Senin, 11 Januari 2021

Saat Aku Nyaris Meregang Nyawa, Ibu Menyelamatku

Oleh Kosmas Lawa Bagho  

Senja itu membawa angin malam. Tak jauh dari tempat aku duduk, daun-daun batang pohon mangga di tempat kostku berguguran. Baru senja ini terjadi setelah empat bulan, aku menjadi penghuni baru di kost dan kota ini. 

 

Hujan, sang air mata langit baru saja turun mencium bumi. Aroma segar mewarnai pemandangan yang tak biasa itu. Empat bulan lewat, jangankan tetesan air mata langit mencium bumi, embun pun enggan ditemui. Memang kota ini terlalu padat dengan gedung pencakar langit dibarengi asap kendaraan yang hiruk pikuk, siang malam tanpa henti. Aku tetap menatap daun-daun berguguran. 

Angin menerbangkannya ke mana-mana termasuk jatuh tepat di kakiku yang sedang menatap heran kejadian senja ini. Tak lama, hujan menggerayangi tubuh bumi kota Malang, kota yang baru aku jejaki selama 17 tahun tenggelam pada dunia praktis. Lama memang, dunia akademis yang telah kutinggalkan 17 tahun lalu itu, kini muncul tepat di depan mataku.  

 

Tiga Juli 2014, aku melangkah dari kota kesibukanku, Flores sebagai pekerja pemberdayaan masyarakat akar rumput dalam bidang simpan-pinjam. Lembaga ini, aku jejaki sejak Mei 1997. Awalnya, membutuhkan perjuangan yang sangat luar biasa. Seiring perjalanan waktu, lembaga ini bangkit dan mekar dengan indahnya. Atas perjuangan dan pengorbanan banyak pihak sehingga menghantar aku ke tempat ini. Kota Malang sebagai kota yang menampung studi lanjutku ke jenjang yang lebih tinggi setelah menamatkan studi S1. Tak biasa memang. Lembaga pemberdayaan simpan-pinjam bisa menyekolahkan putra/i terbaiknya meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun jika ada kerja keras dan berkat dari Yang Maha Kuasa, yang mustahil bisa dilakukan. *** 

Di tengah lamunanku yang makin mengembara dalam ketidakpastian, aku kembali terkenang di kampung. Kampungku Rawe, Boawae, Nagekeo. Aku dilahirkan di sana tepatnya tanggal 19 Juli 1967 dari seorang ayah dan ibu petani. Menggarap lahan sendiri dengan setia untuk menghidupi kami 7 bersaudara dan kini tinggal 6 orang lantaran seorang putri pergi meninggalkan kami saat aku memasuki kelas 1 SMU. Lamunanku semakin terasa sesak ternyata hari ini adalah hari ulang tahunku. Merayakan ulang tahun di tengah keramaian kota Malang, batinku merasa sendirian. Hanya bertemankan daun-daun mangga renta yang selalu diterpa angin ke mana-mana. Hatiku berdegup keras jika mengenang kembali jejak tapak yang aku lalui hingga saat ini. Saat ini aku boleh melangkah dan melanjutkan studi ke jenjang S2. 

 Suatu kesempatan lupa tanggal dan tahunnya, aku barusan kembali dari Gereja (pusat kegiatan iman orang Katolik, red). Salah seorang nenek depan rumah kami memanggilku keras. “Nak Koma, ke sini dulu”. Orang-orang sekampungku memanggilku “Koma” mungkin mereka tidak biasa menyapa “Kosmas”. Aku mendekat. Si nenak memelukku erat sembari mengelus rambutku. Saat itu aku liburan kelas 2 SMU. Aku sudah tumbuh tinggi besar sebagaimana layaknya pemuda pada umumnya di kampung. 

Si nenek menatapku sembari bercucuran air mata berkata,”Nak Koma, sungguh luar biasa ibumu. Engkau, beberapa tahun sebelumnya waktu usiamu baru mencapai sekitar tiga bulan, engkau sakit keras. Semua orang di kampung berusaha merawatmu atas perjuangan ibu dan ayahmu serta kami semua. Sakitmu tidak berkurang malah semakin bertambah. Belum bisa ke rumah sakit. Saat itu musim hujan. Hujan turun setiap hari. 

Jangankan dokter, mentri kesehatan pun tak mungkin. Belum lagi apabila ke rumah sakit terdekat di kota kecamatan harus berjalan kaki 30 km jauhnya dan harus melewati dua kali besar tanpa jembatan. Sungguh suatu situasi yang sangat berat. Saat itu, kondisi tubuhmu yang masih bayi tiga bulan terus menurun. Kami semua tidak tahu, penyakit apa yang menyerangmu. Semua dukun kampung dikerahkan dan kondisimu terus menurun. Tinggal kulit membungkus tulang.”. 

 Si nenek menatapku sekali lagi dan air matanya terus meleleh. Saya diam dan hatiku berkecamuk. Apa gerangan yang terjadi. Ibuku tak pernah mengatakan sesuatu tentang aku. Si nenek melanjutkan,”Waktu sudah genting. Engkau sesak nafas. Kejang-kejang. Semua orang sudah putus asa, Cuma ibumu tetap pada pendirian, engkau harus diselamatkan. Apa pun beratnya langkah yang harus diayunkan di tengah hujan lebat dan kemungkinan dua kali sudah banjir, ibumu angkat bicara sambil mempersiapkan segala sesuatu. Suaranya keras kepada ayahmu. Kita harus selamatkan anak pertama kita ke rumah sakit. Ayahmu dalam diam mempersiapkan segala sesuatu. 

Orang-orang sekampung meragukan keselamatan nyawamu. Saat sudah sangat genting di tengah hujan lebat mengguyur, ibumu menggendongmu keluar rumah dan ayahmu mengikutinya dari belakang. Kami sendiri tidak tahu apa yang terjadi di dalam perjalanan. Tidak ada komunikasi. Tidak ada berita. Lama memang. Tidak hanya satu bulan. Hampir enam bulan, engkau dan ibumu berada di kota kecamatan untuk menyelamatkan kesehatanmu. 

Syukur nak, ibumu sungguh tegar, yakin dan luar biasa, bahwa engkau putra pertamanya bisa diselamatkan. Ibumu yakin bahwa Tuhan bisa menyelamatkanmu jika ada usaha yang tak pernah kenal lelah dan tidak mudah putus asa.” Si nenek tersenyum kecil, menyeka matanya yang masih sembab. “Nak, jagalah ibumu”. Aku kembali ke rumah dengan hati sedang berkecamuk. 

Saya berani menanyakan hal itu kepada ibu. “Mama, benarkah waktu kecil usia tiga bulan, saya sakit berat dan hampir meninggal. “Kulit bungkus tulang?” Mama sesungguhnya agak terkejut. Mama tidak mau menceritakan pengalam pahit kepada putra satu-satunya saat itu. 

Mama hanya bilang “Benar, nak”. Oh ibu, engkau sungguh mulia. Hatimu bergelimangan emas walau kehidupan desa tidak selalu bahagia. Pujian dan syukur berlimpah kepada kebaikan Tuhan sehingga sampai saat menulis goresna tak berharga ini, ibu dan ayahku masih diperkenankan Tuhan bersama kami. Mereka masih hidup bahagia walau banyak ujian hidup yang mereka rasakan. “Mama, goresan ini merupakan harta berharga yang anakmu persembahkan kepada hatimu yang mulia bersama ayah yang telah menyelamatkan jiwaku. Ibu dan ayah tetap sehat ya. Tuhan memberkati selalu.” Selamat Hari Ibu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar