan strategi yang manusiawi dan persuasif.

Berita gembira datang dari Ende. DPRD setempat meminta penghentian sementara kegiatan penambangan di Desa Ondorea, Nangapanda. Dalam kasus ini mereka bersikap selangkah lebih maju keberpihakkannya dibandingkan dengan para wakil rakyat di kabupaten lainnya di daerah ini. Permintaan anggota dewan terhormat tersebut berkaitan dengan penolakan masyarakat Ondorea terhadap penambang batu hijau di daerah mereka dalam temu dialog dengan dewan pada tanggal 10 November 2008.

Juru bicara (Jubir) Masyarakat Ondorea, Kristianus Tato dan Abdul Kadir dalam temu dialog itu bersuara lantang bahwa kegiatan penambangan marmer atau sekarang disebut batu hijau di Desa Ondorea sebelumnya tidak ada sosialisasi kepada masyarakat. Lokasi yang mau dijadikan tempat penambangan juga tidak gersang sebagaimana dikatakan tetapi ada lahan garapan petani/masyarakat setempat yang selama ini menghidupi mereka. Lebih disayangkan lagi bahwa kurang lebih 200 meter dari lokasi tempat penambangan ada sumber mata air yang selama ini menjadi sumber hidup sehari-hari masyarakat. Dikhawatirkan jika terjadi penambangan, mata air tersebut akan berkurang atau kering.

Oleh karena itu, Kris meminta agar sebelum melakukan penambangan harus ada studi analisa dampak lingkungan (Amdal) (FP, 10 November 2008) dari pihak yang benar-benar kompeten dalam bidang lingkungan serta dilakukan secara objektif berdasarkan desakan nurani yang jernih. Diharapkan para peneliti Amdal dimaksud belum tergoda oleh berbagai ragam pemberian yang akan menodai wibawa dan moralitas kompetensi keilmuannya. Acapkali kita menyaksikan sudah ada studi Amdal dari pakar ini itu namun akhirnya rakyat di lokasi penambangan selalu menjadi korban.

Oleh karena itu tindakan pencegahan ataupun penolakan masyarakat Flores khususnya Desa Ondorea hendaknya disikapi secara bijaksana oleh pemerintah ataupun pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam bidang penambangan. Masyarakat juga harus terus dicerdaskan agar tidak menyerahkan sejengkal tanah, batu dan pasir serta kandungan ibu pertiwi hanya karena rayuan para pihak untuk kepentingan sesaat.

Kita juga perlu merenungkan dengan nurani jernih pernyataan Pastor Paul Budi Kleden, SVD ketika memberikan seminar pencerahan pertambangan dari sisi teologis di Detusoko, tanggal 6-9 November 2008. Dihadapan para peserta seminar yang diselenggarakan JPIC SVD Ende dan JPIC OFM Indonesia menyatakan bahwa jika manusia diciptakan pada hari ke-6 maka manusia sesungguhnya adalah pendatang baru dalam seluruh ciptaan. Artinya sudah ada ciptaan lain yang mendahuluinya.

Maka sebagai pendatang baru, manusia mestinya menghargai ciptaan lain yang sudah ada sebelumnya. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia tidak bisa secara arogan menempatkan diri sebagai penguasa ciptaan yang lain. Apalagi pemilik modal khususnya perusahaan-perusahaan tambang yang memakai argumen ‘rahmat’ dibalik kekayaan alam untuk menyalurkan kelobaan dan ketamakannya. Gagasan penciptaan alam secara bertahap melukiskan sebuah proses menuju kesempurnaan.

Proses ini mestinya menjadi ilham dalam tahap pemanfaatan alam yang hendaknya memperhatikan dimensi waktu dan lintasan generasi. Pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan dampak jangka panjang yang mencakup generasi yang akan datang (FP, 11 November 2008). Segala sesuatu butuh tahapan, butuh proses, butuh kerja cerdas dan perjuangan termasuk upaya mencapai kesejahateraan. Tidak ada jalan pintas menuju kemakmuran. Tidak ada operasi cesar menuju kebahagiaan.

Hal yang menjadi inti persoalan dalam tulisan ini adalah mengapa pemerintah kita dalam era otonomi daerah begitu gencar mencari para pemodal untuk menambang (operasi cesar) di perut bumi Flores demi meningkatkan PAD yang juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya? Sementara itu masyarakat yang mau disejahterakan dengan tambang kog begitu gencar melakukan perlawanan dan penolakan? Saya sendiri tidak tahu pasti.

Akan tetapi dari berbagai fenomena yang ditampilkan baik melalui media massa atau pun diskusi non formal dengan sebagian masyarakat di sekitar lokasi tambang bisa disimpulkan sementara bahwa kemungkinan penambangan sebagai salah satu alternatif pendongkrak PAD demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukanlah kebutuhan riil (real-needs) masyarakat. Atau memang kegiatan penambangan tidak mendatangkan kesejahteraan tetapi malah malapetaka. Proses penambangan dalam berbagai bentuk sering menjadi awal keberuntungan hanya orang-orang tertentu saja tetapi bukan untuk masyarakat seluruhnya.

Kalau hal ini yang terjadi maka sampai kapan pun masyarakat tidak akan menyerahkan sejengkal tanah, batu dan sebagainya meski telah dilakukan berbagai sosialisasi dan riset Amdal paling akurat sekalipun. Masyarakat begitu kerap tertipu dengan berbagai lipstik pembangunan yang mengatasnamai kesejahteraan. Untuk itu para pemimpin di daerah Flores perlu melakukan inovasi dan kreativitas dalam mencari alternatif lain selain penambangan atau paling tidak melakukan pembangunan yang ramah lingkungan. Kita perlu belajar dari gubernur Gorontalo, Fadel Muhamad yang dengan keberanian melanggar juklak-juknis pusat menciptakan komoditas jagung sebagai unggulan peningkatan PAD dan peningkatan derajat masyarakatnya.

Flores memiliki banyak alternatif untuk itu. Tinggal apakah pemerintah kita berani atau tidak melakukan sesuatu yang lain selain panduan dari pemerintah pusat. Di dalam era otonomi daerah, para pemimpin daerah diberi wewenang yang sangat luas untuk melakukan inovasi sesuai kondisi dan kemampuan daerahnya. Yang penting dibicarakan dan disepakati bersama seluruh komponen yang ada di taman bunga ini agar tidak ada lagi jalan pintas dan menjadi tanggungjawab seluruh masyarkat menuju tangga kesejahteraan bersama (bonum commune).

Pernah dimuat pada HU Flores Pos, 21 November 2008. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar