Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Malang
Ketampakan
Masih terdapat pergumulan dan
perdebatan yang rumit bagi para pemikir yang beraliran filsafat baik
fenomenologis dan realis-materialisme. Para filsuf fenomenolog melihat segala
sesuatu yang tampak hadir sebagai kanyataan itu hanya fenomena atau
gejala-gejala atau tanda-tanda dari sesuatu kenyataan yang lebih hakiki. Yang
hadir dan yang dapat diindrawi bukanlah kenyataan tetapi lebih tepat dinamakan
ketampakan.
Ketampakan mengundang akar dan nalar manusia untuk
menelusuri lorong-lorong nan gelap yang belum tersingkap realitas yang
sesungguhnya. Apabila manusia berhenti pada yang tampak, itu sebuah kebodohan.
Pertentangan ini muncul ketika para filsuf memperdebatkan kenyataan dunia ide
dan kenyataan dunia kebendaan. Masing-masing mazhab berusaha secara
logis-filosofis untuk memberikan kebenaran atas apa yang diyakininya.
Pergulatan makin tajam apabila diteropong melalui dunia ‘persepsi’. Persepsi yang
berbeda tentu akan melahirkan kebenaran yang berbeda-beda. Hal ini berimbas
pada pertanyaan mendalam, entahkah ketampakan itu kenyataan atau kenyataan itu
malah sebuah ketampakan. Tergantung ‘persepsi’ atau cara orang ‘melihat’
sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan manusia yang bermartabat manusia.
Lain ladang, lain ikannya. Ketampakan dan kenyataan
menurut para ahli pikir (filsuf) tentu akan berbeda sama sekali dengan para
penyair. Bagi penyair, ketampakan adalah kenyataan sementara kenyataan adalah ketampakan
yang terbalik. Dunia tampak dan nyata bagi penyair sepertinya melebur dalam
nalar dan perasaan yang menjadi satu kesatuan. Kesatuan itu semakin kuat dan
indah dalam kata-kata syair yang menyentuh kalbu dan akal manusia yang bisa
merasakan secara sungguh-sungguh. Puisi, prosa dan nyanyian bisa menjadi
ketampakan dan kenyataan sekaligus yang terlebur.
Para ahli pikir tidak mau terjebak pada sesat pikir.
Filsuf-filsuf itu senantiasa mencari apa yang ada dibalik segala sesuatu yang
tampak. Mereka menyusuri hutan belantara ketampakan untuk menemukan hakikat
kenyataan yang sesungguhnya. Kendati pun pencarian dan kebanggaan para ahli
pikir itu dibantah oleh para psikolog. “Tidak ada hebatnya cara berpikir
filsafat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Kalau memang para filsuf
melalui cara nalarnya bisa mengatasi atau memberikan kebahagiaan manusia,
mengapa ada banyak ketidakberuntungan manusia dan lingkungan di dalam dunia
ini? Mengapa harus ada penderitaan? Mengapa mesti orang yang tak berdosa (anak-anak)
dibunuh secara tidak berperikemanusiaan melalui bom atom? Atau yang menjadi
tragedi kemanusiaan maha dahsyat peristiwa Auschwitz? Hitler dan regimnya
membunuh orang-orang beretnis Yahudi mulai orang dewasa hingga anak-anak.
Mengapa itu terjadi di Jerman sebagai pusat lahir dan berkumpulnya para ahli
pikir tentang kebijaksanaan? Ke manakah mereka?” tanya retoris, Calne B Donald
sang psikolog dalam bukunya, “Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia”.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Calne
meragukan kehebatan filsafat. Bagi dirinya, filsafat hebat dalam menyelami
esensi mendasar dari segala sesuatu namun filsafat tidak memberi manfaat bagi
manusia. Itulah yang dinamakan batas nalar. Menarik untuk dikaji pemikiran
Calne. Apakah peristiwa-peristiwa pahit atau penderitaan itu sebuah kenyataan
ataukah itu sebuah ketampakan. Calne mungkin melihat itu sebagai kenyataan
akhir sementara para filsuf melihat itu sebagai ketampakaan untuk menyelami
hakikat terdalam berbagai peristiwa tragedi yang menimpa manusia. Penderitaan
adalah jalan menuju kesempurnaan hidup bagi filsuf.
Namun tidak mudah memang memahami hal ini. Apabila
pembunuhan di Auschwitz merupakan ketampakan menuju ke kenyataan yang esensial
maka apakah boleh mengizinkan manusia untuk melakukan pembunuhan? Inilah
kontradiksi atau paradoksal atau lebih tepat disebut dilema moral (etis).
Oleh karena itu, memang perlu kehati-hatian cara berpikir
tingkat tinggi agar mampu memahami dan menyelami segala peristiwa kehidupan
manusia. Ketampakan dan kenyataan senantiasa merujuk pada ‘bonum commune’ kebaikan bersama bukan pada sesuatu yang buruk atau
melanggar nurani moral dan adat budaya yang positif.
Untuk menjelaskan makna ketampakan, salah seorang filsuf
Muslim, Muhammad All-Fayyad memberi contoh tentang “kehadiran”. Pertama-tama,
kehadiran menunjuk pada kualitas ketampakan sesuatu dihadapan penglihat.
Sesuatu, katakanlah ‘meja’ tampak dihadapan saya sebagai meja dan saya
memahaminya sebagai meja karena ia tampak sebagai meja. Ia tampak sebagai meja
bukan benda yang lain.
Persoalan muncul kemudian apakah si ‘meja’ tadi hadir
kepada saya sebagai meja itu sendiri atau sebagai ‘konsep tentang meja’ sebagai
kenyataan meja sebagai meja konkret. Oleh karena itu, kualitas kehadiran atau
ketampakan sangat bergantung pada mata si pelihat (persepsi). Para filsuf
melalui penyelidikan mendalam dan lebih mendasar menyatakan bahwa ‘sesuatu’
tidak hadir sebagai ‘sesuatu itu sendiri’ (kenyataan) melainkan sebagai ‘konsep
tentang sesuatu’ (ketampakan). Berdasarkan argumentasi ini maka ketampakan
menjadi jelas bahwa bukanlah kenyataan melainkan sarana menuju pemahaman yang
lebih mendasar hakikat terdalam dari kenyatan itu sendiri. Hal ini penting
dipahami para manajer perusahaan agar dalam mengambil keputusan tidak hanya
berbasiskan pada nalar sederhana ‘sesuatu yang tampak’ melainkan lebih mendalam
pada ‘apa yang ada dibalik yang tampak’ dengan cara berpikir atau bernalar
secara filsafat.
Kenyataan
Dalam kehidupan sehari-hari,
kenyataan adalah hal yang nyata, yang benar-benar ada meski juga masih perlu
pertanyaan yang lebih mendalam, entahkah yang benar-benar ada itu kenyataan
yang sesungguhnya, yang esensial, yang mendasar dan yang diterima secara
universal. Hampir sama dengan ketampakan, kenyataan juga mendapatkan perdebatan
dan pergulatan yang tidak tuntas dan final. Semuanya masih dalam proses menjadi
menuju kenyataan menjadi kebenaran yang objektif. Hal ini lebih ambigu apabila
kenyataan itu ada tingkat-tingkat secara filosofis.
Bentuk realitas mungkin benar bagi yang lain namun tidak
bagi yang lain lagi. Dari perspektif fenomenologis, realitas adalah sesuatu
yang secara fenomenal nyata sementara non-realitas dianggap tidak ada. Persepsi
individual dapat didasarkan pada kepribadian seseorang individu, fokus dan gaya
atribusinya sehingga hanya dialah yang melihat apa yang ingin dilihat atau
dipercayai sebagai kebenaran (Muhammad Irfan).
Persoalan dilematis memahami kenyataan dalam kehidupan
mansia. Kehidupan manusia menunjukkan indikasi adanya sesuatu yang hidup,
bergerak, beregenerasi, membutuhkan makanan dan minuman, berpikir, merasa dan
lain sebagainya. Memikirkan kehidupan tidak seperti berpikir matematis yang
segalanya diukur atas dasar perhitungan angka melainkan menyangkut tentang
pertanyaan keberadaan, mengapa dan apa maksud dari kehidupan.
Para filsuf terbagi dalam dua teori yang saling mendebat
satu sama lain. Ada filsuf meyakini bahwa kehidupan bukanlah kenyataan,
kenyataaan sesungguhnya ada dalam ide. Sesuatu yang terlihat adalah bayangan
(ketampakan) dari ide (Plato; 427-347 SM) dalam Muhamad Irfan (2012). Menurut
Plato, segala benda indrawi dalam kehidupan memiliki perubahan. Oleh karena
itu, tidak dapat disebut sebagia yang hakiki. Sesuatu yang hakiki hanya bisa
ditangkap apabila sesuatu itu tidak mengalami perubahan. Sesuatu yang hakiki
(kenyataan) adalah sesuatu yang tetap.
Teori kedua berlawanan teori pertama. Teori ini
menegaskan bahwa kenyataan terdapat dalam benda konkret yang bisa dilihat dalam
kehidupan. Benda konkret sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari seperti meja,
kursi, pintu, kipas angin dan lain-lain. Kenyataan adanya hakikat suatu benda.
Hakikat ada pada benda itu sendiri merupakan teori yang telah dikemukan Aristoteles (384-322 SM) dalam Irfan (2012).
Dari ulasan ini meneguhkan kepada kita bahwa kenyataan
dan ketampakan masih menjadi perdebatan. Namun bagi kita bahwa sesuatu yang
tampak membantu kita untuk memahami sesuatu yang ada dibaliknya yang lebih
esensial dan lebih hakiki. Kita tidak cepat percaya pada hal-hal yang tampak
lalu terjerat pada aktivitas ‘sesat pikir’ bahwa yang tampak itu sesuatu yang
nyata. Pemikiran filosofis yang senantiasa mempertanyakan hakikat terdalam
membuat manusia bisa mewujudkan potensi-potensi terdalah yang hakikatnya
sebagai mahluk yang berakal budi dan bernalar mulia meski ada para pihak pun
meragukan kehebatan filsafat.
Keadaan itu sangat jelas dalam kasus Auschwitz yang
menjadi beban sejarah para filsuf. Habermas pernah berkata, sungguh sukar
memahami sejarah peradaban rasionalitas Jerman. Jerman telah melahirkan
tokoh-tokoh pemikir terhebat mengenai etika dan humanisme dalam sejarah,
seperti Kant, Hegel, Marx dan lain sebagainya. Akan tetapi mengapa Jerman telah
melahirkan monster dari Perang Dunia Kedua? Pertanyaan ini menjadi cetusan
ketidakmampuan mengerti akal budi manusia menyaksikan pabrik pembantian peling
mengerikan sepanjang masa, Auschwitz (Habermas dalam Armada Riyanto: 2014).
Pertanyaan esensial Habermas ini setelah menelaah puisi
“Auschwitz” yang digubah Jerzy Afanasjew (1932-1991) dalam Riyanto (2014)
sebagai berikut:
Saat merenung Auschwitz
Aku membayangkan kebinatangan
Orang-orang Jerman (tentara SS)
Ibu-ibu dan isteri-isteri mereka
Mendengkur dalam kebodohan
Sementara orang lain dibantai
Dicekik gas
Aku dengar kicauan terakhir
Di kamar-kamar gas
Seekor burung yang mereka lihat
Untuk terakhir kalinya
Aku lihat matahari
Melintas di balik asap-asap dupa
Dari cerobong-cerobong itu
Membubung pula jiwa-jiwa
ke Surga
Di tengah kekalutan antara kenyatan dan ketampakan
senantiasa melahirkan optimism seperti terungkap pada puisi berikut yang
ditulis oleh Kazimierz Dabrowski (1908-1944) juga dalam (Riyanto: 2014).
Hari-hari baik akan tiba, pasti akan tiba
Buah perdamaian akan lahir
Orang-orang di Auschwitz tak percaya
Kata-kata buram dari bait puisiku ini
Itulah kenyataan
yang sesungguhnya dan bisa dijawab secara teologis-filosofis.
Penutup
Ulasan ketampakan dan
kenyataan belumlah sempurna dan tuntas. Namun apa pun diharapkan bahwa melalui
tulisan yang masih sangat sederhana ini memberikan tambahan wawasan bagi para
manajer untuk mendalami hakikat terdalam dari segala yang berhubungan dengan
manusia dalam keseluruhan pengelolaan perusahaan. Manajer semakin sadar bahwa
apa yang tampak tidak selalu mengungkapkan realitas namun hanya sarana menuju
kenyataan yang hakiki. Dengan demikian membantu para manajer untuk mengambil
keputusan melalui kajian berpikir dan bernalar secara lebih tajam dan lebih
mendalam. Ketampakan bukan kenyataan. Kenyataan adalah awal dari ketampakan.
***
Daftar Rujukan
Desember 2014
Calne B. Donald. 2004. Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku
Manusia. Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
tanggal 21 Desember 2014
Tambunan R.L Edison &
Bala Kristoforus. 2014. Di Mana Letak
Kebahagiaan?: Penderitaan,
Harta, Paradoksnya (Tinjauan Filosofis
Teologis).
Sekolah Tinggi Teologi Widya
Sasana Malang, Vol.24 No. Seri 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar