Oleh Kosmas Lawa Bagho
Sepanjang bulan Juni dan Juli tahun ini bagi Indonesia terutama para penggila bola seperti ketiban rezeki yang tak berujung. Betapa tidak. Sejak kedatangan Timnas Belanda sampai Chelsea FC asuhan Jose Mourinho (Mou) ke Indonesia bagaikan durian runtuh yang terus mempermainkan perasaan dan hati termasuk kocek para penggila tanah air. Ribuan bahkan puluhan ribuan suporter dari pelosok tanah air membanjiri Gelora Bung Karno (GBK) untuk melihat langsung para punggawa jagoan mereka masing-masing.
Sepanjang bulan Juni dan Juli tahun ini bagi Indonesia terutama para penggila bola seperti ketiban rezeki yang tak berujung. Betapa tidak. Sejak kedatangan Timnas Belanda sampai Chelsea FC asuhan Jose Mourinho (Mou) ke Indonesia bagaikan durian runtuh yang terus mempermainkan perasaan dan hati termasuk kocek para penggila tanah air. Ribuan bahkan puluhan ribuan suporter dari pelosok tanah air membanjiri Gelora Bung Karno (GBK) untuk melihat langsung para punggawa jagoan mereka masing-masing.
Para suporter dari berbagai
lapisan kaya-miskin, latar budaya, agama dan ras yang berbeda bisa duduk
berdampingan tanpa tindakan kekerasan apapun dan mereka semua larut dalam
kegembiraan menyaksikan sentuhan kaki ke kaki untuk mengalirkan bola pada satu
titik yakni gawang. Ketika gawang terjebol, mereka berdiri sambil berteriak
kegembiraan sambil melupakan apa yang sedang mereka alami. Situasi ekonomi yang
serba sulit akibat kenaikan harga BBM tidak mereka pedulikan. Itulah gambaran
nyata euforia suporter Indonesia.
Timnas Kalah
Euforia suporter yang gegap
gempita setiap pertandingan persahabatan internasional tidak berbanding lurus
dengan prestasi yang dicapai Timnas Indonesia dalam berbagai variasi nama.
Timnas kita melawan van Persie dkk dari Timnas Belanda seakan memberikan
harapan bahwa Timnas sudah berubah dan bermetamorfosis menjadi tim yang bisa
diandalkan. Tim sepak bola Belanda runner up Piala Dunia di Afrika Selatan
hanya memasukan tiga gol ke gawang Timnas kita yang digawangi oleh Kurnia Mega.
Bahkan Boaz Salosa dkk tidak hanya mendapat pujian dari dalam negeri tetapi
masyarakat Brasil. Walaupun demikian,
namanya kekalahan tetap kalah meski dengan jumlah gol berapapun. Timnas kita
dalam wujud nama The Dream Team baru mengalami kekalah telak dan pahit ketika
menyambangi Arsenal FC asuhan Arsen Wenger. Lukas Podoski cs tidak main-main
melumat sang Dream Team Jecksen F. Tiago dengan skor 7-0 meski paruh babak
pertama hanya kemasukan satu gol. Ketika menghadapi Liverpol FC, Timnas sepertinya bermetamorfosis sehingga hanya
mengalami kekalahan 2-0 namun naas ketika menghadapi Chelsea FC, Timnas BNI All
Stars mengalami kekalahan 8-1.
Inilah rentetan kekalahan
Timnas untuk menggambarkan bahwa pengembangan sepak bola tanah air masih perlu
mendapatkan perhatian serius dan sungguh-sungguh, jikalau Timnas kita mau
“berdiri sama tinggi dan berlari sama cepat” dengan Timnas di negara lain.
Tidak ada kalah menang tetapi yang ada adalah pembelajaran untuk meraih
prestasi yang lebih baik di masa depan. Perlu perbaikan dalam segala lini sepak
bola dari kepengurusan, sistem perekrutan, pembinaan dan kompetisi pada liga
termasuk perwasitan. Semuanya harus disentuh dengan cara-cara profesional agar
menghasilkan Timnas kita menang secara elegan. Kapan waktunya? Kita nantikan
dan berjuang bersama!
Aura BLSM
SBY sepertinya mau
mengulangi pencitraan sebagai pemerintah yang berpihak kepada masyarakat dengan sekali lagi menggelontorkan BLSM
sebagai pengganti BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Keadaan sama
seperti pembagian BLT sebelumnya bahwa BLSM membawa banyak persoalan di
masyarakat mulai dari tidak terdaftarnya orang-orang yang sebenarnya miskin
sementara orang-orang mampu terakomodir sampai ketidateraturan waktu antri
pembagian bahkan ada yang terinjak-injak. Proses pencitraan ini semakin
menunjukkan bahwa orang Indonesia semakin banyak yang miskin berarti gagalnya
pemerintah SBY selama 10 tahun memimpin negeri ini walau dari sisi merogoh kocek untuk
sepak bola dipuji Morinho, Manager Tim Chelsea FC sebagai “fantastis”. Dibalik
pujian ini, sesungguhnya Mou melontarkan kritik halus bahwa rakyat Indonesia
tidak miskin namun cara pemberdayaan yang belum mengoptinalkan potensi SDA dan SDM yang dimiliki. Delapan puluh ribu
lebih penonton waktu Chelsea beraksi bukanlah populasi yang kecil apabila
dikalikan dengan 10 ribu saja menghasilkan 800 juta rupiah hahaha dihabiskan
dalam satu malam. Jumlah sebesar itu, masihkah kita dikatakan miskin??
Jumlah orang miskin
bukannya makin berkurang malah makin bertambah sehingga tidak heran banyak pakar mengatakan bahwa BLSM atau
Balsem merupakan produsen orang miskin di Indonesia. Mengapa ???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar