Jumat, 12 April 2024

Kopdit Boawae: Menolak Mental "Nenek Tambah Lagi"

Oleh Kosmas Lawa Bagho, S.Fil., M.M

 

Momen di Bangkok
Koperasi Kredit (Kopdit) Boawae memasuki usia emas pelayanannya pada tanggal 23 Mei 2024. Parade waktu ini merujuk pada proses pembentukan awal yang terjadi tanggal 23 Mei 1974. Suatu proses waktu dan pelayanan yang panjang dan melelahkan. Tentu ada nilai-nilai yang diperjuangkan dan dipraktikkan selama jenjang waktu 50 tahun lalu sehingga Kopdit Boawae bisa bertahan hingga kini bahkan akan terus berkelanjutan sampai generasi anak cucu. Tak terbatas oleh ruang dan waktu.

 

Rentang waktu 50 tahun bukanlah aliran waktu yang singkat tanpa makna bagi seluruh masyarakat yang sudah mengalami madu dan berlian pemberdayaan Kopdit Boawae. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bahwa dalam perayaan 50 tahun,  Kopdit Boawae memberikan nuansa tersendiri dengan menerbitkan Buku Kenangan Emas yang berjudul: Koperasi Kredit Boawae, Pemberdayaan dan Keberlanjutan.

Sejarah mencatat, Koperasi Kredit/Credit Union yang berkembang pesat saat ini di seluruh dunia dikembangkan pertama kali di Jerman oleh dua orang pelopor dalam waktu yang hampir bersamaan. Pertama adalah Hermann Schulze Delitzsch pada tahun 1850 dan kedua Friederich Wilhelm Raiffeisien yang koperasi pertamanya disebut Heddesdorf Credit Union (Heddesdorf adalah kota dan Raiffeisien menjadi walikotanya) pada tahun 1864.

Gerakan pemberdayaan Credit Union berkembang dari Jerman menuju Kanada dan tiba juga di Indonesia pada tahun 1967 yang disponsori Pastor Karl Albrecht (Karim Arbie) SJ dan menyebar ke Flores (BK3D NTT Barat: Badan Koordinasi Koperasi Kredit Nusa Tenggara Timur bagian Barat kini Puskopdit Flores Mandiri) pada tahun 1970-an yang dikembangkan oleh Pater Bernadus Joanes Baack, SVD atau lebih dikenal dengan Pater B.J. Baack, SVD (bdk. Koperasi Kredit Indonesia: Menyongsong Tantangan Abad ke-21, Inkopdit-Jakarta, 1995).

BK3D NTT Barat kini Puskopdit Flores Mandiri juga ikut menginisiasi lahirnya Kopdit Boawae tanggal 23 Mei 1974. Cikal bakal Kopdit Boawae berawal dari hadirnya Andreas Seda Wea dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Delegatus Socialis (Delsos) Keuskupan Agung Ende di Ende pada tahun 1974 (Hongkoda Jawa, Mikhael dkk, Koperasi Kredit Membangun Peradaban Bermartabat, Accacia, Jakarta 2011 dan dimuat juga pada Hongkoda Jawa, Mikhael dkk, Merawat Ingatan Jejak Sejarah Koperasi Kredit di Flores, Ledalero, Maumere, 2022).

             Hindari Mental “Nenek Tambah Lagi”

Suatu momen, penulis melakukan pendidikan dasar bagi anggota Kopdit bersama ketua pengurus Puskopdit Bekatigade Ende-Ngada-Nagekeo kini Puskopdit Flores Mandiri, Theofilus Woghe (alm). Almarhum membawakan materi tentang jati diri koperasi dan tiga pilar koperasi kredit saat itu kini menjadi lima. Saat itu, paling terkenal dengan tiga batu tungku (versi NTT) pilar-pilar yang menguatkan tiang penopang bangunan koperasi kredit atau credit union. Tiga pilar atau tiga batu tungku tersebut adalah swadaya, pendidikan dan solidaritas. Saat ini tiga pilar sudah dilengkapi dengan dua pilar hasil inisiasi salah seorang tokoh Koperasi Kredit atau Credit Union nasional berskala internasional  Robby Tulus yakni inovasi dan persatuan dalam keberagaman.

Waktu menjelaskan tentang swadaya atau kemandirian, alamarhum memulainya dengan sebuah cerita yang penulis ingat melekat dalam pikiran dan hati dengan judul “Nenek Tambah Lagi”. Beliau dengan semangat, mengisahkan bahwa pada suatu momen misa pagi (perayaan Ekaristi menurut iman katolik, red), seorang mama dengan anaknya kira-kira berusia 5 tahun juga hadir pada perayaan pagi yang indah itu.

Usai perayaan, sang pastor yang sudah cukup tua usianya, lagi berkeliling di taman bunga di depan gereja. Ibu dan anak tadi mendekati pastor tua tersebut untuk sekedar mengucapkan selamat pagi. Keduanya mendekati pastor itu, sang pastor dengan ramah menyapa sang anak. “Nak, selamat pagi, apa kabar hari ini?’. Anak itu spontan menjawab, “Baik nene pater”. (Sesungguhnya nene adalah sapaan untuk perempuan sepuh yang dalam bahasa Indonesia “nenek”).

Kadang anak kecil bahkan orang dewasa yang belum bisa membedakan nenek dan kakek atau opa untuk lelaki sepuh, semuanya menyapa dengan nene (nenek). Sang pastor tua tadi sambil mengelus rambut anak itu dan mengambil satu buah bombon” atau gula-gula dari dalam saku jubahnya dan memberikan kepada sang anak. Mama dari sang anak melihat peristiwa itu, spontan mendesak anaknya menyampaikan sesuatu kepada pastor. “Ayo, bilang apa kepada nenek!” Anak itu spontan menjawab sambil menadah telapak tangan ke atas, “Nene (nenek) tambah lagi”.

Sang mama muka merah tanda malu. Maksud sang mama agar anaknya menyampaikan secara tulus kepada sang pastor adalah “Nene (nenek) pater, terima kasih”. Semua ruangan riuh. Ada yang tertawa lepas dan sebagian besar peserta tertunduk malu.

Mental “nenek tambah lagi” mungkin sudah tidak cocok lagi pada zaman ini. Namun seiring perjalanan waktu, mentalitas “nenek tambah lagi” bergerilia lagi di Negara kita, di wilayah kita. Kita seakan “terhipnotis” ramai-ramai meminta belaskasihan kepada pihak ketiga. Kita tergoda untuk menerima bantuan tanpa perjuangan dan kerja keras.

Kopdit Boawae sejak awal berkiprah pada upaya pemberdayaan masyarat ajar rumput, berjuang menghindari mentalitas “Nenek Tambah Lagi” terutama dalam hal modal perputaran. Pengalaman mengajarkan bahwa modal dari dana bantuan yang datang terlalu awal karena belas kasihan perorangan atau badan yang menaruh keberpihakan pada orang kecil bisa menghambat tumbuhnya jiwa swadaya yang nampak pada pertumbuhan modal swadaya. Tidaklah bijak mencari modal bantuan dari luar selama modal dari dalam masih memungkinkan. Kopdit  Boawae mengandalkan anggota sebagai pemodal utama.

Bambang Ismawan pernah menulis, “Koperasi Kredit atau yang lebih dikenal dengan sebutan Credit Union merupakan suatu terobosan untuk membantu masyarakat kecil dalam mengatasi permodalan dengan kekuatannya sendiri. Koperasi kredit berusaha untuk mengubah mentalitas masyarakat bawah yang seringkali kurang percaya diri. Dengan menjadi anggota koperasi kredit, masyarakat diyakinkan bahwa mereka mampu menolong diri sendiri dengan kekuatan mereka sendiri secara bersama-sama.

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa pendekatan Koperasi Kredit langsung pada pemecahan masalah pembangunan paling dalam yakni merombak ketergantungan menjadi kemandirian”, (bdk. Ibnoe Soedjono, Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jatidiri, LSP2I-Jakarta 2007). Selama ini, berbagai bantuan modal kerja kepada koperasi atau pun bantuan lainnya kepada masyarakat semakin membuat masyarakat tidak berdaya dan bergantung. Bahkan secara kasat mata dapat dikatakan bahwa bantuan beras miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) atau pun bantuan lainnya merupakan musuh besar keswadayaan dan martabat manusia. Sebab melalui berbagai proyek bantuan tanpa upaya pembedayaan akan semakin mematikan kreativitas masyarakat untuk berusaha sekeras mungkin mempertahankan hidup (e’lan vitae) dan semakin meninabobokan masyarakat penerima.

Proyek raskin dan blt, atau apa pun jenisnya, juga akan mewarisi kepada generasi anak cucu sebagai generasi yang hanya tahu menerima tanpa mau bekerja keras dan cerdas sehingga tidak heran banyak orang mencari jalan pintas dan melahirkan berbagai kerusuhan sosial di kota dan sekarang mulai dirasakan di desa-desa. 

Pemberdayaan yang Memandirikan

Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan fokus pada otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengelaman langsung.

Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris yakni ‘empowerment’ yang berarti pemberdayaan atau daya atau kekuatan. Pemberdayaan dimaknai sebagai segala usaha atau upaya untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi berbagai kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka karena kemiskinan tidak bersifat alamiah semata melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan maka pemberdayaan harus juga melibatkan dua faktor bersangkutan.

Kemandirian (self-reliance) harus lebih dilihat sebagai sikap mental ialah sikap tergantung pada kemampuan dan sumberdaya sendiri. Dalam pelaksanaannya kemandirian dinyatakan sebagai sikap ada atau tidak ada bantuan, kegiatan berjalan terus (bdk. Ibnoe Soedjono, Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jatidiri, LSP2I-Jakarta 2007).

Menolong diri sendiri telah menjadi tradisi dan sekaligus nilai yang dianut koperasi dalam melaksanakan kemampuannya sehari-hari. Kemandirian seharusnya ditempatkan dalam kerangka hidup dengan menolong diri sendiri. Sebenarnya kebijakan untuk membantu koperasi dalam situasi seperti sekarang ini bukannya apriori salah, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai bantuan yang diberikan justru mematikan upaya koperasi untuk menolong diri sendiri, untuk dapat hidup mandiri. Bantuan harus merupakan perangsangnya dan benar-benar diberlakukan secara selektif, sifatnya sementara dan tepat momentum dalam arti “memberikan minum pada saat orang haus atau memberi makan pada saat orang lapar”.

Walaupun demikian Ibnoe Soedjono (alm) menulis, “Meski pun demikian kita masih beruntung karena masih cukup banyak koperasi yang sejak puluhan tahun mampu mempertahankan kemandiriannya tanpa menerima bantuan modal dari pemerintah seperti halnya koperasi-koperasi kredit (CU) yang membiayai seluruh kegiatannya dari sistem internalnya sendiri. Juga dalam rangka kebijakan pemerintah pada waktu ini yang menyodor-nyodorkan ‘bantuan modal’ masih ada koperasi-koperasi yang menolak bantuan tersebut karena tidak ingin kehilangan kemandiriannya”.

Lebih lanjut, Ibnoe Soedjono mengeritik cukup tajam pemerintah yang memberikan bantuan modal kepada koperasi. Beliau pun menulis, “Dibiayainya gerakan koperasi oleh anggaran belanja negara dan daerah sepintas lalu kelihatannya sebagai kebijakan yang membantu koperasi akan tetapi pada hakekatnya memberi peluang dan membiarkan koperasi menelan ‘narkoba’ yang akan membuat koperasi ketagihan, melumpuhkan mental kemandirian dan mati secara pelan-pelan. Bagi sekelompok orang yang kebetulan memimpin koperasi, pembiyaan seperti itu bisa disalahgunakan sebagai sumber “kekuatan dan kekuasaan politik” yang dapat merusak koperasi itu sendiri”.

Berdasarkan refleksi pengalaman pribadi penulis, sudah kurang lebih 26 tahun berkiprah di koperasi kredit, penulis mempunyai satu kesimpulan sederhana bahwa gerakan koperasi kredit lebih menggerakkan masyarakat untuk hidup mandiri dari apa yang ada pada mereka (pengetahuan, ketrampilan, sikap/karakter) yang didukung dengan berbagai sumber daya alam yang tersedia. Juga ketika penulis ke Thailand tahun 2008 dan 2009, koperasi kredit di sana memobilisasi sikap hidup hemat dengan cara menabung Rp.1,000.- per hari misalnya serta memprakarsai lahirnya jiwa kewirausahaan anggota (masyarakat) yang akhir-akhir ini menghasilkan kurang lebih 3-4% penduduknya berwirausaha dan mengurangi jumlah masyarakatnya untuk memilih bekerja sebagai orang upahan. Kopdit Boawae dalam aras yang sama dan pada ulang tahun emas pemberdayaan sungguh mendorong semua anggotanya untuk berwirausaha demi meningkatkan kesejahteraan anggota dan keberlanjutan lembaga maka pantaslah kita menyapa “Kopdit Boawae: pemberdayaan yang memandirikan”.

Tentunya semua impian tersebut tidak mudah untuk direalisasikan namun paling kurang secara strategis, cara kerja pemberdayaan ala koperasi kredit rasanya lebih cocok untuk masyarakat kita menuju standar ideal negara maju secara ekonomis sekurang-kurang penduduknya 2,5%  bergerak di bidang wirausaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup secara mandiri.

 Dirgahayu Emas Koperasi Kredit Boawae!

 Referensi:

Hongkoda Jawa, Mikhael dkk. 2011. Koperasi Kredit Membangun Peradaban Bermartabat, Accacia, Jakarta.

…………….. 2022. Merawat Ingatan Jejak Sejarah Koperasi Kredit di Flores, Ledalero, Maumere.

Ibnoe Soedjono. 2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jatidiri, LSP2I-Jakarta.

Inkopdit. 1995. Koperasi Kredit Indonesia: Menyongsong Tantangan Abad ke-21, Inkopdit-Jakarta.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar