Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
BAB
I
SOFT COMPETENCY KARYAWAN
1.1
Identifikasi Masalah Faktual
Perusahaan atau lembaga bisnis apa pun saat
ini sungguh membutuhkan soft competency
karyawan dalam menciptakan prduktivitas dan profitabilitas perusahaannya. Soft competency mrupakan kompetensi yang
berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan
antar manusia, kepemimpinan serta membangun interaksi dengan orang lain. Contohnya
adalah kepemimpinan, komunikasi dan hubungan interpersonal.
Umumnya setiap tenaga kerja yang baru masuk
dalam perusahaan diberikan pendidikan untuk meningkatkan skill dan pengatahuan
yang sudah ada agar sesuai dengan kebutuhan organisasi atau perusahaan. Namun
peningkatan dari sisi skill dan pengatahuan saja tidak cukup karena banyak
tenaga kerja yang pandai tetapi perilakunya kurang sesuai budaya organisasi
yang dimasukinya. Oleh karena itu, membutuhkan tambahan berupa soft competency.
Pada dasarnya, soft competency merupakan bagian yang mempengaruhi perkembangan
hard competency seseorang dan kinerjanya. Motif, faktor bawaan dan konsep diri
menghasilkan perilaku keahlian dan kemudian menghasilkan hasil kerja dan
pengalaman (Destrison, 2003 dalam Rinaldo (tanpa
tahun)).
Thomas J. Neff
dan James M. Citrin (1999) dalam Wawan S. Kuswandoro (http://miracleone.wordpress.com/miracle-learning/soft-skill-training/
diakses 23 November 2014 mengatakan
bahwa kunci sukses seseorang ditentukan oleh 90% soft competency dan hanya 10%
saja ditentukan oleh hard comptency. Kajian Depdiknas RI
pada tahun 2009, menyatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam pendidikan, 85% ditentukan oleh soft
competency.
Hasil penelitian Harvard
University, Amerika Serikat: kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard
skill/competency), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain
(soft skill/competency). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20 % dengan hard skill dan sisanya 80 % dengan soft skill.
Buku berjudul: Lesson From The Top
karangan Neff dan Citrin (1999) seperti
dikutif Kuswandoro (tanpa tahun) memuat
sharing dan wawancara 50 orang tersukses di Amerika: mereka sepakat yang
paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis melainkan kualitas
diri yang termasuk dalam keterampilan lunak (soft skills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people
skills).
Hasil survei Majalah Mingguan Tempo
tentang keberhasilan seseorang mencapai puncak karirnya karena memiliki
karakter: mau bekerja keras, kepercayaan diri tinggi, mempunyai visi ke depan,
bisa bekerja dalam tim, memiliki kepercayaan matang, mampu berpikir analitis,
mudah beradaptasi, mampu bekerja dalam tekanan, cakap berbahasa Inggris, dan
mampu mengorganisir pekerjaan.
Sony Gunawan dari Yogya Departemen Store
menyampaikan hal itu pada diskusi “Relevansi Soft Skill Dengan Kebutuhan
Dunia Kerja” yang diselenggarakan Universitas Widyatama. Sony memaparkan,
ketersediaan lulusan (supply) dengan keterserapan dunia kerja/usaha
terhadap lulusan tersebut (demand) saat ini, sangat tidak seimbang.
Akibatnya, banyak lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keahliannya.
Untuk memperoleh lulusan yang siap kerja, dunia usaha yang dikelola Sony,
menetapkan sistem seleksi dengan menggunakan tes spiritual quotient (SQ).
Tes tersebut memenuhi kebutuhan IQ maupun EQ calon karyawan,
bahkan indikasinya cenderung baik dan peserta tes dapat bekerja sama. Jika seseorang
mempunyai kedua kompetensi itu, silahkan dengan terbuka merebut kesempatan yang
sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan perlakuan dalam bekerja.
Berdasarkan berbagai uraian di atas,
penulis menyimpulkan bahwa soft
competency meski sangat dibutukan oleh perusahaan dan para calon karyawan
dalam memasuki dunia kerja namun ketersediaan tenaga yang memenuhi soft competency yang unggul belum
tersedia. Pada hal, soft competency
seseorang calon karyawan sangat berhubungan dengan posisi tawar memasuki dunia
kerja agar bisa memberikan kontribusi bagi peningkatan produktivitas perusahaan
dan tentunya juga tingkat kompensasi yang akan diterimanya. Dapat dilihat
dengan nyata bahwa persoalan mendasar
terletak pada pengembangan atau pelatihan soft competency yang belum memadai. Untuk mengatasinya persoalan
mendasar dimaksud, perlu pendidikan dan pelatihan soft competency sebagai persiapan para calon karyawan dalam
memasuki dunia kerja.
1.2 Kerangka Konseptual Mendasar yang Menjadi
Solusi
Ada
beragam metode untuk menguji atau meningkatkan soft competency dari hal yang sederhana dan praktis hingga yang
kompleks. Detrison (2003) dalam Rinaldo (tanpa
tahun) menyatakan bahwa metode yang
praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk
menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam
kuesioner kompetensi.
Metode lain yang lebih kompleks adalah
dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assesment center. Dalam
metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacam-macam tugas seperti
melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala
prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para penilai
yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan
validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan biaya yang relatif besar
serta waktu yang cukup panjang tergantung jumlah dan tingkat kesulitan tugas
yang diberikan.
Metode uji kompetensi lain yang kini
juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang
dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat
misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi
seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dan lain-lain.
Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benar-benar telah teruji level
kompetensinya. Melalui metode-metode inilah, pihak manajemen mampu mengetahui
dengan cukup akurat potret kompetensi karyawannya. Dan kemudian dapat disusun
suatu employee development plan yang relevan.
Selain itu dalam upaya peningkatan soft
competency karyawan dikenal juga istilah Soft Competency Training. Soft
Competency Training dalam hal ini merupakan sebuah training yang didasarkan
atas kompetensi yang telah ditetapkan yaitu soft competency yang
harusnya dimiliki oleh seorang karyawan, yang meliputi kepemimpinan, komunikasi
dan hubungan interpersonal.
Michael J Marquard (2002) memberikan
model pelatihan soft competency
sebagai berikut: (mohon maaf tabel tak bisa ditampilkan)
|
Building the Learning Organization oleh
Michael J. Marquard, 2002.
Untuk
melengkapi metode pembelajaran soft
competency model Marquard, Lyle M. Spencer memberikan tambahan sebagai
berikut: berpikir kritis (dapat mengenal hubungan sebab-akibat, secara
sistematis mampu memecahkan masalah yang kompleks); bekerjasama dalam tim (kemampuan
bekerja sama dalam tim secara kooperatif); kontrol diri (mampu menjaga emosi
sehingga tidak mengganggu pekerjaan, memiliki daya tahan terhadap stress);
percaya diri (mempunyai kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuan
dirinya, menunjukkan tanggungjawab dalam menghadapi kondisi yang menantang,
pencapaian tujuan, mampu memberikan gagasan konstruktif); fleksibel (bersikap
fleksibel terhadap perubahan dan mampu menyesuaikan diri, kemampuan beradaptasi
dan bekerja secara efektif dengan beragam situasi, individu atau kelompok).
Dengan demikian dapat digambarkan kerangka konseptual ini dalam bagan.
Terimakasih telah men-sitasi artikel saya. Salam sukses. Wawan E. Kuswandoro (bukan "Wawan S. Kuswandoro).. hehe..
BalasHapus