Oleh Paskalis
X. Hurint dan Kosmas Lawa Bagho
Aktivis
Koperasi Kredit, tinggal di Ende, Flores
Hari ini, segenap
aktivis pemberdayaan masyarakat melalui koperasi (kredit) dan seluruh insan
manusia Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Koperasi yang ke-66, tanggal
12 Juli 2013 apabila ditarik dari hari jadinya 12 Juli 1947. Ada berbagai warna
dinamika tantangan ataupun kemajuan pertumbuhan dan perkembangan koperasi
(kredit) untuk membangun harkat dan martabat manusia Indonesia secara utuh
serta berkelanjutan. Dalam rangka merayakan HUT Koperasi Indonesia hari ini,
kami berkenan menurunkan tulisan dengan judul “Jati Diri Koperasi dan UU Nomor
17/2012”.
Kalangan koperasi
menyambut gembira atas kehadiran Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian yang disahkan oleh Presiden RI di
Jakarta tanggal 29 Oktober 2012. Undang-undang ini dipandang membawa
nuansa baru bagi perkoperasian di Indonesia. Namun apakah nuansa baru itu masih
tetap melestarikan jati
diri koperasi ataukah sebaliknya dapat memudarkan bahkan hilangnya jati diri koperasi yang sudah diimplementasi secara konsisten
oleh gerakan koperasi Indonesia terutama gerakan koperasi kredit.
Kemandirian
Jati diri koperasi
(kredit) mencakup empat pilar utama yakni pendidikan, kemandirian (swadaya),
solidaritas dan inovasi. Yang disoroti melalui tulisan ini, salah satu dari empat pilar jati diri
koperasi adalah kemandirian. Kemandirian
berarti membangun kekuatan sendiri. Kemandirian koperasi mewujud dalam bentuk modal yang dimiliki
koperasi, yakni modal yang diperoleh
dari anggota. Itu berarti koperasi hendak menegaskan kepada anggotanya bahwa
yang menolong diri para anggota adalah anggota itu sendiri. Dengan demikian,
kesulitan anggota hanya ditolong oleh anggota itu sendiri dalam kebersaman
dengan anggota yang lain. Anggota koperasi sekali-kali tidak boleh mengharapkan
bantuan modal dari pihak lain guna menolong dirinya. Oleh karena itu, modal yang
dipinjamkan kepada anggota adalah benar-benar modal anggota.
Kemandirian dalam menolong kesulitan diri sendiri dengan memanfaatkan
modal dalam kebersamaan menanamkan rasa percaya diri di dalam anggota koperasi
bahwa sesungguhnya anggota koperasi memiliki kapasitas dalam memberdayakan dirinya.
Dengan kesadaran ini, maka tertanam dalam diri anggota koperasi rasa bangga akan kekuatan sendiri.
Melalui semangat kemandirian,
gerakan koperasi (kredit)
membangun kekuatan masyarakat setempat berlandaskan pada
filosofi pemberdayaan Wilhelm
Frederich Raiffesien, pendiri koperasi kredit atau credit union di
Jerman, Barat (1856) yakni “hanya orang miskin yang dapat mengatasi kesulitannya
sendiri” dengan cara menabung dari apa yang ada pada orang miskin, dipinjamkan
kepada orang miskin untuk pengembangan ekonomi rumah tangganya.
Bambang Ismawan pernah menulis, “Koperasi Kredit atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Credit Union merupakan suatu terobosan untuk
membantu masyarakat kecil dalam mengatasi permodalan dengan kekuatannya
sendiri. Koperasi Kredit berusaha untuk mengubah mentalitas masyarakat bawah
yang seringkali kurang percaya diri. Dengan menjadi anggota Koperasi Kredit,
masyarakat diyakinkan bahwa mereka mampu menolong diri sendiri dengan kekuatan mereka
sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa pendekatan
koperasi kredit langsung pada pemecahan masalah pembangunan paling dalam yakni
merombak ketergantungan menjadi kemandirian”.
Selama ini, berbagai bantuan modal kerja kepada koperasi
atau pun bantuan lainnya kepada masyarakat semakin membuat masyarakat tidak
berdaya dan bergantung. Bahkan secara kasat mata dapat dikatakan bahwa bantuan
beras miskin (raskin) dan bantuan langsung sementara masyarakat (blsm atau balsem) saat ini merupakan
musuh besar kemandirian
dan martabat manusia. Sebab melalui berbagai program apalagi bersifat proyek
akan semakin mematikan kreativitas masyarakat untuk berusaha sekeras mungkin
mempertahankan hidup (e’lan vitae) dan semakin meninabobokan masyarakat
penerima. Proyek raskin dan blt yang kini lebih dikenal blsm, akan mewarisi
generasi anak cucu sebagai generasi yang hanya tahu menerima tanpa mau bekerja
keras dan cerdas.
Modal Sosial
Dengan membangun kemandirian, memupuk rasa percaya diri dalam ikatan
solidaritas untuk bela rasa satu sama lain serta saling percaya dalam diri
anggota koperasi (kredit),
maka dalam inti terdalam, sesungguhnya koperasi sedang dan terus mengkonstruksi
modal sosial dalam sistem kehidupan masyarakat. Selanjutnya, dengan itu
koperasi hendak menegaskan bahwa tatanan kehidupan sosial dan ekonomi dalam
kebersamaan hanya dapat dibangun dalam koridor nilai-nilai kemandirian,
kejujuran, saling percaya, gotong-royong dan setiakawan.
Apabila nilai-nilai ini diganggu, tidak dikawal, diredupkan dan hilang,
maka sistem sosial akan menjadi amburadul dan rusaklah tatanan kehidupan
bersama. Dengan demikian, koperasi pun mau mengatakan kepada anggotanya bahwa
betapa pentingnya nilai-nilai itu untuk tetap diusung dalam kehidupan sosial
demi kelanggengan kehidupan bersama. Uang hanyalah sarana yang digunakan untuk merakit nilai-nilai
sosial demi pembangunan karakter dalam kehidupan bersama.
Tantangan
Jati diri koperasi yang kaya akan nilai-nilai sosial demi pembangunan
karakter kehidupan masyarakat harus senantiasa dirawat dan dilestarikan secara konsisten.
Kemandirian koperasi dalam hal modal kerja akan berbenturan dengan tawaran (godaan) modal yang datang dari luar
koperasi, apalagi UU No. 17/2012 membolehkannya.
Rumusan UU No. 17/2012 yang membolehkan masuknya modal dari luar tentu
bertujuan untuk memperbesar dan memperkuat modal koperasi. Bahkan dengan tujuan
yang sama seperti produk hukum ini, tawaran modal yang datang dari luar ini
boleh jadi menggiurkan, baik dalam bentuk jumlah maupun dalam prosedur
pengembaliannya.
Untuk itu, UU
Koperasi Nomor 17 Thn 2012 pada pasal 66 ayat 2 yang menyatakan bahwa modal
koperasi bisa juga datang dari modal penyertaan tidak boleh melemahkan atau
menghapus unsur keswadaayaan modal anggota sebab pemodal utama koperasi
(kredit) sejati adalah anggota.
Meskipun tujuan masuknya modal dari luar demikian bagus, namun pada sisi
yang lain, masuknya modal ini dapat meredupkan bahkan mematikan kemandirian
modal koperasi. Hal ini dapat terjadi karena dengan masuknya modal dari luar,
koperasi mengalami ketergantungan pada modal dari luar.
Kehati-hatian
Ketergantungan terhadap modal dari luar justru membahayakan eksistensi
kemandirian koperasi. Koperasi bukan lagi bersandar pada modal sendiri yang
diperoleh dari simpanan anggota tetapi beralih kepada kekuatan modal dari luar.
Dengan demikian aliran modal dari luar dapat saja melemahkan kemandirian
koperasi.
Kemandirian koperasi semakin diperparah apabila modal yang datang dari luar
terlampau besar yang pada gilirannya menyedot seluruh perhatian fungsionaris
koperasi untuk mengelola modal dari luar dan melupakan pengelolaan modal
sendiri secara efektif. Akibat lebih jauh adalah fungsionaris koperasi mengoptimalkan seluruh waktu, tenaga dan
pikiran hanya untuk pihak yang menyertakan modalnya pada koperasi. Pengembangan
koperasi sendiri ditangguhkan dan
beralih kepada pengembangan institusi atau pihak lain. Tak pelak arah
pengembangan yang demikian mengakibatkan matinya jati diri koperasi.
Pada titik ini, insan koperasi perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian
dalam menerima godaan
modal kerja yang datang
dari luar. Prinsipnya, jika modal sendiri dapat melayani variasi kebutuhan anggota, maka itu
pertanda bahwa koperasi (kredit)
mampu membangun kemandirian sebagai jati dirinya secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar