Oleh Kosmas Lawa Bagho
Siapa pernah menyangka bahwa Joko Widodo (Jokowi) Gubernur anyar Provinsi DKI yang selalu dipuja-puji, koq tiba-tiba mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Prime News Metro-TV kemarin sore, 15 Juli 2013, mengabarkan berita yang menggentarkan hati banyak orang bagaimana para pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang, Jakarta secara kasat mata membakar baju kotak-kotak sebagai simbol kepopuleran Jokowi. Mungkin tak banyak orang bisa membayangkan bahwa Jokowi yang digadang-gadang sejumlah lembaga survei sebagai orang paling populer dan pantas menjadi presiden RI periode 2014-2018 apabila pemilu presiden dilakukan saat ini, menerima protes keras dari warganya.
Siapa pernah menyangka bahwa Joko Widodo (Jokowi) Gubernur anyar Provinsi DKI yang selalu dipuja-puji, koq tiba-tiba mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Prime News Metro-TV kemarin sore, 15 Juli 2013, mengabarkan berita yang menggentarkan hati banyak orang bagaimana para pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang, Jakarta secara kasat mata membakar baju kotak-kotak sebagai simbol kepopuleran Jokowi. Mungkin tak banyak orang bisa membayangkan bahwa Jokowi yang digadang-gadang sejumlah lembaga survei sebagai orang paling populer dan pantas menjadi presiden RI periode 2014-2018 apabila pemilu presiden dilakukan saat ini, menerima protes keras dari warganya.
Prime News
Metro-TV Senin, 15 Juli 2013, tidak hanya menyiarkan berita sensional
menggelitik tentang rakyat DKI membakar baju kotak-kotak sebagai bentuk protes
terhadap kebijakan Jokowi tentang penataan pasar Tanah Abang agar tidak
menimbulkan kemacetan dan kesemrawutan ibu kota namun juga menayangkan secara transparan
tentang Sulistyo seorang Ketua RT di Jawa Timur (mohon maaf apabila salah menyebut nama dan tempat, maklum tv sudah agak
tua, suaranya kadang kurang jelas) yang memberanikan diri menulis pada
dirinya dan bertelanjang dada ketika hendak mengambil dana blsm di kantor
kelurahan. Tulisan bernada protes yang terbaca agak jelas pada bagian depan
tubuhnya adalah “Karena SBY, Saya
Mengemis”.
Beliau tanpa
tadeng aling-aling mengantri dengan sabar untuk mendapatkan blsm. Ketika
gilirannya tiba, ia mengambil uang lembaran Rp300.000 lalu membagikan kepada
orang-orang yang lebih berhak namun tidak tercantum di dalam administrasi sebagai penerima dana blsm.
Sungguh tragis
kejadian ini. Presiden RI, Bapak SBY dan Bapak Jokowi, Gubernur DKI (yang sebentar lagi menggantikan posisi SBY
apabila beliau mau dicalonkan oleh para parpol sebagai kandidat presiden)
mendapatkan cercaan yang cukup hebat dari rakyatnya. Apabila pada masa orde
baru (ORBA) kemungkinan para pelaku baik yang di Jatim maupun di Tanah Abang sudah
dianggap sebagai subversif dan mungkin sudah mendekam di dalam penjara yang
paling kejam.
Namun situasi itu
menjadi lain sama sekali ketika memasuki alam demokrasi meskipun alam
kesantunan dan kesopanan sebagai budaya orang Timur harus tetap dijaga dan
dihormati. Kesopanan dan kesantunan tidak berarti membiarkan berbagai tindakan pemerintah
yang dianggap rakyat sebagai bentuk pelanggaran sehingga rakyat tidak
mendapatkan hak-haknya.
Tanpa mendukung
ataupun mengeritik kedua perilaku diatas, saya berpendapat sebagai anak warga
RI sebagai berikut:
Pertama: Dalam dunia demokrasi dengan slogan “berdiri
sama tinggi, duduk sama rendah“ antara rakyat dengan pemimpinnya maka kritik
atau aspirasi rakyat kepada pemimpinnya dianggap hal yang wajar dan lumrah meski
perlu dipikirkan bentuk-bentuk penyampaiannya agar substansi aspirasi tidak
dikaburkan oleh ekspresi visualnya.
Kedua: Kritik warga tanah Abang memang perlu
diselidiki lebih jauh dan mendalam yang ditopang oleh pemikiran yang jernih dan
jauh dari intrik-intrik politik apabila ada orang yang memanfaatkan PKL Tanah
Abang untuk tujuan politis tertentu dan jangka pendek, sebab penataan dan
penertiban PKL Tanah Abang seluas-luasnya untuk kepentingan warga Jakarta pada
umumnya termasuk warga PKL itu sendiri. Pemerintah DKI (Jokowi-Ahok) tidak
meniadakan hak warga PKL tersebut tetapi direlokasi ke tempat yang lebih nyaman
dan tidak mengganggu ketertiban maupun kenyaman warga kota Jakarta. Tentu perlu tindakan persuasif terus
dilakukan oleh pemerintah DKI dan meminta pengertian serta kesediaan warga
untuk melihat kepentingan yang lebih besar tanpa mengeliminir hak-hak pribadi
dan kelompoknya sebagai manusia yang bermartabat.
Ketiga: Kritik yang disampaikan oleh Sulistyo
tentang blsm mungkin menjadi pemikiran serius Bapak SBY dan para mentrinya.
Tidak salah, pemerintah memperhatikan rakyatnya yang miskin bahkan seandainya
tanpa menaikkan harga BBM pun, pemimpin berkewajiban memperhatikan kaum miskin
dan melarat (amanat UUD 1945). Namun apa mau dikata. Program atau proyek blsm justru
semakin melanggengkan kemiskinan rakyat Indonesia dan membuat rakyat semakin
bergantung tanpa mau bekerja keras lagi. Kita tidak tahu persis, apakah blsm
atau bahasa salah seorang penulis opini kompas pernah menyetir “balsem” merupakan
komoditi politik atau pun produk keprihatinan tulus pemerintah kepada
rakyatnya. Nampaknya secara kental bahwa proyek itu meningkatkan “pencitraan”
karena dalam pelaksanaannya banyak masalah dan secara substansi melemahkan unsur keswadayaan potensi maupun
kompetensi yang sudah ada pada setiap individu manusia Indonesia apalagi yang
menerima blsm termasuk orang-orang berduit bahkan dengan perhiasan cukup mahal
pada seluruh tubuh mereka pada saat antri. Tidak ada cerita bahwa bantuan itu
memberikan solusi tetapi malah semakin mewabah persoalan dan membuat rakyat
tidak segera merdeka padahal kita sudah merdeka dari penjajahan bangsa asing
sejak tanggal 17 Agustus 1945.
Untuk itu,
persoalan bakar baju kotak-kotak bisa saja (kemungkinan) adanya persinggungan
politik tetapi kritik blsm merupakan ungkapan nyata bahwa rakyat Indonesia
tidak membutuhkan blsm (apalagi seagai pengganti blt) tetapi apa kerja konkret
pemerintah (pemimpin) untuk usaha pemberdayaan yang memandirikan secara
berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia dari hulu sampai hilir. Jangan kita
terus memberi ikan tetapi mulai beralih paradigm pada pemberian kail dan laut
atau danau untuk dipancing mendapatkan ikan. Ciptakan infrastruktur yang
kondusif, aturan yang jelas dan kenyamanan bagi bangkitnya wirausaha rakyat
Indonesia sendiri. Jadikan rakyat Indonesia sebagai pengusaha (investor) di
negerinya sendiri. Batasi pemberian yang meninabobokan rakyat sehingga rakyat hanya
tahu menerima serta tidak cerdas menyikapi hidup saat ini dengan berbagai warna
kompetisi hebat menyongsong pasar bebas nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar