Oleh Kosmas Lawa Bagho
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
2.2 Peran Filsafat
Manajemen Partisipasi dalam Bisnis
Perusahaan atau lembaga bisnis memiliki konsentrasi
pertama adalah meningkatkan laba atau pendapatan demi mencapai tujuannya.
Peningkatan laba atau pendapatan agar perusahaan atau lembaga bisnis
bersangkutan bisa membiayai segala pembiayaan baik biaya tetap maupun biaya
tidak tetap. Pendapatan yang bisa menutup seluruh komponen pembiayaannya dan
masih memiliki laba maka perubahaan bisnis tersebut dapat berkelanjutan.
Setiap perusahaan atau lembaga bisnis sudah pasti
mengejar hal itu (laba) dengan mengoptimalkan segala sumber daya termasuk
sumber daya manusia. Apabila hal itu tidak terjadi maka perusahaan atau lembaga
bisnis tersebut akan rugi bahkan bangkrut.
Dalam upaya memaksimumkan pendapatan atau laba tak
jarang perusahaan atau lembaga bisnis mengabaikan harkat dan martabat manusia.
Acapkali manusia dijadikan semacam robot yang terus dimanipulasikan tenaga,
pikiran, daya, karsanya demi mendapatkan laba yang sebesar-besarnya dengan
pengorbanan biaya yang sekecil-kecilnya. Atas dasar itu, tidak jarang
terjadinya demonstrasi bergelombang dari para buruh. Demonstrasi dilakukan
mulai dari para karyawan kelas bawah sampai manajemen puncak.
Selain demonstrasi tentang upah yang murah, mungkin
juga karena monopoli sumber daya manusia oleh orang-orang atau golongan tertentu. Perusahaan tidak
menerapkan manajemen partisipasi yang transparan, demokratis, responsibilitas
dan mengutamakan harkat dan martabat manusia.
Pada titik inilah pentingnya filsafat manajemen partisipasi memainkan
perannya.
2.2.1
Memanusiakan Manusia
Perusahaan
atau bisnis pada hakekatnya mengutamakan laba secara optimum. Pertanyaan kritis
yang perlu diajukan, entahkah ada yang salah dengan perusahaan atau lembaga
bisnis demikian? Entahkah, perusahaan atau lembaga bisnis tidak boleh mengejar
laba atau pendapatan yang sebanyak-banyaknya secara efektif dan efisien?
Entahkah, perusahaan atau lembaga bisnis bersangkutan tidak manusiawi?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini muncul lantaran secara kasat mata telanjang ada sebagian perusahaan
atau lembaga bisnis tidak selamanya mewujudkan hakekatnya sebagai lembaga
mediasi memanusiakan manusia. Cerita kelam itu dapat dilihat pada masa revolusi
industri. Berangkat dari teori “trikle down” yang dicetuskan Adam Smith yang
percaya bahwa perusahaan atau lembaga bisnis harus meningkatkan pendapatan bagi
orang kaya (piramida) yang di atas dengan demikian kekayaan orang-orang atas
akan merembes ke bawah (masyarakat
atau para kaum buruh) sehingga semuanya sama-sama mendapatkan kekayaan. Teori
ini sungguh menyesatkan. Yang kaya, makin kaya dan yang miskin, makin miskin
dan terkenal melalui ‘piramida’ kurban manusia. Manusia paling bawah ditindas
dan ditendes harkat dan martabatnya dari ‘kaum berpunya’. Tidak heran muncul
revolusi kaum proletariat Karl Max. Kaum sosialis juga gagal mewujudkan
perusahaan atau bisnis yang memanusiakan manusia.
Dari
seperangkat pengalaman pahit tersebut maka perusahaan atau bisnis modern
mengembangkan suatu manajemen yang lebih manusiawi yakni manajemen partisipasi dengan dimensi
filosofis. Peter Druker (2001) seperti dikutif Reza A.A Wattimena
menulis,”Manajemen memang meliputi area disiplin ilmiah dan praktek yang luas.
Akan tetapi cara berpikir dan praktek manajemen memiliki beberapa prinsip
esensial yang bersifat filosofis lantaran manajemen soal manusia. Fungsi utama
manajemen adalah memungkinkan adanya kerjasama, adanya partisipasi yakni
membuat kekuatan orang-orang yang berbeda menjadi relevan dan kelemahan menjadi
tidak relevan. Mereka saling bersubsitusi secara cerdas dan saling melengkapi”.
Pandangan
saya pribadi juga demikian. Manusia harus menjadi subjek dan tujuan utama dalam
manajemen bisnis atau perusahaan. Perusahaan apa pun bentuknya dengan sejumlah
modal uang yang banyak serta peralatan teknologi super canggih pun tidak mampu
menggantikan manusia dalam keseluruhannya sebagai ciptaan yang paling
bermartabat. Harkat dan martabat serta kompetensi manusia harus secara inheren dalam manajemen partisipasi
sebuah bisnis dan perusahaan.
Dengan demikian,
perusahaan atau bisnis menemukan hakekatnya yang paling dalam, esensial,
menyeluruh dan spekulatif. Perusahaan atau bisnis yang mengabaikan dimensi
manusia, cepat atau lambat akan bangkrut.
Pengalaman pribadi memimpin salah satu lembaga
keuangan koperasi kredit sebagai ketua pengurus (board of directors) sejak
tahun 2005 hingga sekarang juga menerapkan manajemen partisipasi yang
mengutamakan manusia dengan semboyan “Sentuhlah
hatinya baru sentuh dompetnya”. Syukurlah perkembangan organisasi tersebut
hingga saat ini semakin berkembang baik keanggotaan maupun modal termasuk
asetnya.
***
Mantap..!!
BalasHapusTerima kasih bro
BalasHapus