Rabu, 20 Februari 2013

Membuang Ilusi

Oleh Kosmas Lawa Bagho
Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI) dan Puskopdit Flores Mandiri telah masuk dalam gelanggang pemberdayaan masyarakat melalui upaya simpan-pinjam untuk bersaing secara sehat dengan lembaga usaha keuangan lain yang kian tumbuh subur di tanah Flores dan Lembata secara khusus Kabupaten Ende, Ngada dan Nagekeo.

Kejadian yang paling besar terjadi pada tahun 2012 bagi Gerakan Koperasi adalah adanya Undang-undang koperasi yang teranyar yaitu UU Nomor 17 Tahun 2012, menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Tentu kehadiran UU yang baru memiliki tantangan tersendiri buat gerakan koperasi kredit di Flores dan Lembata, lantaran harus mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian baik pada tingkat kebijakan (tata aturan) maupun operasional pengelolaan.

Perubahan tata aturan dan operasional pengelolaan menjadi titik krusial ketika berhadapan dengan pernak-pernik kejadian di beberapa koperasi kredit yang merupakan efek samping dari pertumbuhan dan perkembangan usaha koperasi kredit yang cukup tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan koperasi lain di Indonesia secara khusus di Flores dan Lembata.

Banyak kalangan menilai, semakin membesarnya aset/kekayaan kopdit mengundang perhatian berbagai pihak, khususnya pengurus, pengawas, manajer dan karyawan serta anggota di dalam kopdit itu sendiri. Seiiring perkembangan organisasi dan usaha yang fenomenal juga mendapatkan ujian atau tantangan konflik kepentingan (conflict interest). Mulai terjadi gesekan-gesekan kepentingan sehingga terjadi pecat memecat satu dengan yang lain sampai-sampai persoalan internal koperasi kredit, dibawa ke ranah hukum baik ke polisi maupun ke pengadilan.

Kita meyakini bahwa koperasi kredit itu mulai dari pendidikan, dikembangkan lewat pendidikan, dikontrol dengan pendidikan, tetapi sekarang fakta menunjukkan bahwa ada sebagian kopdit kadang mulai lalai melakukan pendidikan anggota dan lupa melakukan refleksi maupun oto-kritik untuk melokalisir dan menyelesaikan berbagai riak permasalahan internal secara bijak dan bertanggungjawab agar persoalan itu tidak meluas yang dapat saja merugikan anggota maupun lembaga koperasi kredit itu sendiri. Tanpa sadar, di tengah pertumbuhan dan perkembangan yang kian menggeliat, sebagian gerakan mabuk dalam euphoria atau bahasa Al Ries “Ilusi”.
Al Ries dalam bukunya “Focus: The Future of Your Company Depands on It”, menulis “Selain Fokus, keberhasilan usaha (koperasi kredit) sangat bergantung pada tersedianya rencana kerja. Jadi apabila usaha (koperasi kredit) memiliki rencana kerja dan para eksekutornya fokus melaksanakan rencana kerja, niscaya hasil optimal akan diraih”.
Namun pada prakteknya, sekalipun rencana kerja terang benderang tidak selalu mudah dilaksanakan karena ada hambatan yang sering tidak diperhitungkan.
Hambatan utama menurut Al Ries datang dalam bentuk ilusi. Kurang lebih ada 6 ilusi sehari-hari yang menghalangi seseorang atau lembaga usaha (koperasi kredit) dalam upaya mencapai hasil yang sungguh memuaskan dan mensejahterahkan.
Pertama: Ilusi PERHATIAN. Ilusi perhatian muncul ketika apa yang kita sadari berbeda dengan apa yang kita kira kita sadari. Kebanyakan orang mencari apa yang ingin mereka lihat maka banyak yang keliru memahami. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Pola Kebijakan, Anggaran Pendapatan dan Biaya bahkan melihat laporan pertanggungjawaban hanya sebatas apa yang cari bukan apa yang tersaji. Dengan demikian, orang selalu memandang negatif apapun yang dilakukan untuk keberhasilan yang lebih dan lebih.
Kedua: Ilusi INGATAN. Ilusi ingatan muncul akibat yang kita ingat sangat berbeda dengan yang kita kira ingat. Meskipun mempunyai kemampuan daya ingat yang cukup tinggi namun kita tidak ingat persis semua kejadian atau transaksi. Ingatan kadang mengalami penyimpangan. Misalnya, kita kira (ingat) bahwa saya sudah melunasi pinjaman, pada hal belum. Untuk itu, perlu membuat dokumen tertulis setiap kegiatan dan transaksi.
Ketiga: Ilusi KEPERCAYAAN DIRI. Rasa percaya diri merupakan hal positif, dan setiap orang ataupun lembaga harus memilikinya. Namun ilusi kepercayaan diri membuat seseorang (lembaga) menilai kemampuan dirinya kerapkali diatas keadaan yang sebenarnya. Menilai diri sendiri (lembaga) lebih tinggi dari sesungguhnya, merupakan awal muncul perasaan lebih baik, lebih pandai dan seterusnya yang membuat seseorang ataupun lembaga tertentu menjadi arogan, besar kepala bahkan menutup diri.

Keempat: Ilusi PENGATAHUAN. Apabila seseorang mengira tahu lebih banyak dari yang sebenarnya berarti ia berada dibawah ilusi pengatahuan. Ilusi pengatahun menghalangi kita untuk menerima perubahan dan sedikit tertutup karena kita merasa sudah tahu. Apapun tawaran perubahan yang diberikan selalu dijawab dengan tiga kata membunuh yaitu SAYA SUDAH TAHU pada hal sesungguhnya, ia belum tahu tentang suatu hal yang ditawarkan tadi.
Kelima: Ilusi ALASAN. Ilusi alasan dapat terjadi akibat terlalu terburu-buru membuat kesimpulan. Misalnya tata aturan memperketat pelepasan pinjaman untuk meminimalisir kredit macet pada koperasi kredit. Akan tetapi anggota berpendapat bahwa pengurus kurang mau memperhatikan kebutuhan anggota dalam memanfaatkan pinjaman koperasi kredit untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kesimpulan (alasan) ini tidak selalu benar. Memperketat seleksi pelepasan pinjaman membuat orang benar-benar memanfaatkan pinjaman secara bertanggungjawab untuk peningkatan taraf hidupnya dan keberlanjutan lembaga koperasi kredit tetap sehat yang jauh dari masalah kredit macet serta menghindari anggota melakukan “mafia” kredit.
Keenam: Ilusi POTENSI. Ilusi potensi membuat kita mengira bahwa kita masih tersimpan sejuta potensi dalam diri sehingga biar membuat salah atau tidak berhasil kita selalu berpikir masih ada potensi untuk diaktualisasikan pada saat-saat mendatang sehingga kita tetap meraih kegagalan lantaran tidak mewujudkan potensi yang dimiliki pada waktu dan tempat yang tepat.
Tidak penting, saya, anda dan kita adalah tipe yang mana tetapi yang lebih penting dan menjadi tugas utama kita adalah menghilangkan ilusi sehari-hari agar dapat fokus untuk menentukan tingkat keberhasilan yang lebih berkualitas dan bermartabat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar