Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Catatan:
Pertanyaan diajukan oleh Dosen Filsafat Manajemen Dr. H.H. Agung Winarno., M.M Universitas Negeri Malang dan jawaban oleh Kosmas Lawa Bagho, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang angkatan 2014/2015.
1. Pada esensial dasarnya, manajemen sendiri selalu meragukan wujud sistem
kerja praktik manajemen yang selama ini berlangsung (orang, barang/benda,
sistem/metode dan waktu/energi) kemukakan bukti-bukti kongkritnya bahwa
manajemen itu secara tidak langsung telah mempraktikkan apa yang diragukan
sendiri dalam prinsipnya.
2 2. Dalam tinjauan filsafat,
praktik-praktik manajemen tidaklah merupakan proses yang sempurna, ia telah
terikat oleh kesiambungan pemikiran yang relatif terbatas karena dimensi
prinsip, orientasi dan pemaknaan. Itulah sebabnya para filosof berkeyakinan
bahwa kesinambungan praktik-praktik manajemen perlu ditelaah melalui dimensi
(1) Causa Prima (yang mencakup pemikiran filsafat materialisme, idealisme,
vitalisme, psikomonisme), (2) Dimensi Hakekat Sesuatu (kebenaran berasal dari
fenomena-fenomena) serta (3) Dimensi Arah dan Tujuan Filsafat (dapat berupa
makna humanisme, egoisme/individualisme, altruisme, pragmatisme, finalisme
maupun epikurisme. Coba beri argumentasi dengan uraian yang luas tentang bagaimana
pemikiran tersebut dapat diterima.
1
Jawaban
1.
Praktik
manajemen yang dikenal secara luas dalam lembaga bisnis atau perusahaan adalah
planning, organizing, implementing dan controlling. Artinya sudah menjadi
gambaran yang sangat terang kepada kita bahwa apabila berhubungan dengan bisnis
atau perusahaan atau pun lembaga apa pun senantiasa memprioritaskan 4 pakem
sebagai sesuatu yang benar dan dilakukan agar perusahaan atau lembaga apa pun
bisa lebih produktif, efektif, efisien dan mendatangkan keuntungan baik materil
maupun non-materil. Manajemen senantiasa diawali dengan perencanaan,
pengelolaan, pelaksanaan dan evaluasi. Sebuah rotasi atau aktivitas berulang
yang terus dilakukan dari zaman ke zaman dan dianggap sebagai sesuatu yang
benar dan menguntungkan.
Dalam
pelaksanaan 4 rumus utama itu didukung dengan pakem lain yakni manusia (man),
benda/barang (money), sistem/metode (method), IT (machine) dan waktu/energi
(time). Perusahaan atau institusi selalu mengutamakan bagian-bagian ini untuk
mencapai visi, misi, tujuan, program yang telah ditetapkan baik secara individu
maupun berkelompok atau dalam kelompok yang lebih besar seperti Negara.
Para pakar
manajemen sendiri meragukan apakah itu tuntutan manajerial seperti ini memang
yang menjadi hakekat dari manajemen untuk meningkatkan atau memanusiakan
manusia. Untuk apa seluruh teknik dan metode manajerial diterapkan secara
sungguh-sungguh sehingga memang mendatangkan produktivitas dan profitabilitas
atau bisa memenuhi seluruh kebutuhan manusia baik secara jasmani maupun rohani.
Entahkah menajemen merasa puas dan merasa sudah berakhir setelah menghasilkan
semuanya melalui berbagai pendekatan seperti yang dikemukan di atas.
Manajemen
sendiri meragukan apakah semua pakem atau apapun yang telah dilakukan
mendatangkan keberhasilan yang permanen atau senantiasa mendatangkan keuntungan
tanpa ada kegagalan. Manajemen pun masih tidak yakin sebab hampir semua
manajerial yang telah diterapkan belum memberikan hasil yang paling optimal.
Apabila mendatangkan keberhasilan pun, para pemilik perusahaan atau pun manusia
masih merasa kurang nyaman dengan semua hal yang telah dicapainya.
Ada yang
dirasakan masih kurang. Itulah keterbatasan manajemen. Manajemen adalah sebuah
aktivitas yang belum pernah tuntas dan belum pernah usai.
Walaupun
demikian, dalam praktik-praktik keseharian nyata, manajemen justru tetap
melakukan apa yang diragukannya sendiri.
Contoh kongkret:
a.
Manusia (man):
perusahaan atau pun institusi apa pun sangat mengandalkan sumber daya manusia
sebagai salah satu indikator utama sebuah kemajuan atau keberhasilan.
Manusia-manusia yang terlibat di dalamnya ditingkatkan kompetensinya baik
pengatahuan (knowledge), ketrampilan (skills) maupun kepribadian (attitude)
agar memompa manusia untuk memberikan yang terbaik agar memberikan kontribusi
hasil atau pencapaian target-target perusahaan yang telah ditetapkan.
Tidak
heran, pengembangan manusia di dalam perusahaan kadang memakan biaya yang tidak
sedikit sebab manajemen percaya, kompetensi SDM menjadi titik sukses dan
keberlanjutan bisnis atau pun perusahaan atau pun lembaga apa pun. Kadang,
perusahaan menerapkan atau menetapkan kualitas SDM yang tinggi sehingga kurang
memberikan peluang bagi para calon yang tingkat SDM-nya rendah. Tuntutan
optimalisasi SDM yang habis-habisan kadang juga membuat manusia sebagai robot
yang digenjot terus untuk pencapaian hasil yang lebih optimal. Dengan demikian,
yang sesungguhnya perusahaan atau manajemen mau menghargai SDM yang kualified
kadang membuat manusia menjadi hanyalah robot manajerial yang kehilangan
kreativitas, inovasi dan martabat manusia sebagai pribadi atau juga tidak
tertampungnya para pencahari kerja yang tidak memenuhi standar yang telah
ditetapkan. Muncullah pengangguran intelektual. Upah buruh makin rendah
lantaran ketersediaan SDM yang melimpah. Hukum pasar permintaan dan demand
berlaku di sini. Inilah keterbatan manajemen (SDM).
Selain itu,
para pemilik perusahaan juga tetap merasa kosong meski sudah mengumpulkan uang
atau barang yang tak pernah habis sampai tujuh turunan. Sehingga muncullah
kegiatan-kegiatan sosial-karitatif sebagai alternatif pengisi kekosongan hati.
Itulah keterbatasan manajemen (man) namun hingga kini SDM masih terus digenjot
dalam perusahaan atau institusi apapun.
b.
Barang/benda
(money). Tujuan utama atau praktik manajemen adalah mendatangkan profit atau
laba yang sebanyak-banyaknya. Uang atau barang menjadi prioritas sehingga
setiap perusahaan atau institusi berlomba-lomba dan berkompetisi secara ketat
untuk memperoleh laba atau keuntungan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Berusaha memperoleh laba sesungguhnya bukanlah keterbatasan namun bertujuan
hanya mengejar laba semata tentu akan mengorbankan yang lain terutama manusia.
Sesungguhnya, tujuan perusahaan atau institusi apa pun untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia melalui penguasaan barang (uang) yang
sebanyak-banyaknya, pada titik yang sama justru mengorbankan martabat manusia
sebagai manusia yang pribadi dan sosial. Uang kadang menjadi tujuan utama
sehingga manusia dikorbankan. Orang akan berusaha lembur untuk mendapatkan uang
lebih banyak atau perusahaan menambah jam kerja sehingga manajemen atau pegawai
kehilangan waktunya untuk bersama keluarga. Ada banyak contoh, orang menjadi
stress, gara-gara seluruh waktunya dihabiskan untuk mencari uang. Manajemen
menyadari hal ini namun tetap dilakukan.
c.
Teknologi (machine). Perkembangan ilmu pengatahuan dan
teknologi sangat luar biasa sehingga memberikan kemudahan bagi manusia atau
manajemen. Perusahaan-perusahaan menghabiskan banyak rupiah untuk investasi
pada mesin atau teknologi termasuk teknologi informasi. Perhatian manajerial
diarahkan pada kemajuan teknologi (mesin) yang dianggap lebih cepat, lebih
mudah dan kadang dirasakan lebih murah. Apabila manajemen mengutamkan
mesin-mesin maka sebagian besar manusia kehilangan pekerjaannya. Kehilangan
pekerjaan berarti kehilangan pendapatan. Kehilangan pendapatan maka kehilangan
martabatnya sebagai manusia. Namun demikian, manajemen harus tetap menggunakan
teknologi sebagai jalan pintas menghasilkan lebih banyak dan mengurangi biaya
pegawai atau karyawan.
d.
Sistem (Method).
Metode atau cara yang efektif mengandaikan sumber daya manusia yang mumpuni
sehingga mampu mengadaptasikan dengan sistem atau budaya kerja sebuah
perusahaan. Sistem yang telah dirancang dan dipercaya memberikan hasil yang
optimal harus diikuti oleh seluruh komponen perusahaan. Metode mewajibkan
manusia mengikutinya sehingga kehilangan daya kreasi pribadi. Kepentingan
pribadi ditekan atau diminimalisir sedemikian sehingga metode atau cara
tertentu bisa diaplikasikan secara tepat dan memberikan hasil.
Pada titik
yang sama metode yang dirancang oleh manusia dan sesungguhnya untuk manusia
justru mengdegredasikan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang bebas
dan otonom. Inilah paradoksalnya.
e.
Waktu (time). Perusahaan
atau lembaga apapun sungguh sangat memprioritaskan waktu. Bahkan ada pepatah
yang telah dipercaya secara turun-temurun dalam manajemen yakni “waktu adalah
uang” atau waktu adalah sukses atau waktu adalah laba atau pendapatan. Setiap
jengkal waktu selalu diisi dengan berbagai aktivitas yang mendatangkan apa yang
telah menjadi impian perusahaan atau apapun itu. Waktu tidak boleh
disia-siakan. Ada perusahaan yang sangat mendewakan waktu. Apabila ada yang
terlambat, gajinya dipotong sesuai jumlah waktu terlambat. Sesungguhnya,
kedisiplinan waktu untuk kepentingan manusia namun kadang, manusia mengalami
kemerosotan akibat terlalu ‘mendewakan’ waktu. Namun sebaliknya, ada yang telah
menyia-nyiakan waktu dengan aktivitas yang kurang produktif.
Merujuk
pada uraian di atas, saya secara pribadi juga mulai ragu dengan jawaban
sendiri. Saya juga meragukan pertanyaan yang menggugat manajemen. Manajemen
pada satu sisi untuk mengagungkan harkat dan martabat manusia melalui aktualisasi
diri, potensi dan akal kemampuan dalam praktik-praktik manajerial justru pada
titik yang sama semakin merendahkan manusia sebagai mahluk yang teramat mulia
yang dibekali dengan akal-budi, martabat serta kepribadian yang unggul. Pertanyaan
gugatan ini membuka lembaran baru agar manajemen mencari hakikat yang
sesungguhnya lebih mendalam dan bukan hanya yang nampak saja.
Pertanyaan
gugatan yang paradoksal manajerial kadang membawa saya kepada absurditas. Untuk
apa sih, manajemen apabila pada akhirnya merendahkan harkat dan martabat
manusia. Tragedi meluapnya lumpur Lapindo-Sidoarjo bisa menjadi rujukan nyata
bagaimana kalahnya manajemen terhadap penghormatan manusia sebagai manusia.
Masih banyak tragedi kemanusiaan lain yang terjadi baik di dalam negeri maupun
di seluruh dunia termasuk di Negara yang dikenal sebagai lahirnya ilmu
manajemen.
Akan tetapi
manajemen dibutuhkan manusia justru mau menunjukkan manusia sebagai manusia.
Bayangkan apabila manusia tidak melakukan sesuatu pada zaman modern ini. Namun
gugatan pertanyaan tersebut di atas, memberikan makna mendalam bagi saya calon
magister manajemen untuk mencari hakikat terdalam dari manajemen. Entahkah,
saya melanjutkan paradoksal atau absurditas yang ada atau harus mencari jalan
keluarnya sendiri. Hingga saat ini, saya belum menemukan jawabannya yang pasti
dan juga belum memberikan jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan atau gugatan di
atas.
2.
Paradoksal atau
absurditas manajerial semakin mendapat tantangan dan jawaban sementara ketika
para filosof menyimpulkan bahwa manajemen
bukanlah proses yang sempurna atau tuntas. Praktik-praktik manajemen telah
terikat oleh kesinambungan pemikiran terbatas karena dimensi prinsip, orientasi
dan pemaknaan. Untuk menelusuri hal itu dimunculkan aliran-aliran filsafat
sebagai berikut:
a.
Causa Prima
yang mencakup pemikiran filsafat materialisme, idealisme, vitalisme dan
psikomonisme. Causa prima dari bahasa latin artinya penyebab atau faktor utama
tanpa diawali faktor lain. Saya sendiri meragukan bagaimana bisa menjawab
pertanyaan manajerial dengan pendekatan filsafat causa prima yang dipelopori
oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut keduanya, causa prima hanya bisa
dikenakan pada yang namanya “Tuhan” atau “Allah”. Mungkin menjadi pertanyaan
lebih lanjut, entahkah manajemen berasal dari causa prima yakni Tuhan atau
Allah sendiri? Butuh kajian lebih mendalam. Pemikiran filsafat materialisme adalah pemikiran yang
sangat mengagungkan materi sebagai sumber kebenaran. Manusia terdiri dari
materi (zat) sehingga sumber kebahagiaan dan kehidupan manusia adalah materi.
Pemikiran
ini menyebabkan manusia begitu hedonistis dengan mengumpulkan materi yang
sebanyak-banyaknya. Pertanyaannya, manajemen hanya mengumpulkan materi? Kalau
begitu, mengapa banyak orang kaya secara material, toh tetap merasa ada yang
hampa, ada yang kosong serta merasa tidak bahagia? Filsafat idealisme adalah aliran pemikiran yang
sangat mengagungkan ide atau gagasan. Orang yang memiliki ide berarti orang
yang berakal budi. Orang berakal budi berarti manusia yang unggul.
Pertanyaannya,
entahkan manajemen hanya mengandalkan cara berpikir atau idealisme sehingga
mendatangkan keberhasilan, kebahagiaan dan keunggulan dari manusia lain atau
mahluk hidup yang lain. Ide bukanlah tujuan akhir melainkan awal menuju yang
akhir meski awal adalah akhir dan akhir adalah awal yang terbalik. Vitalisme atau finalisme artinya aliran
pemikiran yang sangat mengagungkan perjuangan hidup atau “elan vitae”.
Vitalisme percaya bahwa manusia memiliki daya hidup untuk mengusai dunia dan
keselamatan hidupnya sangat bergantung pada daya hidupnya. Pertanyaannya,
entahkah manajemen mengutamakan vitalisme atau daya juang dan apabila sudah
mendapatkan hal itu, ia merasa sudah final dan selesai?
Walau
demikian, praktik manajemen sangat membutuhkan pemikiran causa prima,
materialisme, idealisme, vitalisme dan psikomonisme untuk membantu menjelaskan
praktik-praktik manajemen yang memberikan penghormatan kepada manusia melalui
manusia.
b.
Dimensi Hakekat Sesuatu (kebenaran berasal dari fenomena-fenomena). Fenomenologi
merupakan aliran pemikiran yang fokus pada pengalaman-pengalaman manusia
subjektif dari perilakunya. Mungkinkah, praktik manajemen hanya mengutamakan
pengalaman-pengalaman masing-masing manusia yang begitu bervariasi? Pengalaman
subjektif siapa yang akan menjadi rujukan bagi praktik manajemen agar berhasil
dan manusiawi? Fenomenologi tidak juga memberikan jawaban yang tuntas.
c.
Dimensi Arah dan Tujuan Filsafat (humanisme, egoisme/individualisme, altruisme,
pragmatisme, finalisme dan epikurisme). Humanisme
adalah aliran mengutamakan martabat manusia dalam seluruh proses penghidupan
manusia dan dunia. Aliran ini mengeritik keras pandangan yang melihat diri
manusia ada ketundukan pada kekuatan para ‘dewa’. Untuk itu martabat manusia
kehilangan esensinya. Manusia menjadi bermartabat kalau manusia baik sebagai
individu maupun kelompok selalu berupaya meningkatkan kemampuan-kemampuan
dasariahnya sebagai manusia. Pertanyaannya, apabila manajemen sudah membuat
manusia semakin bermartabat berarti tugas sudah selesai? Bagaimana dengan
lingkungannya?
Egoisme/Individualisme adalah aliran yang sangat kuat pada budaya Amerika
Serikat. Aliran ini juga mengeritik secara tajam, orang yang menganggap rendah
individu dalam mengorbankan individu untuk mencapai tujuan bersama. Individu
berperan besar dan tanpa mempedulikan yang lain. Pertanyaannya, entahkah
praktik manajemen mengusung individu lalu melupakan ‘aku yang lain’ termasuk
lingkungan yang mengitarinya? Sampai kapan, ia bertahan sebagai individu sebab
di dalam dirinya dari sono sudah ada benih sosial.
Altruisme
adalah aliran yang lebih mengutamakan kepentingan ‘aku yang lain’ dari pada
dirinya sendiri. Pertanyaannya, entahkah praktik manajemen hanya memperhatikan
‘aku yang lain’ lalu dirinya boleh tidak diperhatikan, ditelantarkan atau
‘mengorbankan nyawa bagi yang lain?’ Kalau demikian, individu bersangkutan
tidak lagi merasa lapar, haus dan lain sebagainya? Seandainya individu yang
bersangkutan tak lagi punya perut, dimungkinkan untuk melakukan seratus persen.
Pragmatisme
adalah aliran yang melihat segala sesuatu dari asas manfaatnya. Apalah arti
memiliki ilmu pengatahuan yang tinggi kalau tidak memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia. Aliran ini yang menciptakan banyak ilmu pengatahuan yang
memberi daya guna bagi manusia namun paradoksnya ketika manusia membuat senjata
mematikan yang membunuh sesama yang lain. Entahkah praktik manajemen
menghidupkan ‘kemanfaatan’ lalu membunuh yang lain secara kejam? Finalisme sama dengan vitalisme yang
sudah dibahas.
Epikurisme
adalah aliran yang memberi ketenangan kepada manusia. Manusia tak perlu takut
terhadap segala sesuatu yang terjadi termasuk kepada dewa. Membebaskan manusia
dari rasa takut memberikan ketenangan atau kebahagiaan. Pertanyaannya, entahkah
praktik manajemen akan final atau tuntas ketika manusia tidak merasa takut?
Kapan, manusia tidak merasa takut secara substansial? Masih menjadi pertanyaan
yang tak pernah ada jawaban yang tuntas.
Berbagai
pandangan filsafat memang berusaha menjelaskan praktik manajemen yang lebih
substansial namun demikian, saya sendiri belum menemukan jawaban yang memuaskan
dari berbagai aliran dimaksud. Setiap aliran pemikiran ada kelebihan dan
sekaligus kekurangannya. Untuk itu, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa
berbagai aliran pemikiran filsafat belum juga memberikan jawaban yang tuntas
terhadap praktik manajemen yang telah dijalankan secara turun-temurun hingga
saat ini.
Untuk
menjawab secara hitam-putih rasanya terlalu sulit namun bisa diberikan jalan
keluar yang proporsional. Aliran-aliran pemikiran filsafat sudah memberikan
gambaran bagi praktik manajemen agar mengimplementasikan secara proporsional
dari berbagai aliran pemikiran dimaksud. Praktik manajemen mengambil hal-hal
positif dari berbagai aliran pemikiran filsafat sembari berjuang meminimalisir
hal-hal yang menjadi kekurangan.
Berbagai
aliran pemikiran filsafat sebenarnya memberikan tambahan esensi praktik
manajemen untuk senantiasa mengutamakan harkat dan martabat manusia secara seimbang
tanpa mengorbankan yang lain dan lingkungan hidup. Perhatian pada manusia tidak
berarti mengorbankan lingkungan dan mahluk hidup lainnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar