Jumat, 22 April 2011

Prosesi Jumat Agung di Onekore Hampir Berujung Rusuh

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Hari ini, Jumat, 22 April 2011. Hari ini bukan hari Jumad biasa. Sebab menurut hukum Kanonik Gereja Katolik Roma, setelah berpuasa 40 hari, inilah saatnya merayakan Jalan Salib terakhir dalam mengenangkan peristiwa penyaliban Tuhan Yesus Kristus sebelum bangkit pada Sabtu Malam atau Sabtu Suci ataupun Minggu pagi.

Kami sekeluarga tahun ini tidak mengambil liburan paskah di kampung seperti tahun-tahun sebelumnya. Baru pertama kali merasakan pekan suci di kota setelah menamatkan studi di perguruan tinggi. Mungkin ada enaknya, pikirku. Bisa bertemu jemaat yang lebih beranekaragam. Ketimbang di kampung hanya menemukan orang-orang yang homogen.

Sepertinya perayaan pekan suci di kota sungguh mengasikan. Semua berjalan lancar dan aman setelah merayakan ekaristi Kamis Putih di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Ende. Perayaan semakin unik dengan menghadirkan koor dari warga Lapas yang menurut kacamata umum, mereka orang-orang berdosa, pencuri, pembunuh, perampok dan pemerkosa ataupun koruptor kelas teri. Tentu mereka tak bisa apa-apa. Namun sepertinya kenyataan berbicara lain. Dengan sedikit sentuhan, mereka mampu melakukan sesuatu yang luar biasa dengan menyumbangkan suara mereka pada misa Kamis Putih.

Peserta yang hadir kagum dan memberikan pujian yang luar biasa. Ternyata orang-orang yang dianggap jahat apabila dimanfaatkan secara optimal bisa memberikan kontribusi diluar dugaan publik. Di dalam setiap pribadi manusia, meski ada berbagai kelemahan, tetapi Tuhan menganugerahkan potensi yang wah!

Perjalanan malam Kamis Putih terasa semakin cepat berlalu. Masih banyak umat menantikan giliran dan berjaga bersama Yesus Kristus menjelang subuh. Hujan terus mengguyur Kota Ende sepanjang tiga hari sepertinya memahami hati dan pikiran Umat Katolik. Menjelang perayaan Kamis Putih, cuaca memberikan dukungan yang luar biasa. Tidak ada lagi setitik air membasahi bumi.

Titik titik pagi Jumad Agung mulai nampak melawat wajah Umat yang bernama Katolik. Anggota rumah memilih jalan salib yang ditawarkan di kota Ende. Lapas Ende, BBK Ende, Mautapaga, Wolonio, Reworeke, Kathedaral Ende dan Paroki Onekore Ende. Anggota rumah lain memilih Lapas dan saya sendiri memilih Paroki Onekore Ende lantaran ada upacara Jalan Salib Hidup yang diperankan OMK (Orang Muda Katolik) Paroki Santu Yoseph Onekore dan salah seorang ponakan terlibat langsung di dalamnya sebagai Simon tukang kebun yang dipaksa para algoju membantu memikul salib Yesus.

Saya berjalan kaki menuju tempat upacara. Lumayan jauh. Hampir dua kilometer. Acara berlangsung di depan aula SMUK Syuradikara. Acara berjalan lancar dijaga aparat Polres Ende dan Kodim/Kompi C Ende (pokoknya seragam TNI). Dari perhentian pertama sampai perhentian ke-8 masih aman terkendali. Memasuki perhentian ke-9, Yesus jatuh ketiga kali, posisi Yesus terbaring lemah di jalan raya, tiba-tiba datang seorang pemuda tanggung mengendarai motor roda dua dengan kecepatan tinggi sepertinya mau menciderai Yesus yang sedang berbaring. Aparat bersikap sigap meski ada kesan lalai dan lamban.

Beruntung ada yang menendang sepeda motor sang pemuda tadi. Ia jatuh terjerembab dan sebagian pemuda mulai merapat serta sebagian mulai melakukan pemukulan. Umat merasa hati dan jiwa mereka terluka, dengan kejadian tersebut. Di tengah suasana yang semakin tak terkendali, masih ada umat yang saling menyadarkan satu sama lain untuk tidak main hakim sendiri. Ada yang memerintahkan aparat keamanan untuk segera mengevakuasi korban sebab massa makin membludak dan makin tak terkendali.

Beruntung sejumlah polisi yang lebih banyak dengan oto tiba cepat di lokasi kejadian. Sebagian besar umat terus melanjutkan prosesi Jalan Salib Hidup yang masih khidmat. Ada sebagian besar remaja putri dan ibu-ibu lagi meneteskan air mata, larut dalam duka lara balada penyaliban yang mereka imani sebagai Tuhan dan Sang Juru Selamat membawa mereka ke surga abadi.

Aparat keamanan membawa korban ke kantor polisi untuk proses lebih lanjut. Sebagian massa belum puas. Tidak lagi kosen pada acara prosesi iman. Mereka ramai memperbincangkan. Mereka buat analisis masing-masing. Sambil meraba-raba dan menerka-nerka. Ada yang langsung mempersalahkan aparat keamanan yang kurang sigap. Apalagi instruksi presiden, Jumad Agung sebagai SIAGA 1 di seluruh Indonesia. Cuma satu pemuda tanggung saja tidak bisa diatasi. Bagaimana apabila dia membawa bom dan lain sebagainya. Comel sebagian umat yang tidak terima dengan kejadian bersangkutan.

Di tengah amarah yang masih memuncak. Tiba-tiba nyelonong satu motor ojek dengan membawa satu orang gadis melintas di depan penjagaan aparat keamanan (ada palang bambu kering). Melihat peristiwa itu, sebagian pemuda spontan melakukan tindakan main hakim sendiri. Hampir tak dapat dikendalikan. Massa makin marah. Dua kali memang, gerutu mereka tanda kecewa. Bahkan sebagian besar pemuda menawarkan diri untuk menjaga keamanan dan mempersilahkan para aparat meninggalkan lokasi prosesi persis di depan Gereja Santu Yoseph Onekore.

Berkat pendekatan persuasif aparat gabungan, maka keadaan pun bisa dikendalikan. Kapolres Ende sampai turun langsung ke lokasi untuk menjaga agar peristiwa tersebut tidak meluas dan merugikan banyak orang serta memberikan rasa aman bagi umat Katolik yang melaksanakan upacara keagamaan sampai selesai. Masih panjang perayaan paskah. Kita harapkan tidak ada lagi kecolongan ataupun kelalaian.

Sebab apabila hal itu terjadi lagi maka tidak tertutup kemungkinan akan ada rusuh besar menanti. Kita umat Katolik yang pemaaf memang sedang dicoba rasa maaf di tengah berbagai gejolak ketidaknyamanan yang sengaja diciptakan orang-orang tertentu. Flores umumnya dan Ende khususnya yang terkenal sangat toleran, memang lagi diberi ujian. Pertanyaan reflektif, apakah kita mampu melewati ujian ini untuk terus-menerus menaburkan maaf dan kasih sayang seperti sang guru, Yesus Kristus dari atas kayu salib dengan suara nyaring berdoa, “Ya Bapa, Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Memang Yesus sang guru adalah manusia Allah. Beda dengan kita manusia biasa. Tetapi paling tidak spiritualitas sang guru, merasuk diri kita para muridnya untuk membebaskan belenggu-belenggu kebencian, permusuhan ataupun balas dendam. Kita pembawa damai di tengah peperangan dan penghinaan. Orang bijak menulis, “Orang baik adalah orang yang rela untuk tidak diperhitungkan”. Semoga tidak ada lagi dusta di antara kita dan saling mencederai! Amin.

Inilah sepotong kisah Prosesi Jumad Agung yang hampir rusuh. Setelah acara prosesi selesai, sebetulnya ada penyampaian langsung dari Kapolres Ende. Namun lantaran menunggu terlalu lama di depan Gereja dan tidak kunjung ada pemberitahuan, maka penulis pun kembali ke rumah bersama umat lain sementara sebagian umat masih berkerumun sambil berbincang kejadian yang baru mereka saksikan di depan mata telanjang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar