Kamis, 05 Mei 2022

Menolak Perubahan

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Kepala Bidang Pendampingan Puskopdit Flores Mandiri

Dosen Politeknik Santu Wilhelmus Boawae


Catatan: Dimuat pada Opini Flores Pos Net Minggu II/Apr.No.26/II/2022

 

Naomi Susan dalam bukunya, “Be Negative = Jadilah Negatif” (2007) pernah menulis, “Anda memiliki kebebasan untuk memilih. Tetapi, mengapa Anda memilih untuk tetap berada dalam keadaan yang sama setiap harinya dan tidak bergerak lebih maju selangkah demi selangkah?”

Sesungguhnya pada titik ini, Naomi sedang berbicara lantang tentang perubahan. Perubahan adalah harga mati bagi setiap orang dalam melakukan usaha apapun di planet bumi ini untuk suatu kehidupan yang lebih bermartabat ke depannya. Kendati demikian, aktivitas perubahan butuh perjuangan, butuh pengorbanan ekstra, sebab setiap kali mendengar kata perubahan, reaksi kebanyakan orang adalah kaget, gelisah, jengkel, marah, memberontak dan menolak.  

 

Dalam era kompetisi global dan disrupsi seperti saat ini, setiap bisnis (koperasi kredit) pasti berhadapan dengan persaingan dalam berbagai aspek: mulai dari kualitas anggota, kualitas produk pendidikan kritis, kualitas produk simpanan dan pinjaman, harga (besarnya bunga simpanan dan bunga pinjaman yang kompetitif) hingga pelayanan yang purna mutu dalam selimut untuk terus melakukan perubahan dan inovasi tanpa henti.

Sayangnya para pebisnis ataupun anggota koperasi kredit kerapkali memiliki resistensi terhadap perubahan yang disodorkan oleh pengurus/pengawas dan para manajer bersama pengelolanya. Sebagian anggota (orang-orang tertentu) sangat enggan untuk meninggalkan zona nyaman yang selama ini mereka cintai untuk berpindah ke suatu wilayah yang belum jelas (ketidakpastian).

Selaras dengan aras pemikiran di atas, Prof. Rhenald Kasali, Phd dalam bukunya,”Re-Code Your Change DNA: Membebaskan Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Perubahan,” (2007) mengeritik cukup tajam dengan menulis,”Banyak orang yang jujur, setia dan pintar ternyata tak menjadi apa-apa, bahkan mereka frustrasi dan berpandangan negatif terhadap segala hal. Kenapa? Karena mereka sejak awal berlindung di bawah selimut kenyamanan (comfort zone). Pada hal untuk berubah dibutuhkan keberanian untuk keluar dari selimut itu dan bergelut dengan ketidaknyamanan (danger zone). Perubahan menghantar kita untuk hidup lebih bergairah, penuh dinamika dan keberhasilan yang lebih berkualitas dan bermartabat.”

Oleh karena itu, perubahan boleh dikatakan sebagai magnet tersendiri bagi manusia modern untuk melakukannya. Akan tetapi banyak orang enggan berubah.

Ada beberapa alasan, mengapa orang tidak mau berubah:

a.    Yang lama sudah terbukti bagus. Alasan ini disampaikan karena apa yang telah dilakukan pada masa lampau sudah terbukti bagus, lancar, mulus dan sukses. Jadi buat apa berubah? Untuk apa meninggalkan sesuatu yang sudah pasti menuju sesuatu yang belum pasti? Tidak masuk akal bukan? Selama ini tidak ada yang komplain dengan pelayanan dan produk yang kita telah tawarkan kepada anggota maupun masyarakat. Pokoknya, mengapa mau berubah dalam ketidakpastian dengan segala celotehan apologetis (argumentasi pembenaran diri) lainnya untuk tidak mau berubah.

b.   Rasa takut. Orang tidak mau berubah karena takut. Waduh, jangan-jangan. Itulah kata-kata yang selalu dilontarkan oleh orang-orang merasa takut untuk berubah. Kalau melakukan kebiasaan lama, mereka sudah mengetahui risiko dan konsekuensinya. Sedangkan perubahan membuat suatu wilayah baru yang tidak jelas dampaknya bagi mereka. Perubahan harus melibatkan mindset, mental dan fisik. Oleh karena itu, bagi sebagian besar orang merasa takut untuk beralih (passing over) meski perubahan itu menjanjikan perbaikan yang lebih dan lebih.

c.    Rasa curiga. Rasa curiga hinggap manakala terjadi perubahan, apalagi perubahan itu terjadi dalam kondisi dengan komunikasi yang kurang harmonis berbagai komponen yang ada di dalam organisasi. Perubahan bagi sebagian orang merasa ada udang di balik batu. Mereka mengingatkan bahkan mengompori rekan-rekan lainnya untuk waspada dan bertahan pada apa yang sudah ada. Akibatnya, perubahan tidak akan terjadi. Hal ini diperkuat lagi dengan naluri dasariah setiap manusia adalah mencari keamanan dan menghindari bahaya. Perubahan bagi orang-orang yang curiga dianggap sebagai bahaya sehingga dengan cara apapun harus dihindari.

 James Gwee dalam bukunya,”Setiap Manajer Harus Baca Buku Ini! Tips dan kiat melakukan perubahan yang tepat & pas di tengah ketidakpastian”(2009), menyoroti sekurang-kurangnya  ada tiga tipe kelompok dalam menghadapi perubahan.

Tipe pertama menurut James Gwee dinamakan Kelompok  Gung Ho. Kelompok Gung Ho biasanya 20% dari anggota suatu bisnis atau organisasi. Gung Ho adalah orang-orang yang memiliki sikap positif dan selalu mendukung upaya perubahan. Orang-orang ini biasanya menyadari betapa pentingnya berubah untuk kemajuan. Ketika melakukan perubahan dan mengalami hambatan fisik, Kelompok Gung Ho siap berlatih secara konsisten dan disiplin sehingga lambat laun apa yang dirasa kaku menjadi lentur, yang sulit jadi mudah, yang dulunya bimbang jadi yakin, yang jelek jadi bagus. Kelompok ini berubah dan maju.

 Tipe kedua dinamakan Kelompok W & S (Wait and See). Biasanya kelompok paling besar, kurang lebih 60% dari populasi sebuah organisasi atau perusahaan bisnis. Kelompok ini memilih untuk menunggu (wait) dan mengamati (see) apakah Kelompok Gung Ho sanggup melakukan perubahan atau tidak. Apabila Gung Ho gagal melakukan perubahan maka Kelompok W & S akan bilang, “Tuh, kan, saya bilang juga apa? Si Gung Ho saja gagal, apalagi kita. Untung saya tidak mencoba! Yang pintar ya saya, yang bego si Gung Ho!” Sesungguhnya orang-orang Kelompok W & S bukan menolak untuk berubah, tetapi menginginkan contoh sukses (best practice) sebagai patokan. Patokan mereka adalah 20% orang yang masuk dalam Kelompok Gung Ho.

 Tipe ketiga dinamakan Kelompok Bruce Willis. Kelompok ini 20% dari populasi yang ada di dalam organisasi atau perusahaan. Bruce Willis terkenal dalam perannya pada film “The Die Hard”. Orang-orang dalam kelompok  Bruce Willis, tidak pernah mau berubah sampai kapan pun karena mereka sudah kelewat nyaman.

 Untuk itu, agar organisasi (koperasi kredit)  bisa berubah maka perlu melewati proses mengelola perubahan seperti mengantisipasi perubahan, mengindentifikasi perubahan, menjual perubahan, menggalang sumber daya untuk perubahan, mendobrak zona nyaman, memberikan penghargaan, belajar dari pengalaman & tidak berhenti berubah.

 

Pesta Emas Koperasi Kredit

Gerakan koperasi kredit yang berpayung di bawah Puskopdit Flores Mandiri telah berusia 50 tahun tahun buku 2022 merujuk pada proses pembentukan Kopdit Jayakarta sebagai koperasi kredit perdana tahun 1972. Dalam rentang perjalanannya selama 50 tahun, tentu ada jatuh dan bangun, ada tawa dan air mata serta ada perubahan-perubahan seperti pelayanan bulanan berubah ke pelayanan harian dengan tempat pelayanan yang tetap dan nyaman, pengerjaan pembukuan secara manual berubah kepada program komputerisasi berbasis aplikasi online (Sikopdit Online, CubizPay dll), membuka variasi produk simpanan dan pinjaman sesuai kebutuhan anggota dari pada hanya satu produk yang membosankan, pelayanan yang dilakukan oleh pengurus berubah kepada manajer dan staf, menciptakan double passive income melalui pengembangan wirausaha-wirausaha baru serta perubahan-perubahan kecil lainnya yang sudah mendatangkan kebaikan dan kemajuan seperti yang dirasakan secara kasat mata oleh anggota maupun masyarakat pada saat ini meski disadari bahwa berbagai perubahan itu belum mendatangkan keuntungan dan kepuasan bagi semua orang (anggota).

Nilai-nilai kejujuran, tanggungjawab sosial, berbela rasa dalam semangat solidaritas dan keberagaman sudah ikut melembaga secara konsisten dalam keseluruhan proses pengelolaan koperasi kredit berbasis standarisasi kinerja yang tersistem agar koperasi kredit bertumbuh semakin kuat, sehat dan berkelanjutan. Itulah perubahan yang terprogram dalam menghadapi berbagai disrupsi bisnis saat ini baik dari luar terutama dari dalam lembaga koperasi kredit sendiri. Lembaga yang menolak perubahan akan segera gulung tikar dan tidak tahu di mana batu nisannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar