Senin, 14 Agustus 2023

Berubah atau Bubar: Antisipasi Credit Union Era Milenial

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Kabid Pendampingan Puskopdit Flores Mandiri




Naomi Susan dalam bukunya, “Be Negative = Jadilah Negatif” (2007) pernah menulis, “Anda memiliki kebebasan untuk memilih. Tetapi, mengapa Anda memilih untuk tetap berada dalam keadaan yang sama setiap harinya dan tidak bergerak lebih maju selangkah demi selangkah?”

 

Sesungguhnya pada titik ini, Naomi sedang berbicara lantang tentang perubahan. Perubahan adalah harga mati bagi setiap orang dalam melakukan usaha apapun di planet bumi ini untuk suatu kehidupan yang lebih bermartabat ke depannya. Kendati demikian, aktivitas perubahan butuh perjuangan, butuh pengorbanan ekstra, sebab setiap kali mendengar kata perubahan, reaksi kebanyakan orang adalah kaget, gelisah, jengkel, marah, memberontak dan menolak. 

Dalam era kompetisi global dan disrupsi seperti saat ini, setiap bisnis (koperasi kredit) pasti berhadapan dengan persaingan dalam berbagai aspek: mulai dari kualitas anggota, kualitas produk pendidikan kritis, kualitas produk simpanan dan pinjaman, harga (besarnya bunga simpanan dan bunga pinjaman yang kompetitif) hingga pelayanan yang purna mutu dalam selimut untuk terus melakukan perubahan dan inovasi tanpa henti.

Sayangnya para pebisnis ataupun anggota koperasi kredit kerapkali memiliki resistensi terhadap perubahan yang disodorkan oleh pengurus/pengawas dan para manajer bersama pengelolanya. Sebagian anggota (orang-orang tertentu) sangat enggan untuk meninggalkan zona nyaman yang selama ini mereka cintai untuk berpindah ke suatu wilayah yang belum jelas (ketidakpastian).

Selaras dengan aras pemikiran di atas, Prof. Rhenald Kasali, Phd dalam bukunya,”Re-Code Your Change DNA: Membebaskan Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Perubahan,” (2007) mengeritik cukup tajam dengan menulis,”Banyak orang yang jujur, setia dan pintar ternyata tak menjadi apa-apa, bahkan mereka frustrasi dan berpandangan negatif terhadap segala hal. Kenapa? Karena mereka sejak awal berlindung di bawah selimut kenyamanan (comfort zone). Pada hal untuk berubah dibutuhkan keberanian untuk keluar dari selimut itu dan bergelut dengan ketidaknyamanan (danger zone). Perubahan menghantar kita untuk hidup lebih bergairah, penuh dinamika dan keberhasilan yang lebih berkualitas dan bermartabat.”

 Oleh karena itu, perubahan boleh dikatakan sebagai magnet tersendiri bagi manusia modern untuk melakukannya. Akan tetapi banyak orang enggan berubah.

Ada beberapa alasan, mengapa orang tidak mau berubah:

a.    Yang lama sudah terbukti bagus. Alasan ini disampaikan karena apa yang telah dilakukan pada masa lampau sudah terbukti bagus, lancar, mulus dan sukses. Jadi buat apa berubah? Untuk apa meninggalkan sesuatu yang sudah pasti menuju sesuatu yang belum pasti? Tidak masuk akal bukan? Selama ini tidak ada yang komplain dengan pelayanan dan produk yang kita telah tawarkan kepada anggota maupun masyarakat. Pokoknya, mengapa mau berubah dalam ketidakpastian dengan segala celotehan apologetis (argumentasi pembenaran diri) lainnya untuk tidak mau berubah.

b.   Rasa takut. Orang tidak mau berubah karena takut. Waduh, jangan-jangan. Itulah kata-kata yang selalu dilontarkan oleh orang-orang merasa takut untuk berubah. Kalau melakukan kebiasaan lama, mereka sudah mengetahui risiko dan konsekuensinya. Sedangkan perubahan membuat suatu wilayah baru yang tidak jelas dampaknya bagi mereka. Perubahan harus melibatkan mindset, mental dan fisik. Oleh karena itu, bagi sebagian besar orang merasa takut untuk beralih (passing over) meski perubahan itu menjanjikan perbaikan yang lebih dan lebih.

c.    Rasa curiga. Rasa curiga hinggap manakala terjadi perubahan, apalagi perubahan itu terjadi dalam kondisi dengan komunikasi yang kurang harmonis berbagai komponen yang ada di dalam organisasi. Perubahan bagi sebagian orang merasa ada udang di balik batu. Mereka mengingatkan bahkan mengompori rekan-rekan lainnya untuk waspada dan bertahan pada apa yang sudah ada. Akibatnya, perubahan tidak akan terjadi. Hal ini diperkuat lagi dengan naluri dasariah setiap manusia adalah mencari keamanan dan menghindari bahaya. Perubahan bagi orang-orang yang curiga dianggap sebagai bahaya sehingga dengan cara apapun harus dihindari.

James Gwee dalam bukunya,”Setiap Manajer Harus Baca Buku Ini! Tips dan kiat melakukan perubahan yang tepat & pas di tengah ketidakpastian”(2009), menyoroti sekurang-kurangnya  ada tiga tipe kelompok dalam menghadapi perubahan.

Tipe pertama menurut James Gwee dinamakan Kelompok  Gung Ho. Kelompok Gung Ho biasanya 20% dari anggota suatu bisnis atau organisasi. Gung Ho adalah orang-orang yang memiliki sikap positif dan selalu mendukung upaya perubahan. Orang-orang ini biasanya menyadari betapa pentingnya berubah untuk kemajuan. Ketika melakukan perubahan dan mengalami hambatan fisik, Kelompok Gung Ho siap berlatih secara konsisten dan disiplin sehingga lambat laun apa yang dirasa kaku menjadi lentur, yang sulit jadi mudah, yang dulunya bimbang jadi yakin, yang jelek jadi bagus. Kelompok ini berubah dan maju.

Tipe kedua dinamakan Kelompok W & S (Wait and See). Biasanya kelompok paling besar, kurang lebih 60% dari populasi sebuah organisasi atau perusahaan bisnis. Kelompok ini memilih untuk menunggu (wait) dan mengamati (see) apakah Kelompok Gung Ho sanggup melakukan perubahan atau tidak. Apabila Gung Ho gagal melakukan perubahan maka Kelompok W & S akan bilang, “Tuh, kan, saya bilang juga apa? Si Gung Ho saja gagal, apalagi kita. Untung saya tidak mencoba! Yang pintar ya saya, yang bego si Gung Ho!” Sesungguhnya orang-orang Kelompok W & S bukan menolak untuk berubah, tetapi menginginkan contoh sukses (best practice) sebagai patokan. Patokan mereka adalah 20% orang yang masuk dalam Kelompok Gung Ho.

Tipe ketiga dinamakan Kelompok Bruce Willis. Kelompok ini 20% dari populasi yang ada di dalam organisasi atau perusahaan. Bruce Willis terkenal dalam perannya pada film “The Die Hard”. Orang-orang dalam kelompok  Bruce Willis, tidak pernah mau berubah sampai kapan pun karena mereka sudah kelewat nyaman.

Untuk itu, agar organisasi (koperasi kredit)  bisa berubah maka perlu melewati proses mengelola perubahan seperti mengantisipasi perubahan, mengindentifikasi perubahan, menjual perubahan, menggalang sumber daya untuk perubahan, mendobrak zona nyaman, memberikan penghargaan, belajar dari pengalaman & tidak berhenti berubah.

 

Kopdit dan Calon Anggota Milenial

Hampir sebagian besar Koperasi Kredit atau Credit Union memasuki usia pelayanan ke-50. Menginjak usia emas. Usia sudah sangat matang dalam pergerakan pelayanan membangkitkan kemandirian yang berbela rasa berbasiskan pendidikan, inovasi dan persatuan dalam keberagaman. Koperasi Kredit atau Credit Union boleh menepuk dada sudah bisa menjadi lembaga pembiayaan alternatif masyarakat kecil, masyarakat akar rumput, masyarakat pinggiran sehingga mereka boleh “berdiri sama tinggi dan berlari sama cepat” dengan masyarakat lainnya. Ada tagline yang super optimistis salah seorang Kopdit di Flores “Terbang Lebih Tinggi” walau sendirian.

Dunia Koperasi Kredit kita memang mulai banyak melakukan pembenahan bahkan reformasi besar-besaran dalam bidang tata kelola disesuaikan dengan tuntutan regulasi terutama tuntutan perubahan lembaga keuangan atau lembaga bisnis terkini. Sistem pengelolaan manual sudah ditinggalkan dan mulai menerapkan semuanya serba sistem komputerisasi. Pengerjaan akuntansi atau pembukuan manual diganti dengan sistem atau aplikasi Sikopdit Online dengan berbagai program CubisPay yang semakin menarik anggota dan terutama bagi masyarakat luas. Sistem promosi konvensioanl dari rumah ke rumah diganti dengan media sosial atau pun mobil keliling dilengkapi dengan internet dan pelayanan di tempat, menerima serta mencetak buku anggota di tempat pelayanan. Intinya ada jaringan internet. Melalui kemampuan internet juga aplikasi Sikopdit Connect telah mengkonekkan Koperasi Kredit dengan anggotanya. Anggota bisa langsung mengecek simpanan atau kewajibannya dari mana saja ia berada, hanya berbekalkan hp android dan signal.

Berbagai perubahan atau inovasi yang dilakukan Koperasi Kredit di Flores atau Indonesia tentunya memiliki maksud mulia agar orang-orang muda sebagai generasi penerus bisa tertarik dan bersedia bergabung dengan Koperasi Kredit. Bukan rahasia lagi bahwa orang muda apalagi generasi milenial umumnya tidak suka dengan Koperasi Kredit bahkan menganggap Koperasi Kredit sebagai lembaga yang “jadul” dan ketinggalan zaman. Mereka berasumsi bahwa Koperasi Kredit adalah lembaga omong tentang simpan pinjam dan kredit macet sehingga orang-orang milenial merasa tidak perlu bergabung.

Oleh karena itu, menjadi peluang bagi Gerakan Koperasi Kredit untuk memasarkan dirinya secara best branding pada kalangan kaum muda atau kaum milenial. Kaum milenial saat ini menjadi komunitas terbesar dan belum merasa tertarik dengan Koperasi Kredit. Kita memberikan apresiasi positif kepada Koperasi Kredit yang terus melakukan perubahan yang up to date seperti pengelolaan serba online, transaksi online, promosi juga online serta ada program khusus “Credit Union goes to campus” dengan cara membuat PKS (Perjanjian Kerja Sama) bersama kampus tertentu dalam rangka pelaksanaan program “KKN Tematik”. Selama 1-2 bulan selama KKN, mahasiswa/i mempromosikan Koperasi Kredit Tertentu bahkan sampai bisa merekrut anggota baru diberi bonus berupa uang tunai dan magang di Koperasi Kredit bersangkutan.

Kita berharap agar Koperasi Kredit terus melakukan perubahan sebab yang abadi hanyalah perubahan atau judul tulisan ini “Berubah atau Bubar”. Kita berubah agar tidak bubar atau punah walau kadang perubahan itu membawa rasa sakit bagi yang mencintai “status quo”.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar