Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Negeri Malang
Suruhan
Buatlah
analisis atau kajian perjanjian kerjasama ekonomi Kawasan Perdagangan Bebas
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) khususnya Indonesia dan China
(ACFTA) dilihat dari sisi Hukum Bisnis Internasional!
Jawaban
1.
Indonesia dan
Hukum Bisnis Internasional. Negeri kita tercinta telah menyatakan
kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, setelah mengalami berbagai penindasan
dan upaya perjuangan kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan atau
kolonialisme bangsa-bangsa asing terutama Belanda dan sekutunya, Inggris dan
Jepang. Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah bangsa kita selama
350 tahun bahkan meninggalkan berbagai versi hukum bagi hukum ketatanegaraan
kita yang hingga kini ada yang sudah direvisi dan ada yang masih berlaku tanpa
revisi. Kemerdekaan itu harus dirayakan dan dinikmati dengan perjuangan yang
terus-menerus melalui pembangunan di berbagai bidang termasuk hukum dan
perdagangan demi menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945
dalam bingkai berdaulat dalam bidang politik, merdeka dalam bidang ekonomi dan
beradab dalam bidang budaya. Negara kita dengan penduduk yang besar juga
memainkan peran strategis bagi tata Negara dunia dalam segala bidang kehidupan.
Negeri kita begitu getol memperjuangkan kesamaan hak (kemerdekaan) bagi seluruh
bangsa di dunia terutama Palestina (KAA, April 2015), kesederajatan dalam
bidang ekonomi (kerjasama ASEAN, MEA, ACFTA dan WTO) serta mendesak Bank Dunia
dan sekutunya untuk menciptakan tata kelola ekonomi (perbankan) yang lebih adil
dan menghendaki tidak adanya monopoli suatu bangsa atau Negara terhadap Negara
lainnya. Indonesia tetap mengusung politik bebas aktif.
Hukum Bisnis
Internasional. Indonesia memiliki peran aktif menaati berbagai kesepakatan atau
pun hukum bisnis internasional. Hukum merupakan aturan yang bersifat tertulis,
adanya interaksi serta sedikit memaksa dalam bentuk sanksi. Hukum juga dapat dipahami sebagai seperangkat aturan yang
berasal dari kesepakatan subjek hukum dalam suatu wilayah atau Negara. Bisnis
adalah transaksi antara permintaan dan penawaran yang menghasilkan laba atau
keuntungan. Transaksi harus berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam bisnis
dikenal dengan hukum kontrak, hukum perdagangan internasional dan hukum ekonomi
internasional. Internasional itu sendiri merupakan lintas batas Negara atau
kawasan. Hukum Bisnis Internasional adalah seperangkat aturan yang mengatur
subjek hukum internasional yang bersifat publik atau seperangkat aturan yang
mengatur kegiatan usaha atau transaksi yang melewati batas-batas Negara
(kawasan).
2.
Indonesia (ASEAN
) & China (ACFTA).
Sejumlah
sumber menguraikan bahwa perjanjian kerjasama ekonomi antara ASEAN termasuk
Indonesia dengan China (ACFTA) ditandantangani pada tanggal 4 November 2004 di
Phnom Penh, Camboja oleh para Kepala Negara ASEAN dan Republik Rakyat China.
Tujuan perjanjian utama ACFTA adalah memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdangangan
kedua pihak; meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan
dan penghapusan tarif; mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi
saling menguntungkan kedua pihak dan memfasilitasi intergrasi ekonomi yang
lebih efektif (Ragimun, peneliti pusat kebijakan ekonomi makro, tanpa tahun). Sumber lain lebih detail
menyoroti perjanjian atau kerjasama ASEAN, khususnya Indonesia dengan China
(AFTA). Sumber ini bahkan memberikan gambaran yang lengkap dengan data-data
statistik perkembangan ekonomi baik sebelum dan sesudah kerjasama
ditandatangani baik Negara ASEAN keseluruhannya maupun Negara Indonesia dengan
China (ACFTA). Sumber yang satu ini juga membahas cukup rinci mengenai
keuntungan dan kerugian yang didukung dengan analisis SWOT atau pun TOWS. Keuntuntungan
bagi ASEAN seperti memperkuat hubungan ekonomi antar anggota; dapat menciptakan
persaingan sehat dan menghindari persaingan tidak sehat; meningkatkan
kesejahteraan anggota sementara keuntungan bagi Negara Indonesia adalah
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia; meningkatkan devisa Negara Indonesia;
menciptakan persaingan kualitas produk dan layanan di Indonesia dan paling
krusial adalah menciptakan kepastian hukum.
Kerugian
perjanjian ini bagi Negara ASEAN adalah Negara ASEAN menjadi pasar besar bagi
banjirnya produk China; menciptakan persaingan tidak sehat antar Negara-Negara
ASEAN. Kerugian bagi Negara kita Indonesia adalah ekspoilitasi China terhadap
Indonesia. Indonesia dengan penduduk terbesar keempat setelah China, India dan
AS tentu menjadi pangsa pasar yang menguntungkan bagi produk dan layanan China
yang lebih berkualitas; berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia terutama
harga produk China lebih tinggi dari pada harga produk Indonesia, produk
Indonesia kehingan nilai tambah serta banyak pengangguran di Indonesia (Adi
Tiara Putri, FH UI, 2011). Adi Tiara Putri menambahkan bahwa dalam pembangunan
ekonomi, hukum dapat berperan dan mencitpakan stability, predictability dan
fairness. Stability adalah potensi hukum menyeimbangkan kepentingan yang
saling bersaing, predictability yaitu
dapat diramalkan akibat dari suatu langkah yang diambil khususnya penting bagi
negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan
ekonomi melampui lingkungan tradisional; fairness
yaitu perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah diperlukan
untuk menjaga mekanisme pasar dan birokrasi yang berlebihan.
3.
Analisis atau
kajian pribadi terhadap perjanjian ASEAN dan China (ACFTA) dari sisi hukum.
Saya bukan berlatar belakang hukum sehingga analisis atau pun kajian dari sisi
hukum rasanya tidak terlalu tepat namun sebagai pembelajar yang terus menerus
meski dengan berbagai kekurangan, saya pun berani memberikan pendapat atau pun
opini tentu berdasarkan sebagaian referensi yang berkaitan dengan hukum bisnis
internasional terutama analisis perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN khususnya
Indonesia dengan China (ACFTA). Saya melihatnya secara garis besar dari dua
sikap pribadi yakni sisi optimis dan sisi pesimis:
a.
Sisi Optimisme. Setiap
Negara apapun tidak bisa mandiri 100% tanpa berhubunan dengan Negara lain atau
dalam bahasa Thomas Merton, penulis spiritual Inggris “No man is island”. Artinya sudah sejak dari sononya, setiap manusia
harus hidup berdampingan dengan sesama yang lain, ia bukan sebuah pulau yang
tak berpenghuni. Demikian juga dengan Negara atau bangsa. Negara sekuat apapun,
ia tidak dapat hidup sendirian tanpa berhungan dengan Negara lain apalagi dunia
sekarang ini sudah makin global atau bahasanya Ohmae “Global Village”. Dunia internasional terutama dalam dunia
perdagangan atau bisanis sudah semacam “pasar
desa” bahkan ada yang bilang “pasar
kampung atau pasar dusun”.
Dalam
transaksi mekanisme pasar yang semakin bebas trsebut maka mau tidak mau, suka
tidak suka membutukan seperangkat hukum terutama hukum kontrak baik melibatkan
privat namun dalam kasus ini melibatkan publik sebab melibatkan antar Negara
lintas kawasan.
Sebagaimana
sudah diketahui publik bahwa hukum kontrak yang baik memiliki syarat dan asas
yang benar seperti adanya syarat kesepakatan tanpa paksaan; kecakapan untuk membuat
kontak (subjektif) dan syarat hal tertentu, objek tertentu dalam kontrak serta
ada kebebasan dan halal (objektif) sementara asas seperti konsensualisme,
kebebasan, berlaku undang-undang, kepercayaan, persamaan hak, kepastian dan
moral.
Melalui
syarat dan asas hukum dimaksud maka saya pun memiliki optimisme bahwa
perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN khususnya Indonesia dengan China (ACFTA) memberikan kepastian hukum bagi
kedua kawasan untuk mengimplementasi berbagai tujuan mulia isi kontrak hukum
bersangkutan. Tidak ada satu Negara atau kawasan yang dapat memanipulasi atau
monopoli dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Masing-masing pihak menahan
diri untuk terus mengangungkan kepastian hukum (kontrak) demi kebaikan bersama
(bonum commune). Saya pun optimis
bahwa hukum kontrak itu mengatur hubungan antar lintas kawasan yang saling
menguntugkan dan berkeadilan (fairness).
Dengan demikian tujuan mulia perjanjian dimaksud dapat dirasakan manfaatnya
bagi semua pihak yang terlibat terutama Indonesia dengan China.
Kepastian
hukum bisa mengatur lalu lintas berbagai bidang kehidupan secara pasti, tidak
ada keraguan, tidak manipulasi atau pun hidden
agenda dari berbagai Negara yang telah melakukan perjanjian atau kontrak
secara hukum dengan payung hukum yang pasti dan clear. Kepastian hukum membuat Negara-negara yang terlibat dalam
perjanjian dalam hubungan bidang apapun senantiasa mengutamakan kemanusiaan dan
harkat martabat manusia sebagai insan termulia di dunia.
Hubugan
bilateral ekonomi, sosial dan politik membuat manusia semakin bermartabat
melaui kepastian hukum yang dilaksanakan secara konsisten dan penuh komitmen. Hukum menjadi jembatan penengah apabila
terjadi perselisihan. Jalan keluar berbasis hukum yang benar dan adil tentu
semakin meningkatkan harkat dan martabat manusia yang sederajat.
b.
Sisi Pesimisme. Sebagaimana
sudah menjadi rahasia umum bahwa rumusan hukum itu memiliki syarat dan asas
yang berpayung pada kebenaran, keadilan dan berpihak pada fakta dan data
objektif. Rumusan hukum itu begitu indah dan mempesona untuk melindungi manusia
dari berbagai penyelewenangan, penindasan dan pemerkosaan hak-hak asasi
manusia. Rumusan hukum yang indah dan mempesona tersebut dimaksudkan agar semua
pihak atau manusia secara konsisten dan komitmen melaksanakan atau
mewujudkannya dalam kehidupan bersama apalagi lintas Negara. Namun apa daya
tangan tak sampai. Rumusan indah sebuah hukum yang jelas belum tentu dapat
dilaksanakan secara benar dan adil dalam kenyataannya. Selalu ada jurang yang
semakin lebar antara harapan dan kenyataan apalagi menyangkut kepastian hukum.
Tidak jarang banyak kasus, hal-hal benar itu bisa diputarbalikkan sehingga yang
benar bukan semakin benar dan adil dalam hukum melainkan kadang yang benar jadi
salah dan yang salah jadi benar. Tidak semua kasus dan tidak semua orang
tentunya. Namun realitas hukum yang kadang membingungkan antara rumusan dan
praktik sehingga membuat saya agak pesimis. Pesimisme ini semakin kentara
ketika ada perjanjian yang kadang diselewengkan apalagi antara Negara adidaya
dan Negara yang lemah. Kita menyaksikan bagaimana China lebih memperoleh
keuntungan dengan produk dan layanan yang berkualitas membanjiri pasar
Negara-negara ASEAN termasuk Indoenesia tak terkendali ketimbang asas
perjanjian fainess. Pasar bebas
memang menghendaki kompetisi. Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia sepertinya
belum siap benar sehingga perjanjian fairness
hukum (kontrak atau perjanjian) kadang kurang dipedulikan oleh negeri China.
Belum lagi perdagangan gelap yang makin ramai serta korupsi yang masih
merajalela akibat lemahnya kepastian hukum dalam negeri Indonesia.
Ketidakpastian
hukum dalam negeri menjadi celah yang dapat dimanfaatkan para mafia bisnis dan
mafia hukum untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa
mempedulikan Negara tujuan perdagangan. Jurang antara rumusan dan pelaksanaan
ini tentunya merugikan negeri Indonesia khususnya dan ASEAN umumnya. Untuk itu,
kepastian hukum harus benar-benar ditegakkan baik dalam rumusan (kontrak atau
perjanjian) harus benar-benar diwujudkan. Negara Indonesia harus tegas terhadap
kepastian hukum sehingga negeri kita tidak dirugikan dalam perjanjian kerjasama
ekonomi ASEAN dengan ACFTA. Ada positif dan ada negative dari perjanjian ini.
Hendaknya kepastian hukum menjadi jalan menuju solusi untuk meminimalisir
kekurangan atau kerugian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar