Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Negeri Malang
2.2.3 Daya Saing
Tenaga Kerja & Sosio-Kultural
Menurut
laporan World Economic Forum (WEF) mempublikasikan daya saing global, posisi
Indonesia pada posisi 46 pada periode 2011-2012. Daya saing global mencakup 12
pilar yakni institusi, infrastruktur, makroekonomi, kesehatan dan pendidikan
dasar, pendidikan tinggi, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja,
pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan
inovasi.
Posisi daya saing efisiensi
tenaga kerja, Indoensia berada pada posisi 94 dibawah Singapura, Malaysia dan
Thailand padahal dari sisi jumlah tenaga kerja, Indonesia menjadi nomor 1 di
ASEAN hanya belum memiliki daya saing yang tinggi dengan tenaga kerja di tempat
lain. Daya saing tenaga kerja yang kurang menguntungkan akibat budaya atau
kultur kerja yang bellum optimal sesuai standar daya saing tenaga kerja ASEAN
dan dunia. Negeri Indonesia masih terus mengoptimalkan sumber daya manusia
tenaga kerja agar mampu berdaya saing untuk bekerja di dalam negeri meski nanti
dibanjiri tenaga kerja terampil dari Negara ASEAN lainnya atau bahkan bisa
mengekspor tenaga kerja yang berdaya saing tinggi untuk bekerja di luar
Indonesia sehingga meningkatkan devisa Negara.
2.2.4 Pengelolaan
Tenaga Kerja yang Berbasiskan Sosio-Kultural
Tenaga
kerja tidak akan lepas dari pengaruh sosial dan budaya yang dihidupinya. Tenaga
kerja yang terampil juga ditentukan oleh budaya kerja yang memiliki daya saing tinggi,
menghargai waktu, penuh pengorbanan, kejujuran, keterbukaan (transparansi), mau
bekerja keras dan penuh komitmen dalam melakukan pekerjaan secara optimal
sesuai standar.
Dalam menghadapi MEA/AEC 2015,
pengelolaan tenaga kerja terampil yang berbasiskan kearifan lokal menjadi
sangat penting dan urgen dilakukan. Dalam pengelolaan tenaga kerja terampil dan
berdaya saing perlu pemahaman dan kompetensi yang memadai seperti yang
diungkapkan Edwin B Fillipo (1984) dalam Kusnendi (2004) mengatakan bahwa mengelola
tenaga kerja melibatkan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pegendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi,
pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja untuk mencapai sasaran perorangan,
organisasi dan kelompok.
Tujuan mengelola tenaga kerja
terampil adalah meningkatkan komitmen, menghasilkan tenaga kerja yang
berproduktivitas tinggi, meningkatkan kompetensi dan mewujudkan iklim kerja
(budaya kerja) yang kondusif. Dalam mengelola tersebut, perlu menerapkan prinsip
pengelolaan yang standar seperti tenaga kerja dikelola bukan sebagai biaya
tetapi sebagai investasi, mengelola sebagai individu memiliki integritas dan
kemanusiaan, mengelola dalam rangka meningkatkan kompetensi dan komitmen,
berorientasi pada pencapaian hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, fokus
peningkatan kerjasama, penigkatan jaringan kerja dan terciptanya
innovator-inovator yang mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan menyongsong
MEA/AEC 2015.
2.2.5 Perlindungan
Tenaga Kerja Migran
Tenaga kerja migran perlu
mendapatkan perhatian yang juga serius apalagi menyongsong MEA/AEC 2015 yang
sangat menentukan bagi Indonesia enatahkah bisa memanfaatkan peluang-peluang
pasar bebas dimaksud demi kemajuan dan kemakmuran seluruh anak bangsa. Tenaga
kerja migran sangat rentan terhadap berbagai bentuk pelecehan, diskrimininasi
dan bentuk kejahatan lain yang hampir saban hari kita saksikan melalui
televise, radio, surat kabar baik cetak maupun on line.
Rasanya miris mendengar atau
membacanya. Belum memasuki pasar bebas pun, banyak tenaga kerja kita di lauar
Negara yang diperlakukan tidak sebagaimana mestinya apalagi kadang mereka
berangkat ke luar negeri tanpa persiapan yang matang. Situasi akan menjadi
lebih sulit ketika Indonesia memasuki pasar bebas ASEAN yang menyebabkan adanya
arus bebas tenaga kerja terampil.
Tenaga kerja migran perlu
dilindungi lantaran sebagian besar diantara mereka tidak memahami dan menyadari
hak-haknya sebagai tenaga kerja migran. Salah seorang pemerhati tenaga kerja
migran adalah John Rugie, 2010 mengindentifikasi peta resiko tenaga kerja
migran yakni tenaga kerja migran kadang tidak sadar akan hak-hak asasinya
sehingga rentan terhadap intimidasi, kurangnya akses terhadap pengadilan
(apabila ada tindakan pelecehan, diam dan tak pernah bisa akses pada lembaga
hukum atau peradilan), tenaga kerja kadang miskin sehingga dengan upah berapa
pun mereka akan menerima demi menyambung hidup, kurangnya pemahaman akan bahasa
Negara tempat bekerja, kurangnya keberpihkan hukum dan kebijakan Negara tempat
bekerja dan ada kelompok-kelompok yang melukai bahkan membunuh sesama teman
tanpa perlindungan.
***
Diposting Malang, 4 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar