Oleh Kosmas Lawa Bagho
Ketua Kopdit Serviam Bhakti Mandiri
Hindari Mental “Nenek Tambah Lagi”
Penulis saat memfasilitasi |
Suatu
momen, penulis melakukan pendidikan dasar bersama ketua pengurus Puskopdit
Bekatigade Ende-Ngada-Nagekeo kini Puskopdit Flores Mandiri, alm. Bapak
Theofilus Woghe. Almarhum membawakan materi tentang jati diri koperasi dan tiga
pilar koperasi kredit saat itu kini menjadi lima. Saat itu, paling terkenal
dengan tiga batu tungku (versi NTT) pilar-pilar yang menguatkan tiang penopang
bangunan koperasi kredit atau credit
union. Tiga pilar atau tiga batu tungku tersebut adalah swadaya, pendidikan
dan solidaritas. Saat ini tiga pilar sudah dilengkapi dengan dua pilar hasil
inisiasi salah seorang tokoh koperasi kredit atau credit union nasional berskala internasional Bapak Robby Tulus
yakni inovasi dan persatuan dalam keberagaman. Walau belum seratus persen
setuju dan Ratnas sepertinya sudah memutusakan panca pilar dimaksud.
Waktu
menjelaskan tentang swadaya atau kemandirian, alamarhum memulainya dengan
sebuah cerita yang penulis ingat melekat dalam pikiran dan hati dengan judul
“Nenek Tambah Lagi”. Beliau dengan semangat, mengisahkan bahwa pada suatu momen
misa pagi (perayaan Ekaristi menurut iman katolik, red), seorang mama dengan
anaknya kira-kira berusia 5 tahun juga hadir pada perayaan pagi yang indah itu.
Selesai
perayaan, sang pastor yang sudah cukup tua usianya, lagi berkeliling di taman
bunga di depan gereja. Ibu dan anak tadi mendekati pastor tua tersebut untuk
sekedar mengucapkan selamat pagi. Keduanya mendekati pastor itu, sang pastor
dengan ramah menyapa sang anak. “Nak, selamat pagi, apa kabar hari ini?’. Anak
itu spontan menjawab, “Baik nene pater”. (Sesungguhnya nene adalah sapaan untuk
perempuan sepuh yang dalam bahasa Indonesia “nenek”.
Kadang
anak kecil bahkan orang dewasa yang belum bisa membedakan nenek dan kakek atau
opa untuk lelaki sepuh, semuanya menyapa dengan nene (nenek). Sang pastor tua
tadi sambil mengelus rambut anak itu dan mengambil satu buah bombon dari dalam
saku jubahnya dan memberikan kepada sang anak. Mama dari sang anak melihat
peristiwa itu, spontan mendesak anaknya menyampaikan sesuatu kepada pastor.
“Ayo, bilang apa kepada nenek!” Anak itu spontan menjawab sambil menadah
telapak tangan ke atas, “Nene (nenek) tambah lagi”.
Sang
mama muka merah tanda malu. Maksud sang mama agar anaknya menyampaikan secara
tulus kepada sang pastor adalah “Nene (nenek) pater, terima kasih”. Semua
ruangan riuh. Ada yang tertawa lepas dan sebagian besar tertunduk malu.
Mental
“nenek tambah lagi” mungkin sudah tidak cocok lagi pada zaman ini. Di tengah
mewabahnya covid-19, kegiatan-kegaitan “nenek tambah lagi” nampaknya mulai
bergerilia lagi di Negara kita, di wilayah kita. Kita seakan “terhipnotis”
ramai-ramai meminta belaskasihan kepada pihak ketiga. Kita tergoda untuk
menerima bantuan tanpa perjuangan dan kerja keras.
Beruntung
bagi gerakan kita yang sudah biasa hidup mandiri sejak awal pembentukannya
dalam seluruh proses pengelolaan. Anggota koperasi kredit tetap berjuang hingga
titik darah penghabisan untuk setia pada asas kemandirian atau swadaya. Almarhum
Ibnoe Soedjono menulis, “Meski pun demikian kita masih beruntung karena masih
cukup banyak koperasi yang sejak puluhan tahun mampu mempertahankan
kemandiriannya tanpa menerima bantuan modal dari pemerintah seperti halnya koperasi-koperasi
kredit (CU) yang membiayai seluruh kegiatannya dari sistem internalnya sendiri.
Juga dalam rangka kebijakan pemerintah pada waktu ini yang menyodor-nyodorkan
‘bantuan modal’ masih ada koperasi-koperasi yang menolak bantuan tersebut
karena tidak ingin kehilangan kemandiriannya. Kemandirian (self-reliance) harus lebih dilihat sebagai sikap mental ialah sikap
tergantung pada kemampuan dan sumberdaya sendiri. Dalam pelaksanaannya
kemandirian dinyatakan sebagai sikap ada atau tidak ada bantuan, kegiatan berjalan
terus”. (bdk. Ibnoe Soedjono, Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor
Jatidiri, LSP2I-Jakarta 2007).
Lebih
lanjut, Ibnoe Soedjono mengeritik cukup tajam pemerintah yang memberikan
bantuan modal kepada koperasi. Dia pun menulis, “Dibiayainya gerakan koperasi
oleh anggaran belanja negara dan daerah sepintas lalu kelihatannya sebagai
kebijakan yang membantu koperasi akan tetapi pada hakekatnya memberi peluang
dan membiarkan koperasi menelan ‘narkoba’ yang akan membuat koperasi ketagihan,
melumpuhkan mental kemandirian dan mati secara pelan-pelan. Bagi sekelompok
orang yang kebetulan memimpin koperasi, pembiyaan seperti itu bisa
disalahgunakan sebagai sumber “kekuatan dan kekuasaan politik” yang dapat
merusak koperasi itu sendiri”.
Berdasarkan
reflesksi pengelaman pribadi penulis, sudah kurang lebih 20 tahun berkiprah di
koperasi kredit, saya mempunyai satu kesimpulan sederhana bahwa gerakan
koperasi kredit lebih menggerakkan masyarakat untuk hidup mandiri dari apa yang
ada pada mereka (pengetahuan, ketrampilan, sikap/karakter) atau dalam bahasa
Alm. Theofilus Woghe menghindari mental ‘nenek tambah lagi” yang disokong
dengan berbagai sumber daya alam yang tersedia. Juga ketika saya ke Thailand
(Februari 2008 & Januari 2009), koperasi kredit di sana memobilisasi sikap
hidup hemat dengan cara menabung Rp1,000.- per hari misalnya serta memprakarsai
lahirnya jiwa kewirausahaan anggota (masyarakat) yang akhir-akhir ini
menghasilkan kurang lebih 3-4% penduduknya berwirausaha dan mengurangi jumlah
masyarakatnya untuk memilih bekerja sebagai orang upahan.
Tentunya
semua impian tersebut tidak mudah untuk direalisasikan namun paling kurang
secara strategis; cara kerja pemberdayaan ala koperasi kredit rasanya lebih
cocok untuk masyarakat kita menuju standar ideal negara maju secara ekonomis
sekurang-kurang penduduknya 2,5%
bergerak di bidang wirausaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
secara mandiri. Bantuan harus memberdayakan koperasi kredit untuk menghindari
“mental nenek tambah lagi”.
Addendum Pola Kebijakan Pinjaman
Patut
kita sadari bahwa wabah covid-19 juga mengganggu sendi-sendi kehidupan anggota
koperasi kredit. Terutama sendi pendapatan bagi anggota yang meminjam uang koperasi
kredit untuk usaha atau bisnis dengan plafon yang cukup signifikan. Bisnis perhotelan,
perkiosan, kos-kosan, kendaraan dan unit bisnis yang menyentuh langsung dengan
tingginya mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain. Semua bisnis itu
mati total ketika pemerintah menerapkan “tinggal di rumah” atau “tinggal di
kota” secara ketat.
Tidak
ada upaya lain. Kita juga berusaha sekuat tenaga bersama pemerintah dan pihak
keagamaan masing-masing untuk mencegah dan menghentikan penyebaran covid-19.
Koperasi Kredit Serviam Bhakti Mandiri dalam kerjasama dengan Puskopdit Flores
Mandiri Ende, Flores, NTT untuk sementara melakukan addendum pola kebijakan
pinjaman.
Kami
melakukan penambahan kebijakan dengan SK Pengurus serta Manajer untuk
memperpanjang jangka waktu sesuai kemampuan pengembalian anggota, melakukan
“grace period” hanya membayar bunga setiap bulan dan angsuran ditunda dalam
jangka waktu tertentu serta bagi peminjam baru apabila meminjam bunga dan
angsuran dipotong di depan.
Mungkin
ini bukan cara yang tepat. Paling tidak kita mencari solusi bersama anggota
agar bisa meringankan bebanya. Anggota tetap komit untuk melakukan “transaksi”
kepada koperasi kredit karena anggotalah pemilik dan pelanggan. Mati hidupnya
koperasi kredit sangat bergantung pada loyalitas anggota. Kesetiaan dan
loyalitas anggota kepada koperasi kredit masih tetap jalan walau covid-19
mendera, berarti masa depan koperasi kredit itu sendiri masih ada.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar